Pekerjaan besar menanti di depan. Sebuah pabrik yang akan menjadi pabrik sagu terbesar se-Asia Tenggara sedang dalam proses pembangunan dan diproyeksikan beroperasi tahun depan.
Misi besar Perum Perhutani selaku pemilik pabrik ialah menguasai pasar sagu Asia, kemudian dunia. Namun, dukungan infrastruktur yang masih jauh dari harapan membuat Direktur Utama Perhutani Bambang Sukmananto waswas. Ia tidak ingin pabrik yang berlokasi di Distrik Kais, Sorong Selatan, Papua Barat, tersebut terpaksa ditutup karena hasil produksinya sulit didistribusikan.
Ayah tiga putri itu mengaku sempat berdebat dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Bambang mengajukan persyaratan ketika Perhutani ditugasi membangun pabrik sagu tersebut.
Syaratnya, pemerintah harus membangun infrastruktur, seperti akses jalan dan pelabuhan. Permintaan tersebut sesuai dengan komitmen Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dipimpin Wakil Presiden (Wapres) Boediono.
“Kalau Perhutani disuruh bangun itu (jalan dan pelabuhan), tidak mungkin,” cetusnya kepada Media Indonesia, di lokasi proyek pabrik sagu, Papua Barat, pekan lalu.
Pelabuhan yang ada saat ini, menurut Bambang, tidak mampu mengangkut hasil produksi pabrik sagu yang memiliki luas lahan mencapai 17 ribu hektare (ha). Pasalnya, kapal berukuran besar belum bisa mengakses wilayah tersebut.
Di samping itu, pabrik sagu itu belum bisa diakses langsung oleh moda transportasi darat. Padahal, waktu tempuhnya akan lebih singkat ketimbang angkutan laut. Moda transportasi darat membutuhkan jangka waktu 150 menit untuk menjangkau pabrik sagu Distrik Kais, Sorong Selatan, Papua Barat. Adapun waktu tempuh kapal mencapai 3 jam.
Perhutani memberikan batas waktu 2015 kepada pemerintah untuk menyediakan infrastruktur untuk mendukung operasional pabrik. Hal itu seiring dengan rencana perusahaan pelat merah di bidang kehutanan tersebut untuk mulai berproduksi pada Maret 2015. “Pabrik sagu akan tutup kalau hasil produksi tidak ada yang beli,” terang Bambang.
Ia mengungkapkan pabrik sagu milik Perhutani akan memproduksi 12 ribu ton per tahun pada 2015 atau setara 25% dari total kapasitas produksi. Lalu meningkat menjadi 15 ribu ton setiap tahunnya di 2016. “Kapasitas produksi penuh pada 2017,” tuturnya.
Sebelumnya, pabrik sagu milik Inhutani II di Maluku terpaksa berhenti beroperasi. Peristiwa tersebut disebabkan kurangnya perhatian pemangku kepentingan. “Karena habis bangun lalu ditinggal,” jelas Bambang.
Ia menaruh harapan yang besar kepada pemerintahan mendatang, apalagi presiden terpilih Joko Widodo berjanji membangun Indonesia Timur. “Kita tagih,” tegas Bambang.
Instruksi negara kepada Perhutani untuk membangun pabrik sagu di Papua telah melalui pertimbangan aspek bisnis, di samping aspek sosial untuk pemerataan perekonomian di Indonesia.
Perhutani, ungkap Bambang, menyiapkan investasi sebesar Rp 200 miliar untuk pembangunan pabrik sagu yang memiliki kapasitas produksi mencapai 30 ribu ton setiap tahun itu.
Pertimbangan penempatan dana tersebut bentuk tanggung jawab Perhutani sebagai BUMN untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di Indonesia Timur.
“Bila BUMN tidak punya kepedulian, (pembangunan) akan lama sekali,” ucap Bambang.
Pemerintah seharusnya menempatkan BUMN sebagai mesin penggerak untuk pembangunan karena keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Bambang juga mendorong realisasi BUMN Incorporated yang memungkinkan BUMN-BUMN bergerak bersama dalam keterpaduan untuk membangun ataupun menembus pasar baru. “Memang sulit (diwujudkan), tetapi bisa melalui metode konsorsium.”
Dahan untuk mengajukan rencana kepada Kementerian Kehutanan sebagai kementerian teknis. Penerbitan izin dari Kementerian Kehutanan untuk menemukan lokasi pembangunan pabrik sagu memakan waktu relatif singkat. Pasca permintaan dari Menteri BUMN melalui sambungan telepon kepada Bambang disusul surat tugas, ia menemui pejabat setempat.
Perhutani mengajukan permohonan pembebasan lahan seluas 17 ribu ha untuk pembangunan pabrik sagu. “Dalam satu hari proses, akhirnya bisa,” paparnya.
Potensi pabrik sagu Papua selama ini terus disampaikan berulang-ulang. Namun, kata Bambang, semuanya hanya menjadi wacana. Oleh karena itu, ketika dirinya ditunjuk memimpin Perhutani kemudian ditugasi mewujudkan pabrik sagu itu, Bambang cepat bergerak mengambil strategi bisnis.
Ia menolak intervensi kepada BUMN yang justru membebani perusahaan dari sisi finansial. Untuk itu, amat penting jabatan menteri BUMN ditempati kalangan profesional. “Jangan politik masuk ke situ,” cetusnya.
Menurut Bambang, tekanan politik menghambat BUMN melaksanakan transparansi, integritas, dan transformasi perusahaan.
Kurang berani
Bambang menuturkan dirinya sebelumnya menolak tawaran dari Mustafa Abubakar, Menteri BUMN periode 2009-2011, untuk menjabat direktur pemasaran Perhutani “Akan tetapi, kalau sebagai dirut, banyak yang bisa saya perbuat.”
Ia menambahkan karyawan Perhutani kurang berani mengambil risiko bisnis saat ini. Padahal, mereka memiliki kemampuan untuk mengelola perusahaan. “Sepanjang ‘bersih’, enggak ada masalah.”
Upayanya menularkan semangat dan keberanian mengambil risiko kepada karyawan dilakukan tanpa henti di lingkungan perusahaan. Bahkan di akhir pekan, Bambang kerap bersepeda bersama karyawan Perhutani.”Bersepeda masuk ke kampung,” ungkap Bambang.
Olahraga bersepeda, menurut dia, melatih sensitivitas, khususnya kepada masyarakat kurang mampu. Hal itu bertolak belakang dengan bermain golf. “(Main golf) tidak akan bisa lihat keadaan masyarakat sebenarnya karena sekelilingnya orang dengan kondisi yang cukup.”
Tentu saja, waktu yang dihabiskan untuk membina karyawan Perhutani tersebut membuatnya sangat sibuk. Waktu berkumpul bersama keluarga menjadi makin terbatas.
Kendati begitu, Bambang mengatakan keluarganya bisa memahami. Dukungan dari istri dan ketiga putrinya membuatnya semakin yakin menjalani tugasnya sebagai pemimpin Perhutani. “Kalau saya enggak di-support akan payah juga,” pungkasnya sambil tertawa. (E-l)
Sumber : Media Indonesia, Hal 19
Tanggal : 8 September 2014