100 Tahun Gedung Papak di Grobogan, Saksi Bisu Berbagai Kepiluan

DETIK.COM (23/07/2019) | Gedung Papak di Desa Geyer, Grobogan, hingga kini masih berdiri kokoh meskipun sudah lebih dari 40 tahun dikosongkan. Gedung yang terkenal angker ini disebut-sebut pernah jadi lokasi plesiran seks serdadu di masa pendudukan Jepang. Gedung ini juga saksi bisu tragedi kematian seluruh penghuninya.

Warga menyebutnya sebagai Gedung Papak. Papak artinya tumpul, karena atapnya memang tidak berupa kerucut seperti layaknya bangunan rumah pada masa itu. Atapnya berupa cor semen, sehingga dari jauh nampak seperti bangunan tinggi menyerupai kotak.

Lokasi gedung ini di tengah pemukiman warga. Tepatnya masuk gang di seberang SD 2 Geyer. Dari ujung gang ke lokasi sekitar 60 meter. Jika ditempuh dari kantor Perhutani KPH Gundih Divisi Regional Jateng, sekitar 500 meter.

KPH Gundih Divisi Regional Jateng adalah pemilik gedung tersebut hingga sekarang. Administratur Perum Perhutani KPH Gundih Divisi Regional Jateng, Agus Prianton, menjelaskan jika pihaknya merupakan pemilik gedung.

“Gedung Papak dulunya adalah rumah dinas administratur. Dibangun 1919. Kini tak lagi ditempati sejak 1974. Sampai sekarang kosong,” kata Agus ditemui di ruangannya, di KPH Gundih, Jalan Jenderal Sudirman, Geyer, Grobogan, Selasa (23/7/2019).

Sejak berdirinya, gedung itu menjadi rumah dinas administratur atau pimpian KPH Gundih. Di masa pendudukan Jepang, disebut-sebut bahwa gedung tersebut sempat dijadikan tentara Jepang untuk menyimpan perempuan-perempuan peghibur untuk plesiran seks mereka. Namun sejauh ini tidak ada catatan resmi yang menguatkan informasi tersebut.

“Kalau itu (tempat untuk menyekap jugun ianfu), saya kurang tahu. Dari masyarakat sekitar, infonya begitu. Tidak ada dokumen yang menjelaskan itu,” jelas Agus.

Penjaga Gedung Papak, Sokiran, juga tidak bisa memastikan mengenai keberadaan jugun ianfu tersebut. Lelaki 63 tahun tersebut mengaku beberapa kali mendapat informasi dari para tetua desa setempat mengenai pemanfaatan gedung tersebut di masa pendudukan Jepang.

“Dari dulunya jadi rumah dinas Pak ADM (Administratur). Pada masa Jepang, menurut para tetua, pernah dijadikan lokasi plesiran kesenangan begituan (seks). Setelah kemerdekaan kembali jadi rumah dinas Pak ADM, sejak 1974 kosong karena tak ada yang berani menempatinya,” kata Mbah Kiran.

Tidak ada lagi yang berani menempati itu terkait kecelakaan maut yang menimpa seluruh anggota keluarga Syarif Bustaman, administratur KPH Gundih waktu itu. Syarif dan seluruh anggota keluarganya meninggal dalam kecelakaan saat mobilnya menabrak pohon di Grobogan.

“Seluruh jenazah korban disemayamkan di Gedung Papak ini. Semenjak itu semua ADM setelah Pak Syarif tidak mau menempati gedung ini sebagai rumah dinas. Akhirnya dibuatkan rumah dinas baru dan gedung ini dikosongkan lalu terkenal sebagai gedung angker dan banyak hatunya. Sempat tak terurus lama lalu sejak awal tahun 2000an ada penjaga untk bersih-bersih,” lanjut Kiran.

Informasi mengenai jejak-jejak jugun ianfu di gedung tersebut, Sokiran bukan hanya mendengar dari para tetua desa. Selama dia menjadi penjaga gedung tersebut, beberapa kali dia melihat seorang nenek datang diantar kerabatnya datang ke gedung tersebut.

“Dulu Mbah Sri Sukanti beberapa kali berkunjung kemari. Kadang sampai nangis-nangis kalau melihat gedung ini. Beliau mengaku dulu pernah disekap lama di gedung ini. Informasi yang saya terima dari mahasiswa penelitian beberapa waktu lalu, Mbah Sri Sukanti sekarang sudah wafat. Hanya itu yang saya tahu mengenai informasi pernah dipakai untuk plesiran kesenangan (penyekapan jugun ianfu) di gedung ini,” papar Mbak Kiran.

Saat detikcom menyambangi lokasi, nampak Gedung Papak masih berdiri kokoh meskipun kelihatan sudah usang. Halamannya luas. Sebuah gapura bertuliskan Gedung Papak warna kuning menjadi identitas gedung. Jalanannya berlapis paving yang tak lagi rata.

Begitu Mbah Sokiran membuka pintu gedung, terlihat jejak bekas kejayaan bangunan. Meski secara umum, kondisinya amat tak terawat. Lantainya berupa plester semen, baik di lantai 1 atau lantai 2.

Dindingnya sudah usang. Bahkan beberapa bagian menjamur. Serta ada sisa bercak kotoran burung sriti. Di bawah dinding dekat lantai di beberapa sudut terlihat lubang yang dilengkapi penyaring. Fungsinya untuk sirkulasi udara.

Dengan kondisi langit-langit di masing-masing ruangan setinggi lima meter, yang sudah rusak. Di lantai bawah ada sekitar empat ruangan. Di lantai atas juga terdapat empat ruangan. Dengan dua ranjang besi terdapat di satu kamar bawah, dan satu di kamar atas.

Ada juga kamar mandi dengan bak kecil serta dapur yang dilengkapi kompor tanam berupa tungku. Bagi yang hendak menuju lantai kedua dari lantai pertama, ada tangga usang terbuat dari kayu dengan anak tangga selebar setengah meter.

Di lantai dua, terdapat satu lukisan perempuan dengan baju kebaya warna putih, menggendong sekeranjang penuh buah rambutan serta menenteng buah serupa di tangan kanannya. Sebuah cermin usang juga terpajang di ruangan lainnya.

Sumber : detik.com

Tanggal : 23 Juli 2019