Investor Daily, Jakarta-Perum Perhutani optimistis dapat mengoperasikan pabrik pengolahan sagu di Sorong Selatan, Papua Barat, pada tahun depan. Itu seiring dengan adanya jaminan pasokan energi listrik dari PT PLN berbahan bakar biomassa.
Beroperasinya pabrik tersebut diharapkan bisa membantu memenuhi kebutuhan sagu di dalam negeri, khu-susnya Papua dan Papua Barat Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto mengungkapkan, salah satu hambatan realisasi pembangunan pabrik sagu Perhutani adalah soal pasokan listrik untuk operasional pabrik. “Hambatan itu kini sudah selesai setelah ada keija sama dengan PT PLN. Kami harap pabrik sudah bisa beroperasi lahun depan,” kata dia di Jakarta, Jumat (6/9).
Perhutani juga telah menandatangani kesepahaman ketja sama dengan PT Barata (Persero) untuk engineering procurement construction (EPC) pabrik sagu berkapasitas 100 ton per hari.
Bambang mengatakan, selama ini pihaknya berupaya mencari solusi pasokan listrik untuk kebutuhan pabrik sagu karena lokasinya terpencil dan infrastrukturnya minim. Jika pasokan energi diperoleh dari bahan baku konvensional seperti BBM dan batubara, maka biaya operasionalnya tidak efisien. “Kini PLN sudah memiliki teknologi baru untuk memanfaatkan biomassa hasil limbah olahan sagu sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Nah, listriknya itu yang kami manfaatkan,” kata Bambang.
Dengan menggandeng Barata, kata dia, Perhutani memastikan pabrik sagu bisa segera dibangun. Pasalnya, sebelumnya perusahaan pelat merah itu kesulitan memperoleh kontraktor pembangunan pabrik. ‘Tiga kali lelang yang kami lakukan tidak menghasilkan pemenang karena harga yang ditawarkan terlalu tinggi. Ini terkait dengan kondisi infrastruktur yang kurang di Papua. Akhirnya kami melakukan penunjukan langsung kepada Barata,” jelas dia.
Perhutani merencanakan pembangunan industri sagu sejak pertengahan tahun lalu. Pihaknya berharap, sagu yang dihasilkan nanti dapat mengatasi tingginya harga bahan makanan pokok masyarakat Papua yang bisa mencapai Rp 18 ribu per kilogran (kg). Harga itu lebih mahal dibanding harga rata-rata di luar Papua yang hanya Rp 9.000 per kg. Akibat harga yang tinggi, banyak masyarakat Papua yang beralih ke beras sebagai makanan pokok (ina)
Jurnalis : Tri Listiyarini
Investor Daily | 09 September 2013 | Hal.7