Pemerintah Kabupaten Cilacap Jawa Tengah mengungkapkan, tingkat keberhasilan program rehabilitasi kawasan mangrove di laguna Segara Anakan terlalu rendah. Alasannya, karakteristik kawasan tersebut memiliki arus yang cukup deras dengan tingkat pasang surut tinggi sehingga sangat berpengaruh terhadap masa awal pertumbuhan benih mangrove.
Pemerintah Cilacap mengaku belum memiliki data terbaru sebagai acuan evaluasi program penanaman mangrove yang dilakukan tahun 2011 lalu. Meski demikian, tingkat keberhasilan upaya penanaman tidak lebih dari 50 persen. Itu pun masih diwarnai berbagai kendala pertumbuhan.
“Sebagian benih mangrove terutama yang ditanam di tepian selalu gagal. Tenaga arus perairan yang deras kerap mencabut batang mangrove yang baru ditanam. Selain itu tanaman juga terancam tenggelam jika terjadi air pasang yang tinggi,” kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Cilacap, Sudjiman, Kamis (8/3).
Berbeda dengan wilayah Pantura Jawa yang berarus tenang, penanaman mangrove di Laguna Segara Anakan seharusnya menggunakan teknologi khusus. “Kabar yang kami peroleh, sejumlah daerah yang berarus desar telah menerapkan teknologi itu. Kami juga telah menyampaikan keinginan untuk melakukan studi banding di kawasan tersebut pada Kementerian Kehutanan,” kata Sudjiman.
Di tempat terpisah, Koordinator Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) wilayah Kutawaru Cilacap Muhamad Busyro membantah pernyataan tersebut. Menurutnya kondisi arus dan pasang surut perairan Segara Anakan jauh lebih kondusif bagi perkembangan vegetasi mangrove karena terlindungi dengan adanya Pulau Nusakambangan.
Lebih lanjut dia menjelaskan, kewenangan dan pengelolaan kawasan mangrove Segara Anakan dibagi menjadi empat wilayah kelembagaan. Masing masing pemegang kewenangan adalah Perum Perhutani, Kementerian Hukum dan HAM, Pemkab Cilacap dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Dari empat wilayah tersebut, hanya Perum Perhutani yang memberlakukan model pengelolaan serta perawatan yang melibatkan masyarakat sekitar dalam wadah LMDH. “Mengapa rehabilitasi mangrove di luar wilayah kewenangan Perhutani selalu gagal, karena hampir tidak pernah ada upaya perawatan. Begitu acara seremonial penanaman selesai dilaksanakan, benih mangrove langsung ditinggalkan begitu saja tanpa pengawasan,” ujar Busyro.
Kalaupun Pemerintah Cilacap ingin melakukan studi banding dalam rangka rehabilitasi mangrove, Busyro mengusulkan agar dinas terkait melakukan kunjungan ke wilayah yang di kelola LMDH. Keuntungannya, pemkab tidak perlu menguras anggaran karena jaraknya yang bersebelahan. Selain itu, model rehabilitasi yang diterapkan oleh LMDH Kutawaru telah terbukti berhasil mengembangkan vegetasi mangrove di tepian sekaligus menggerakkan sektor usaha kecil menengah bagi masyarakat desa hutan. ? Stevie Saputra
Jurnal Nasional:: Jum’at, 9 Maret 2012 Hal. 16