SEMARANG- Penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dikhawatirkan mengancam ekspor mebel serta barang dari kayu asal Jateng, karena industri kecil menengah (IKM) furnitur belum siap.
Sembilan puluh persen dari sekitar 10.000 IKM furnitur di provinsi ini belum bersertifikat,” tutur Wakil Ketua Bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional Kadin Jateng, Bernadus Arwin, akhir pekan lalu. Saat ini, lanjut dia, pengusaha mau tidak mau harus mengikuti aturan pemerintah soal SVLK. Jika tidak, tak bisa ekspor karena terganjal di bea cukai akibat tidak memiliki dokumen SVLK. “Kalau hal itu terjadi, pangsa ekspor Jateng akan anjlok,” tegasnya.
Menurut dia, SVLK ditangguhkan setahun karena perusahaan- perusahaan belum siap. Meski pemerintah memberikan tenggat penerapan hingga 2015, hal itu tetap sulit dicapai oleh IKM furnitur, karena biaya sertifikasi dianggap terlalu memberatkan. “Semestinya, pemerintah menyuntikkan bantuan dana kepada IKM furnitur untuk mempercepat proses kepemilikan SVLK. Apalagi rata-rata pengusaha membeli kayu dari Perhutani,” ujarnya. Administrasi Rumit Kendala yang dihadapi Indonesia sehubungan dengan SVLK, kata dia, adalah komposisi industri furnitur yang didominasi IKM.
Dengan persyaratan administrasi rumit yang mencakup masalah lingkungan, pelaku IKM mebel merasa keberatan. “Jika satu perusahaan dikenai biaya Rp 25 juta untuk SVLK, ditambah Rp 25 juta untuk izin gangguan (HO), izin upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL), dan lain-lain, totalnya Rp 50 juta. Jika dikalikan dengan 10.000 perusahaan, berapa triliun rupiah habis dalam setahun untuk sertifikasi; itu tidak benar,” papar Arwin. Hal lain yang mengganjal, kata dia, jumlah perusahaan yang ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan untuk menyertifikasi tidak lebih dari 11.
Padahal jumlah perusahaan mebel di Jateng lebih dari 5.000, dan untuk membuat sertifikasi satu perusahaan tidak cukup tiga bulan.(J8-29)
Sumber : Suara Merdeka, Hal 4
Tanggal : 1 April 2014