KOMPAS, JAKARTA (30/5/2016) | Menanam, mengolah, dan memasarkan kopi sejak enam tahun lalu tak memuaskan Mukidi (41), petani kopi asal Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Tidak melulu sibuk dengan usahanya sendiri, dia pun tekun membagikan ilmu kepada siapa saja yang datang kepadanya.
Di sela-sela membuat bubuk kopi bersama istrinya. Sumi (31), Mukidi menjadikan dirinya sebagai sumber informasi tentang kopi kepada setiap tamu yang mengunjungi rumahnya. Mereka tidak hanya rekan sesama petani kopi di Temanggung, tetapi juga pemilik kafe, pemilik rumah makan, dan produsen kopi bubuk.
Kepada para petani, dia akan membagi pengalaman mengolah lahan, semangat konservasi, serta memproduksi dan memasarkan kopi Bagi para pelaku usaha, dia biasa menerangkan ibnu mengolah biji kopi hingga me-raciknya menjadi aneka minuman.
Dalam transfer ilmu ini, Mukidi tidak merasa dirinya sebagai seorang guru, tetapi juga teman ngobrol. “Ketika ada yang datang dan bertanya tentang kopi, di situlah kami justru berdiskusi dan saling mengisi,” ujarnya.
Tamu-tamu Mukidi berdatangan dari berbagai daerah, seperti Temanggung, Magelang, Yogyakarta, Semarang, Cianjur (Jawa Barat), dan Sidoarjo (Jawa Timur). Mereka mengetahui keahlian dan pengetahuan Mukidi tentang kopi dari mulut ke mulut serta dari informasi di internet
Tak jarang Mukidi juga melayani berbagi ilmu dalam ajang seminar atau pelatihan di luar kota. Ini dia lakoni di Jawa Tengah sampai ke beberapa kotadi Jawa Barat Dia sama sekali tidak mematok biaya. Kalau toh harus pergi ke luar daerah, pengundang hanya diminta mengalokasikan dana untuk transit atau menginap. “Untuk di dalam ataupun di luar kota, ibnu tentang kopi tetap saya bagikan gratis,” ujarnya
Lantaran sibuk mengurusi petani lain ini. Mukidi sering kali dicap kurang kerjaan. Pasalnya, dia sendiri memiliki usaha produksi kopi yang dikerjakan berdua bersama istri dengan jutaan rupiah per bulan. Namun, lelaki itu tetap bersikukuh berbagi ibnu. “Ini tidak boleh berhenti. Ada potensi ekonomi bernilai besar dari kopi jika kita bisa bersama-sama mengolah lahan dan memproduksi kopi dengan benar,” ujarnya.
Berubah
Terlahir sebagai anak dari keluarga petani tembakau, Mukidi lekat dengan aktivitas bercocok tanam. Namun, dengan pendidikan SMK, dia ingin menjajal “hal baru” dalam bertani.
Hal baru itu dirintis sejak enam tahun lalu. Awalnya, lebih dari 10 tahun Mukidi bekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan tenaga pendamping Perhutani Namun, belakangan dia prihatin melihat kerusakan lingkungan, erosi lahan pertanian, serta nasib petani yang mandek, bahkan cenderung miskin. Itu mendorongnya berhenti dari LSM dan beralih serius menggarap lahan.
Turun ke lahan, dia mengubah sistem oleh lahan lama menjadi berkonsep terasering dengan kemiringan mengarah ke dalam. Selama ini kebanyakan petani hanya melulu menanam tembakau, dan sebagian lain menggabungnya dengan bawang merah atau bawang putih. Padahal, dengan lahan terbatas, petani seharus-nya menanam beragam tanaman yang bisa dipanen secara mingguan, bulanan, dan tahunan.
Di lahan sendiri, dia sempat beruji coba dengan menanam kopi dengan tembakau, kopi dengan jahe. dan tanaman sayuran, serta menggabungkan kopi dengan serai, sayuran atau pohon buah-buahan seperti durian. Dia lantas berkonsentrasi menanam kopi ka-rena tanaman itu membantu konservasi lahan.
Setelah membenahi lahan, dia mulai berdagang kopi Karena produksinya belum optimal, dia pun menjual green bean kopi, hasil pemrosesan dari biji kopi merah yang dibelinya dari petani lain. Namun, dua tahun berdagang, temyata harga kopi fluktuatif dan cenderung merugikan petani. “Saya mulai berpikir, untuk mendapatkan keuntungan Iebih, saya harus bisa mengolah biji kopi dan menjual kopi bubuk sendiri,” ujarnya.
Demi memenuhi mimpi itu, Mukidi berjalan-jalan ke sejumlah kafe di Yogyakarta untuk melihat proses mengolah biji kopi dan belajar ilmu meracik aneka ragam kopi Dengan bekal itu, sejak empat tahun lalu, dia membuat kopi bubuk sendiri
Dia mengolah biji kopi gelondong dari petani menjadi green bean dengan mesin pulper yang disewa dari salah satu kelompok tani di Kecamatan Gemawang. Hingga kini, dia masih menyewa dan menggunakan mesin itu secara bergantian dengan kelompok tani pemiliknya. Untuk mengupas kulit tanduk green bean kopi, dia membayar jasa pengupasan kepada pemilik mesin huller di desa.
Pada tahun pertama membuat kopi bubuk, Mukidi menyangrai {roasting) kopi secara manual dengan wajan dan kompor. Pada tahun kedua, dia membuat mesin sendiri Coba-coba itu tidak berlangsung mulus. “Di tahap awal, mesin roasting sempat mendadak jebol karena ukuran dinamonya terialu besar,” ujarnya.
Tak menyerah, Mukidi memperbaiki mesin roasting agar berfungsi optimal. Temyata kemampuan ini memberikan penghasilan tambahan. “Mesin roasting buatan saya dipesan dan dikirim ke Purwokerto, Temanggung, Banjarnegara, Solo, Magelang, dan Serpong, Tangerang,” ujamya
Mukidi telah mengeluarkan tiga merek kopi dengan ciri khas masing-masing, yaitu kopi jawa, kopi lamsi (kopi beraroma tembakau), serta kopi muladi Merek terakhir itu hasil perpaduan dari kopi arabika, robusta, dan ekselsa atau kopi yang beraroma nangka. Pemasaran digencarkan secara on-line, termasuk dengan memanfaatkan sosial media.
“Ibnu” meramu kopi bubuk dengan ciri khas ini juga dibaginya kepada banyak orang. Khusus menyangkut kopi buatannya, ada beberapa hal yang tidak diutarakan demi menjaga ori-sinabtas rasa dari produknya Namun, demi kebaikan dari masing-masing petani atau produsen kopi, “resep” dari siapa pun tidak perlu ditiru 100 persen.
“Tidak perlu meniru. Setiap orang bisa membuat kopi dengan cita rasa dan ciri khas sehingga nanti akandicari-cari konsumen,” ujarnya Petani mandiri
Pahit-manis selama menerjuni produksi kopi inilah yang “dirangkum” sebagai “ibnu” dan kemudian dibagikan Mukidi khalayak. Berkaca dari pengalaman, dia mengingatkan setiap rekan petani agar mandiri Kemandirian dimulai dengan “menguasai” lahan sendiri, memahami cara ber-tanam dan mengolah lahan sehingga mampu mengolah hasil panen, serta memasarkannya sendiri
Mukidi berharap, pemerintah mendukung konsep kemandirian ini Caranya, pemerintah jangan gampang memberikan bantuan mesin atau peralatan yang sering kab berlebihan dan tidak sesuai kebutuhan petani “Bantuan yang sebenarnya kami harapkan adalah program pelatihan, pemberdayaan petani dan kemudahan dalam mengurus berbagai perizinan,” ujarnya. Perizinan itu antara lain izin produksi kopi sebagai produk industri rumah tangga (PIRT).
Akhir tahun 2015, Muladi menggalang kekuatan petani dengan Himpunan Tani Kopi (Hiptankop) Temanggung, yang sementara tni baru beranggotakan 9 petani dari 5 kecamatan. Dengan semangat kemandirian, mereka berupaya membuat merek kopi sendiri atas nama Hiptankop. Mereka berencana memproduksi kopi dalam skala pabrikan dengan pabrik milik kelompok.
Mukidi selalu menyuarakan semangat kemandirian. Salah satunya, lewat penulisan slogan di produk kopi buatannya “Salam Petani Mandiri, Menata Lingkungan dan Ekonomi”.
Tanggal : 30 Mei 2016
Sumber : Kompas