Perum Perhutani menggandeng Universitas Negeri Papua dalam pengembangan dan pembangunan industri sagu di Papua Barat. Nota kesepahaman (MoU) pembangunan pabrik sagu yang berlokasi di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, itu diteken oleh Dirut Perum Perhutani Bambang Sukmananto dan Rektor Universitas Negeri Papua Suriel Semuel Mofu, Rabu (8/8).
Universitas Negeri Papua dalam MoU ini berperan untuk menyusun studi kelayakan (feasibility study) proyek dan studi analisis mengenai dampak lingkungan. Hal lain dalam kerja sama ini adalah fasilitasi pemetaan hak ulayat masyarakat adat pada lokasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHBK HA) sagu di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan, dan pendampingan masyarakat lokal secara partisipatif bersama Perum Perhutani.
Pemetaan hak ulayat masyarakat adat merupakan bagian dari penyelesaian masalah sosial. Caranya, memfasilitasi masyarakat secara edukatif dan memandangnya sebagai subjek pembangunan. Diharapkan, nantinya terbentuk kebun sagu dari hutan sagu dan inventarisasi bibit sagu serta bibit sagu unggul.
Suriel Semuel Mofu dalam rilis yang diterima Republika, kemarin. menyatakan, setelah penandatanganan ini, tim Universitas Negeri Papua akan melaksanakan tugasnya mendukung percepatan terwuiudnya salah satu proyek ‘bumper besar di tengah krisis besar’.
Pabrik sagu Perum Perhutani itu berkapasitas produksi 100 ton per hari. Pabrik ini dibangun untuk mengatasi tingginya harga bahan makanan pokok warga Papua. Meski menjadi makanan pokok, di Papua belum ada pabrik sagu. Harga sagu di Papua pun mencapai Rp 18 ribu lebih mahal daripada harga di luar Provinsi Papua yang Rp 9.000.
Bambang Sukmananto menambahkan, untuk memenuhi ketersedian bahan baku pabrik sagu, Perum Perhutani akan menggandeng masyarakat lokal agar pasokan bahan baku pembuatan sagu terjamin kelangsungannya. “Tentu saja, bahan baku dari sagu yang ditanam sendiri oleh Perum Perhutani,” kata Bambang. ?
REPUBLIKA :: 10 Agustus 2012, Hal. 16