Agroforestry, Bangun Desa Kopi di Hutan

INILAHKORAN.COM (13/10/2017) | Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong pembangunan desa kopi. Ini dilakukan sebagai bisnis sosial untuk meningkatkan taraf hidup petani kopi.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto mengatakan, kini terdapat payung hukum yang menjamin aksesibilitas petani untuk lahan sebagai lahan produksi. Selain itu, Dinas Perkebunan akan memberikan bibit pohon kopi untuk ditanam diantara pohon keras.

“Konsep yang diusung yaitu agroforestry. Jadi, petani bisa menanam pohon kopi di bawah naungan tegakan pohon besar di hutan,” kata Hadi saat Pelatihan Kewirausahaan Kopi di Preanger Coffee Shop Bandung, Jumat (13/10).

Menurutnya, PP No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan menjamin izin penanaman pohon kopi tanpa menebang pohon. Jenis pohon kopi yang ditanam itu tergolong Arabika. Pohon jenis ini justru membutuhkan naungan pohon keras agar bisa tumbuh-kembang baik.

Dia menyebutkan, di Jabar terdapat satu desa kopi yang relatif bagus. Itu terletak di Desa Kubangsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Dia menuturkan, akar pohon kopi menghujam ke tanah sedalam lebih dari tiga meter sehingga dapat mencegah erosi. Selain itu, pohon kopi menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen sehingga baik untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

“Kopi saat sedang booming dan bahkan sudah menjadi gaya hidup. Banyak orang kota yang suka nongkrong di kedai kopi. Ini peluang bagi petani kopi untuk naik kelas. Tidak hanya jual kopi, tapi juga jual cangkir kopi di area ekowisata yang juga sedang booming,” ujarnya.

Selama ini, dia mengaku para petani itu belum mendapatkan fasilitas dari negara. Untuk itu, pihaknya memberikan pelatihan agar taraf hidup petani kopi meningkat.

Program ini disambut baik petani kopi yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Jabar. Mereka merupakan petani yang tinggal di sekitar lahan Perhutani dan menanam kopi di antara pohon keras milik Perhutani. Pembina LMDH Jabar Wawan Setiawan mengaku, tak sedikit jumlah petani yang memanfaatkan hutan lindung Perhutani yang lahannya mencapai 100 ribu ha.

“Sekarang, kondisinya ada 350 desa yang menanam kopi di 50 ribu ha hutan lindung. Dari 350 desa itu terdapat sekitar 200 ribu petani yang mengandalkan mata pencahariannya dari menanam kopi. Toh, agroforestry ini menjamin keberlangsungan ekologi dan ekonomi hutan,” sebut Wawan.

Dia mengaku, sekitar 97% kopi Arabika itu dihasilkan dari hutan. Sebab, selain membutuhkan ketinggian permukaan tanah pohon jenis ini pun membutuhkan naungan pohon-pohon tinggi dan besar.

Sementara itu, Pembina Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) Setra Yuhana mengaku potensi biji kopi Jabar ini relatif tinggi. Dengan keunggulan iklim daerah, biji kopi asal Jabar ini memiliki keunggulan tersendiri. Kalau konsep agroforestry ini diterapkan, sekitar tahun keenam dari masa tanam bisa menghasilkan hutan kopi.

“Kalau dari sisi kualitas, biji kopi asal Jabar ini berada di top speciality dengan poin 85-90. Belum mencapai biji kopi yang terbilang top of the top dengan poin 90 ke atas,” ucapnya.

Secara rinci, biji kopi top speciality asal Jabar itu yakni Kopi Java Frinsa, Gunung Tilu, Gunung Malabar, Gunung Wayang, Gunung Cikuray, Gunung Tangkubanparahu, Gunung Papandayan, Gunung Manglayang, Gunung Halu, dan Gunung Patuha.

SCAI merupakan jaringan global Specialty Coffee Association yang konsern pada pendidikan terkait pasar global terkait kopi spesialti. Organisasi ini memiliki standarisasi dan sertifikasi, mengatasi persoalan mata rantai pasokan, menjadi wadah jaringan kerja dari para pelaku industri serta, serta meningkatkan kesadaran hukum dalam kegiatan usaha kopi spesialti.

Sumber : inilahkoran.com

Tanggal : 13 Oktober 2017