BUMN memiliki sumber air jempolan. Air itu sudah diproduksi dan sudah diekspor ke Jepang. Namun, masih kurang serius digarap. Total aset BUMN pada semester satu 2011 sebesar Rp 2.656 triliun. Namun potensinya luar biasa besarnya. Buktinya, dari sela-sela tanah milik Perum Perhutani di Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat, mengalir air jernih yang berlimpah. Dengan sedikit sentuhan teknologi, air itu diekspor ke Jepang sebagai air minum.
Potensi yang mengalir dari tanah BUMN tersebut juga dimiliki oleh Perum Jasa Tirta (PJT) I dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII. Keduanya juga memanfaatkan sumber air dari lahannya untuk dikemas menjadi air minum dalam kemasan (AMDK). Namun, potensi itu tidak digarap maksimal. BUMN-BUMN itu lebih fokus pada bisnis inti yang memang diamanatkan oleh pemerintah.
Bisnis sampingan BUMN tersebut sebenarnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Potensi AMDK sangat luar biasa. Saat ini tingkat konsumsi AMDK di Indonesia sebesar 36 liter per kapita per tahun. Angka ini relatif rendah bila dibanding konsumsi Thailand yang mencapai 70 liter per kapita per tahun, Amerika Serikat 80 liter, Perancis 140 liter, dan Italia 165 liter.
Angka konsumsi itu masih akan terus melonjak. Penyebabnya, ketersediaan air yang layak minum dan berkualitas semakin susah diperoleh. Industri AMDK pun terus berkembang. Berdasarkan catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan, saat ini ada sekitar 567 perusahaan AMDK yang memproduksi 1.625 merek di Indonesia. Dari 567 perusahan tersebut 185 berasal dari anggota Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin).
Peningkatan industri AMDK juga diiringi dengan peningkatan produksi. Tahun 2009, produksi industri AMDK meningkat 13% dari tahun sebelumnya sekitar 13,5 miliar liter. Tahun 2010 meningkat menjadi 14,5 miliar liter dan tahun 2011 ini diprediksi meningkat lagi menjadi 16,7 miliar liter.
Aspadin mencatat, produksi air kemasan itu dikonsumsi oleh masyarakat di Jakarta dan sekitarnya sebanyak 39%. Sedangkan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta mengkonsumsi AMDK sebanyak 40% dan sisanya di luar Jawa. Khusus Jabodetabek yang menyerap 39% pasar AMDK, sekitar 71% adalah jenis AMDK galon dan 29% kemasan kecil.
Di tengah hiruk pikuk bisnis AMDK, BUMN tak ada apa-apanya dibanding merek lain seperti Aqua, Vit, Prima, Ades, Pure Life (Nestle), dan lainnya. Produk BUMN bermerek Perhutani produksi Perhutani, Asa (produksi PJT I), dan AiRolas (produksi PTPN XII) masih kecil dan baru tahap pengembangan. Bandingkan dengan PT Tirta Investama (Danone Aqua). Produsen air minum dalam kemasan merek Aqua ini mampu membukukan pertumbuhan penjualan sebesar 10%-15% menjadi Rp 1,6 triliun – Rp 1,7 triliun pada semester I 2011 dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1,48 triliun.
Perhutani, misalnya. BUMN ini memiliki potensi yang cukup besar untuk bermain di bisnis ini. Dari hutan seluas 2,4 juta hektare yang ada di Jawa dan Madura yang merupakan hutan kelolaan BUMN ini, terdapat 772 titik mata air (618 di antaranya berada di Jawa Barat dan Banten) dan 327 air terjun.
Sadar memiliki potensi air yang bagus, Perhutani lantas bermain air kemasan. Sejak Maret 2006, Perhutani membangun pabrik AMDK di Babakan Madang. Pabrik ini diberi merek Aqua Silva atau AQVA dengan investasi sebesar Rp 3,5 miliar.
Sayangnya, pembangunan pabrik AQVA tak sejernih airnya. Petinggi Perhutani sempat diperiksa oleh Kejaksaan Agung gara-gara diduga menggelembungkan proyek AQVA. Selain itu, mesin merek AQVA atas nama orang lain, bukan Perhutani. Meskipun yang membangun dan membiayai AQVA adalah Perhutani. Akibatnya, harga jual AQVA melambung dan kalah bersaing bila dibandingkan Aqua.
AQVA juga digugat oleh Aqua karena mereknya hampir sama. Akibatnya AQVA mati suri dan sumber air di Babakan Madang disedot oleh truk-truk air isi ulang. Perhutani hanya mengenakan retribusi untuk pengambilan air tersebut.
Setelah lama hanya menerima retribusi, Perhutani mulai tertarik lagi mengelola AQVA. Ceritanya berawal dari tsunami yang melanda Jepang, Maret lalu. Bencana tersebut membuat masyarakat Jepang membutuhkan banyak air minum. Kemudian mereka menerjunkan tim untuk mencari pasokan air ke beberapa negara termasuk kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Philipina dan Indonesia.
Ternyata tidak semua sumber mata air memenuhi standar air minum yang dipatok pemerintah Jepang. Penyebabnya, kandungan partikel terlarut atau TDS (Total Dissolved Solids) tidak lebih dari 60 mg per liter.
Akhirnya tim dari Jepang itu pada Mei 2011 memilih mata air milik Perhutani yang berlokasi di Bojongkoneng, Babakan Madang, Bogor. Air dari kawasan ini memiliki TDS hanya 40 mg/liter.
Menurut Katsuhito Segawa dari PT Classic International Indonesia, eksportir yang membeli AMDK Perhutani, dipilihnya produk ini karena beberapa pertimbangan. Antara lain kualitas air yang memenuhi persyaratan standar di Jepang, sumber airnya alami dari hutan, bebas kandungan logam berat dan zat kimia lainnya, serta bebas dari zat pemutih. “Indonesia (Perhutani) menjadi negara ketiga setelah Kanada dan Korea Selatan yang mampu memenuhi kualitas air minum untuk masyarakat Jepang,” kata dia.
Pada 10 September lalu, Perhutani mulai mengekspor AMDK. Namun bukan dengan merek AQVA, melainkan merek Perhutani. Nilai investasi perdana hanya Rp 50 juta. Setiap bulan, Perhutani akan mengirim dua hingga lima kontainer AMDK ke Jepang. Jumlahnya sekitar 21.600 liter atau setara dengan 36 ribu botol (ukuran 600 ml). “Bagi kita yang penting produk kita sudah ada di Jepang. Ini suatu kebanggaan bagi Indonesia,” kata Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto.
Selama tiga tahun ke depan, Perhutani akan mengirim 3 juta botol AMDK (isi 600 ml) per bulan. Kemampuan ekspor ini masih kurang dibandingkan permintan Jepang yang mencapai 10 juta botol per bulan yang nilainya mencapai Rp 9,58 miliar. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor ini, Perhutani akan menyiapkan investasi di bisnis AMDK sebesar Rp 5 miliar.
Asa di Sengguruh
Potensi AMDK yang masih besar membuat PJT I juga tertarik untuk berbisnis air minum kemasan. Apalagi BUMN penyuplai air ini memiliki empat mata air yang sangat bagus. Salah satunya adalah mata air Sengguruh, Malang, Jawa Timur.
Mata air Sengguruh sejak jaman penjajahan dimanfaatkan penduduk sekitarnya untuk mandi dan mencuci. Mata air ini tak pernah kering meski di musim kemarau yang panjang.
Apalagi laboratorium air yang dimiliki oleh PJT I menjadi rujukan bagi AMDK yang ada di Jawa Timur. “Mereka datang ke sini untuk menguji airnya. Hasil lab, air dari Sengguruh lebih bagus kualitasnya dibanding air kemasan lain,” papar Dirut PJT I, Cuk Waluyo Subianto.
Nah, sejak 2007, PJT I mulai mengolah air ini menjadi air kemasan. Namun tak gampang bagi PJT memasarkannya. Produk yang diberi nama ASA (air sehat alami) ini terganjal perizinan. Kementerian Hukum dan HAM tidak meluluskan merek tersebut karena mirip dengan air kemasan yang diproduksi di Palembang dengan merek AZHA. “Terpaksa kami pakai untuk lingkungan PJT I saja,” kata Cuk.
Kenyataannya, pabrik AZHA sudah lama tak beroperasi. Setelah menunggu tiga tahun dan melewati proses di pengadilan, PJT I akhirnya memperoleh ASA. Dan sejak awal 2010, ASA mulai dipasarkan.
Kini, setiap bulan PJT I memproduksi ASA kemasan galon sebanyak 1.000 buah, ukuran 240 ml sebanyak 2.200 cup, 600 ml sebanyak 5.000 botol dan 110 ml diproduksi sebanyak 2.200 buah.
Namun, jumlah produksi itu dirasa semakin tak mencukupi untuk pasar Malang dan sekitarnya. “Hampir semua BUMN yang ada di Malang saat ini memakai ASA,” tambah Cuk.
PTJ I lantas menyiapkan anggaran untuk berinvestasi sebesar Rp 400 juta. Investasi ini akan dipakai untuk membeli mesin baru dengan kapasitas yang lebih besar. Selain itu, BUMN ini juga akan membangun pabrik di daerah Tulungagung dan sekitarnya. Alasannya, biaya distribusi menjadi mahal bila harus menyuplai ke luar Malang.
Memang, distribusi menjadi kendala bagi perusahaan AMDK. Untuk menyiasatinya, dibangun pabrik di daerah atau mengakuisisi pabrik kecil. Saat ini Aqua memiliki lebih sekitar 14 pabrik baru yang dibangun di Bali, Lampung, Medan, Cianjur, dan Bogor. Sedangkan, produsen AMDK merek Club berencana menambah menjadi 27 pabrik pada 2011.
Nah, kalau PTPN XII memiliki AiRolas. AMDK ini berasal dari sumber air Jatirono Banyuwangi dan diproduksi sejak 2009. Air yang dipasarkan di daerah Banyuwangi dan Jember ini berkapasitas 300 ribu dus per tahun dan menelan investasi sebesar Rp 1,5 miliar.
Nama Media : BUMN TRACK
Tanggal : No. 52 Tahun V Oktober 2011, Hal. 30-32
Penulis : –
TONE : POSITIVE