Hutan tanpa kicau burung, mana mungkin. Bisa jadi derasnya modernitas yang menelusup ke desa-desa hutan telah melupakan orang desa menikmati suara kicau burung pagi hari. Mereka lebih memanjakan telinga dengan music dangdut, music india, campursari sampai music Lady Gaga barangkali. Itu situasi desa Tahunan dan desa Sale Kabupaten Rembang tiga tahun lalu, sebelum Agus Suyanto, Suprapto dan Imam Dwitanto jatuh cinta pada burung Murai Batu dan Lovebird.
Sejak Perhutani Kebonharjo mempersiapkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari berstandar internasional FSC (Forest Stewardship Council), program PKBL menjadi andalan Perhutani untuk menggerakkan ekonomi desa hutan. Pilihan Perhutani untuk memfaslitasi masyarakat berusaha budidaya burung Murai Batu dan Lovebird sempat menjadi perdebatan internal karena burung-burung tersebut termasuk satwa CITES II dengan habitat asli Sumatera. Artinya apabila ditangkarkan di Jawa atau di luar habitatnya akan semakin bagus dari aspek konservasi.
Adalah Agus Suyanto yang mengawali berternak burung Murai Batu (Copsychus malabaricus) tahun 2010. Dari satu kandang berkembang menjadi 8 pasang indukan Murai Batu. Setiap bulan rata-rata indukan beranak 10 sampai 15 ekor. Setiap pasang menghasilkan anakan 2 sampai 3 ekor. Satu ekor burung Murai Batu anakan rata-rata dijual Agus seharga Rp 500 sampai Rp. 750 ribu per ekor, bahkan bisa mencapai Rp. 1,7 juta sepasang bila dipelihara lebih satu bulan. Pemasaran anakan Murai Batu sangat mudah, pembeli langsung mendatangi rumah Agus di desa Tahunan, bahkan sering calon pembeli harus inden, menunggu dan rela antri. Usaha Murai Batu Agus memberi keuntungan sekitar Rp 8 juta sampai Rp. 10 juta per bulan, setelah dikurangi biaya pakan kroto dan jangkrik Rp 40 ribu perhari.
Lain Agus Suyanto, lain pula Imam Dwitanto yang memilih Lovebird untuk dibudidayakan. Dengan modal Rp. 6 juta untuk empat pasang indukan, Imam memulai usahanya. Dia menyukai Lovebird asal Afrika ini karena bulunya yang halus, warna yang beraneka ragam, bentuk paruh mungil seperti paruh kakaktua dan kicauan yang merdu.
Untuk budidaya, Iman menghabiskan Rp 1.000 per hari atau Rp.120.000 untuk pakan dan pengasuhan empat pasang Lovebird-nya. Pada usia 7 samapi 8 bulan, Lovebird mulai berproduksi menghasilkan telur. Kualitas produksi Lovebird yang baik umumnya pada saat induk berusia 1 sampai 3 tahun. Melewati usia 3 tahun, kualitas akan berkurang. Lovebird bertelur setelah 4 hari usai kawin. Terlur yang menetas, setelah waktu 7 sampai 8 minggu anak Lovebird bisa dipisah. Sedangkan induk kembali produksi setelah 2 minggu kemudian. Menurut Iman, produksi bisa juga lebih panjang dari waktu normal. “Kalau lama tidak bertelur, menu makan Lovebird diubah, diberi asupan sayur-sayuran yang bisa menaikkan birahi seperti taoge dan sawi,” jelasnya.
Lovebird cukup unik pemasarannya yaitu dengan lelang. Anakan Lovebird jenis Lutino misalnya, saat baru menetas sudah diminta calon pembeli, Imam tidak segera mau menerima pembayaran tetapi ia akan menunggu tawaran tertinggi dari peminat lain. Demikian juga Lovebird jenis Ficheri yang biasa dijual seharga Rp 400.000 itu bisa naik mencapai Rp 12 juta dalam lelang, jika kualitasnya baik. “Memang Ficheri yang paling murah. Tapi, kalau menang kontes, harganya melambung. Jenis ini yang suaranya paling kuat,” ungkap Iman. Imam tidak pernah kuatir memasarkan Lovebird, pembelinya adalah agen-agen burung, pencinta burung dan masyarakat biasa. Harga burung Lovebird akan semakin tinggi jika sudah berpasangan. Harganya pernah mencapai Rp 4 juta sampai Rp 6juta bahkan Rp. 10 juta per pasang.
Mereka tentu saja sangat terbantu dengan dana PKBL yang digulirkan Perhutani Kebonharjo Jawa Tengah senilai Rp. 25 juta tahun 2012. Proses sangat mudah dan digulirkan dengan system klustering. Usaha budidaya Burung Murai Batu dan Lovebird ini layaknya mesin ATM bagi Agus, Iman dan Prapto dan keluarganya. Kini Kicau burung begitu marak di setiap sudut hutan di wilayah Rembang, banyak yang mulai mengikuti jejaknya. Wajah para isteri mereka berbinar dengan lompatan nilai pendapatan yang tak pernah terduga untuk ukuran orang desa. Dan para isteri itu berbisik kepada suami mereka:” tak terpilah lagi antara Perhutani, Lovebird, Murai Batu dan cintaku padamu”.
Oleh: Soesi Sastro