Awali Pagi di Antara Bunga-Bunga yang Mulai Mekar di Cikole

LIPUTAN6.COM (18/11/2017) | Pagi adalah Cikole. Sebuah tempat di kaki Tangkuban Perahu dengan segala geliat masyarakatnya. Di Cikole ini pula bisa melihat dan merasakan udara 19 derajat celcius di pagi hari.

Hutan pinus yang dikelola Perhutani dan diberdayakan sebagai tempat wisata, refreshing, maupun kontemplasi, hanyalah sedikit dari pemicu semangat. Pagi adalah Cikole, sebuah tempat di mana legenda Sangkuriang dihidupi dan menghidupi warganya.

Aina, seorang petani sayuran di sekitar Cikole menuturkan, ia pernah mendengar kisah dari orang tuanya. Kisah yang didengar Aina, tak jauh dari legenda Sangkuriang.

“Sangkuriang itu memang sakti, namun ia menolak adanya kekuatan lain yang lebih besar di luar dirinya,” kata Aina, sambil menyemai bibit sayuran Horenzo, Jumat, 16 November 2017.

Sangkuriang boleh jadi sebuah drama tragedi, namun Cikole adalah antitesa. Semua semangat di pagi hari akan terlihat ketika bunga-bunga Aerish memekar begitu matahari menampakkan diri di Cikole.

“Biasanya jam delapan baru mekar,” kata Denny, petugas camping land Cikole Grafika.

Bukan hanya Aerish, namun jauh sebelumnya kuntum Dadap Merah (Erythrina Crista-galli) sudah memekar usai adzan subuh. Sapuan putih kabut di hutan pinus, aroma embun yang kadang diselingi aroma belerang, tak selalu ada suara burung pembangkit pagi.

“Burung liar memang sudah sangat jarang. Dulu banyak sekali jenis burung nuri, kakaktua, dan lain-lain. Nggak tahu sekarang ada di mana mereka kok nggak pernah terdengar,” kata Eman.

Jalan di tracking hutan pinus Grafika Cikole, bersiap saja untuk bertemu kumbang goliath yang berukuran raksasa. Bisa mencapai sekepalan tangan orang dewasa. Kaki-kaki serangga yang bergerak itu akan menjadi teror bagi pengidap insectaphobia (fobia pada serangga).

“Saya mah sejak mulai bertanam sayuran, tak pernah bertemu ular,” kata Eman.

Cikole merupakan jantung bagi Lembang dalam hal produksi sayuran. Berbagai jenis sayuran ternyata disediakan dari tanah tinggi ini. Hawa dingin tak pernah dirasakan.

“Biasa dingin di sini. Cobalah mulai bekerja selepas sholat subuh. Awalnya memang terasa dingin, tapi jika sudah terkena air pagi Cikole, pasti terus pengin bekerja,” kata Eman.

Nasihat Eman diiyakan oleh Aina. Ia mengaku sudah mulai bekerja usai salat subuh. Mulai dari menjerang air untuk menyiapkan kopi suami dan menyiapkan kebutuhan anak tunggalnya, Aina juga menyempatkan diri memilah pakaian kotor yang harus dicuci.

“Kalau malas terkena dingin, sampai kapanpun akan malas. Di sini jam satu siang saja masih dingin,” kata Aina.

Aina dan Eman adalah sosok petani tangguh. Mereka hanya fokus menanam sayuran. Tak peduli tanah yang digarapnya bukan milik pribadi, dan mereka hanya pekerja.

“Sampai jam dua belas siang nanti, saya dapat bayaran tiga puluh ribu rupiah. Bagi saya itu banyak dan bukan lumayan. Suami juga mengerjakan tanah milik orang. Kadang pulang sore, bayarannya lima puluh ribu,” kata Aina.

Kisah Sangkuriang sudah sangat populer. Ia adalah sejenis Ubermensch (manusia adi daya), konsep manusia unggul yang diperkenalkan Friedrich Nietsche, filsuf eksistensialis Jerman. Dalam konsep Ubermensch, manusia tidak akan percaya apapun di luar dirinya.

“Sangkuriang itu sudah dinasihati Dayang Sumbi, tapi dia tak mau mendengar. Ia sakti tapi sombong,” kata Aina.

Menilik kisah yang didengar Aina, konsep Ubermenz memang mewujud dalam sosok Sangkuriang. Ia menolak segala kebenaran. Ia menganggap dirinyalah kebenaran utama. Pusat kebenaran semesta.

Sementara itu, Eman, seorang petani lain yang tengah sibuk membersihkan bekas tanaman tomat usai panen bercerita, bagi masyarakat sekitar Lembang dan Tangkuban Perahu, membicarakan Sangkuriang sebenarnya sudah bosan. Dongeng itu selalu diulang turun temurun.

“Saya dulu sering mendengar kisah yang di-dalingding-kan para tetua kalau ada acara adat,” kata Eman.

Penolakan Dayang Sumbi dengan memberi persyaratan berat, adalah solipsisme penjungkirbalikan eksistensialis dari tanah Pasundan. Penuturan Eman menegaskan perlakuan masyarakat Sunda terhadap bumi dan hasil alamnya.

“Bumi itu ibu. Ia tidak boleh dirusak. Sangkuriang tak boleh merusak ibunya,” kata Eman.

Dalam gagasan barat, bumi adalah sebuah sumber daya yang harus dieksploitasi untuk kemakmuran manusia. Resistensi budaya timur yang memperlakukan alam dan bumi sebagai ibu yang harus dihormati itu melawan dengan menghidupkan legenda-legenda dan mitos.

Pagi adalah Cikole. Berada di ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut. Kabut dan gerimis akibat pekatnya kabut adalah sahabat. Uap air yang berkondensasi itu senantiasa akan menyergap siapapun untuk menyambut pagi hari dengan menggerakkan badannya.

Bunga memekar, laba-laba menjalin sarang untuk menangkap mangsa. Roda kehidupan, geliat aktivitas semua ada di Cikole pagi hari.

Pagi adalah Cikole. Legenda dan denyut kehidupan masyarakat Sunda di kaki gunung sangat menyatu dengan alamnya. Ya, pagi adalah Cikole.

Sumber : liputan6.com

Tanggal : 18 November 2017