Matahari menyengat, udara kering. Sebuah wajah siang desa Jono Kecamatan Temayang, desa pinggiran hutan jati Perhutani di Bojonegoro. Paini adalah bagian dari desa hutan, perempuan paruh baya itu lahir dan dibesarkan di antara kokohnya tanaman jati disana. Hutan sumber pangan, sumber air dan sumber penghidupan bagi warga desa.
Sebagai ibu rumahtangga dengan satu anak laki-laki, Paini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani di sawah dan tegalan. Kadang ia bekerja di hutan untuk menambah penghasilan suaminya yang kondektur bis. Tentu saja ia ingin hidupnya berubah. Sorot matanya yang tajam mengatakan itu ketika saya bertemu di salah satu stand pamerannya di Gedung Sarinah Thamrin lantai empat belas.
Hidup tak semudah cerita putri raja. Mimpi Paini bukanlah mimpi Cinderela. Perempuan lulusan Sekolah Dasar ini berani ikut kursus membatik yang diselenggarakan Pemda Bojonegoro. Meski kursusnya gratis, ternyata hanya 20 orang yang ikut pada 2009 itu dan umumnya mereka sudah berumur alias sudah tua-tua. Anak-anak muda desa lebih memilih bekerja di kota sebagai buruh pabrik, meninggalkan kegiatan sawah dan hutan yang dianggap tak sexi karena penghasilan kurang tinggi.
Dari peserta kursus Ia sendirian yang nekad, berbekal sembilan motif batik Bojonegoro yang di launching awal 2010 yaitu motif daun jati, gastrol, daun tembakau, pari sumilak, kayangan api, jagung mijimas, mliwis mukti dan wayang thengulan. Menurutnya, motif batik Bojonegoro diinspirasi dari kokohnya hutan jati. Sebut saja daun jati, pari sumilak, jagung wijimas, semua ada di dalam hutan dan dekat dengan kehidupan masyarakat Jono. Ketika Paini mulai membatik, orang-orang desa mengoloknya “mbatik enthuk opo” (membatik dapat apa; red).
Paini termasuk beruntung ketika Perhutani Bojonegoro memberikan pinjaman dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) senilai empat puluh juta rupiah. Uang itu ia gunakan membeli bahan seperti kain, pewarna, malam dan peralatan lainnya. Untuk seorang Paini, program PKBL bagaikan dewa penolong. Bagaimana tidak, prosesnya kilat, modalnya kepercayaan, niat baik, kerja yang sungguh keras dan kejujuran berusaha. Petugas PKBL tidak mempersulitnya, tidak berbelit administrasinya. Satu lagi yang disukai Paini, ikut PKBL itu gratis dipromosikan kemana-mana tanpa harus bercapek-capek ria.
Kerja kerasnya mulai berbuah manis. Pesanannya mengalir seperti derasnya air sungai Bengawan Solo yang melintas kota Bojonegoro. Selain pesanan untuk seragam sekolah, seragam kantor, pesanan khusus dari Jakarta, Surabaya, Semarang dan Madiun antri. Produksi batiknya bervariasi dari bahan katun primisima hingga sutera tergantung pesanan. Harga juga bervariasi mulai Rp. 75.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Dengan bantuan 20 orang karyawan, Paini bisa mendapatkan keuntungan bersih rata-rata Rp. 6 juta sampai Rp 10 juta sebulan. Sebuah nilai yang cukup besar untuk ukuran penghasilan perempuan di desa Jono saat ini.
Suksesnya tidak bisa dibandingkan dengan suksesnya juragan batik Solo, Jogja, Pekalongan atau Madura yang telah berkibar dan punya nama. Keberhasilan kecilnya mulai diikuti oleh warga desa lain, para perempuan dan laki-laki. Sukses perempuan seperti Paini adalah sukses sebuah kebangkitan masyarakat, dari kegiatan yang tadinya tidak ada menjadi ada. Mimpi dan inspirasi memang penting tetapi lebih penting lagi adalah memfasilitasi terwujudnya mimpi Paini-Paini lain di negeri ini.
Hari semakin sore, suara gesekan ranting dan daun di hutan adalah irama alam yang tak asing lagi. Guguran daun jati berserak di dalam hutan dalam kesendirian. Dan kini bayangan daun-daun jati dan jagung berjatuhan di lembaran kain sutera beraroma malam batik. Perlahan hidup keluarga Paini berubah, dan ia bisa saja menjawab olokan orang-orang desa bahwa ternyata “mbatik enthuk opo-opo” (membatik dapat apa-apa).
Optimisme Paini layak didukung dengan kesungguhan. Sebagai perempuan, Paini telah menunggu apa yang seharusnya dia tunggu, dan bila tak ada lagi yang patut ditunggu, pastilah dia akan pergi ke suatu tempat dimana masih ada harapan**)
Penulis : Soesi Sastro