Handoko Wibowo (49), warga Dukuh Cepoko, Desa Tumbreb, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, merupakan salah satu tokoh di balik seluruh gerakan petani perkebunan di Batang. Lulusan Fakultas Hukum UKSW Salatiga 1986 itu memang sejak lama dianggap sebagai ikon berbagai pergerakan petani perkebunan.
Rumah pribadinya yang ada di tengah perkebunan cengkeh milik keluarga besarnya, kini disulap menjadi markas Omahtani. Ada 13 organisasi petani perkebunan di bawah naungan Omahtani, sesuai dengan 13 konflik tanah yang ditangani. Cikal bakal Omahtani itu dari Forum Perjuangan Petani Batang yang berdiri pada 1998, dan berganti nama menjadi Omahtani pada 2008.
Omahtani tidak pernah sepi dari tamu berbagai kalangan. Tercatat, mulai dari mantan presiden Megawati Soekarnoputri sampai aktivis Suciwati Munir, bertamu ke sana. Selain itu, Gubernur Bibit Waulyo dan Wagub Rustriningsih, politikus Eva Kusuma Sundari dan Jacobus Mayong Padang, seniman Garin Nugroho dan almarhum Franky Sahilatua, dan aktivis Sedulur Sikep seperti Gunretno.
Riset
Begitu pula Budiman Sudjatmiko dan Sudir Santoso, Ketua Parade Nusantara yang merancang Lumbung Suara Rakyat. Mahasiswa yang tengah membuat tesis dan disertasi doktor juga berkunjung ke sana. Salah satunya adalah kandidat doktor dari Undip Yakub Widodo yang sedang riset tentang hukum progresif atas konflik tanah.
Tak hanya itu, beberapa peneliti asing, seperti Olle Tornquist dari Oslo University dan Nancy Lee Peluso dari Cornell University berkali-kali melakukan riset berbagai topik tentang Omahtani. Perkumpulan Demos Jakarta tiap tahun mengadakan training politik, demikian juga Indonesian Corruption Watch dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Terakhir, tiap semester diadakan kursus politik oleh Trade Union Resech Center Jakarta untuk membuat buruh ”go politic”. “Saya ingin rumah saya menjadi oase bagi siapapun yang perduli terhadap petani,” kata Handoko. Sebagai pembela petani perkebunan/kehutanan yang melawan arus dan penuh liku, tentu ada hal-hal pahit yang dialaminya.
Namun di tengah berbagai kesulitan itu, anak pertama lima bersaudara dari pasangan Tjoa Boen Hoey alias Teguh Budiwibowo (almarhum) dan Tan Lan Eng (67) alias Lena Indriana ini selalu menanamkan cara-cara anti kekerasan. ”Bahkan kami pernah diserang seperti di Mesuji, tahu-tahu ada puluhan orang membawa parang mengusir petani di Desa Tumbreb, dari lahan PT Tratak pada awal 2008 silam,” tuturnya.
”Petani pun melawan. Perlawanannya, barisan depan kami adalah kaum ibu membawa pentungan diikuti anakanak dan kaum lelaki di belakangnya,” kenang Handoko. Saat bersamaan, beredar selebaran gelap dari pihak yang mengatasnamaan Masyarakat Anti Penjarahan, yang isinya menyebut Handoko sebagai PKI jenis baru, provokator, dan kafir. Selebaran itu disebar menjelang jumatan di beberapa masjid, dengan harapan akan terjadi huru-hara sehabis shalat untuk melawan Omahtani.
”Kami melawanan situasi berbau SARA itu. Kami menggelar shalawatan nariyah di posko yang kami buat secara dadakan. Tiap malam ratusan lelaki dan perempuan bershalawat dengan pengeras suara hingga kedengaran ke mana-mana, dan menimbulkan simpatik luar biasa dari petani lain yang bukan anggota Omahtani. Lalu terwujud solidaritas yang lebih luas,” kisahnya.
Dia mengungkapkan, saat komunikasi dengan aparat tidak nyambung, pada 2000. Ketika petani di Pagilaran melakukan reclaming, kata sandi aparat di handy talky menyebutnya ”Rusa 1”. ”Gila kan, ini penyebutan hewan buruan yang boleh ditembak, hehehe…,” kata Handoko. Dukungan Ibu ”Bagi saya, lebih banyak suka daripada duka walau berkali-kali kami ini diteror dan dicibir, dikatai advokatnya petani
miskin dan sebagainya. Tetapi, secara keseluruhan saya boleh dibilang bahagia sekali menemui zaman reformasi kebebasan untuk melakukan kata hati, seperti sekarang ini,“ kata Handoko yang sampai kini masih melajang itu. Terlebih, keluarganya mendukung setiap langkah Handoko. Bahkan sang ibu, Lena Indriana dengan berkerudung naik truk bersama petani mengikuti aksi unjuk rasa.
Handoko mengingat ucapan ibunya yang bangga dengan dirinya karena membela orang miskin. “Kami ini dikatakan orang sebagai keluarga Tionghoa ‘gila’. Kami sekeluarga ikut larut dalam demo petani, mulai saya, Handoko, cucu saya yang perempuan juga suka menyanyi di hadapan ribuan petani.“ Terselesaikan Keuletan Handoko memediasi anggota Omahtani dengan pemerintah dan perusahaan perkebunan/kehutanan lama-lama membuahkan hasil. Sebagian kasus yang usia sengketanya itu sudah lebih dari 20 tahun mulai terselesaikan.
Berkat usaha-usaha Omahtani, pada 2004 Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Dr Lutfi Nasution menyerahkan 800 sertifikat atas 52 hektare tanah sengketa di Desa Sindangdesa dan Desa Kebumen Kecamatan Tulis, Batang. Kemudian pada 2008 Perum Perhutani KPH Kendal menandatangani memorandum of understanding (MoU) perdamaian atas konflik tanah sejak 1967 di wilayah Desa Sengon, Desa Gondang, dan Desa Kuripan, Kecamatan Subah dengan 1.200 keluarga penggarap atas 152 hektare tanah yang dipersengketakan.
Bentuk kerja sama itu mengakhiri konflik antara petani di desa-desa tersebut dengan KPH Kendal sejak 1957. Penyelesaian konflik dengan Perum Perhutani tersebut, akhirnya menjadi dasar proses ecolabeling tingkat dunia dengan supervisi dari Word Mark. Kemudian pada 2010 anggota Omahtani sebanyak 145 kepala keluarga mendapatkan tanah sendimentasi seluas 46 hektare di Desa Kuripan, Kecamatan Subah. “Diharapkan awal 2012 ini akan diredistribusikan 89,9 hektare tanah sengketa eks perkebunan PT Tratak kepada 420 keluarga petani miskin,“ katanya.
Selamat berjuang Omahtani! (Yunantyo Adi S-71)
SUARA MERDEKA :: 10 Januari 2012, Hal. 1