Berjibaku Selamatkan Wayang Windu

Kompas, Bandung – LANGKAH Sutisna Effendi terhenti di depan sebatang pohon yang baru saja ditebang. Sambil berjongkok, dia mengamati sisa batang pohon setinggi 30 sentimeter itu, lalu meraba serpihan kayu yang terserak di rerumputan. ”Ini contoh pohon yang ditebang secara ilegal, lalu kayunya dijadikan kayu bakar,” katanya.

Minggu (22/12) siang itu, Sutisna sedang berjalan kaki menyusuri Hutan Lindung Wayang Windu yang terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sebagai Kepala Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Wayang Windu, lelaki berusia 53 tahun itu memang harus melakukan patroli untuk menjaga keasrian hutan.

Minimal empat kali dalam sepekan, Sutisna dan tiga stafnya menyisir sejumlah wilayah Wayang Windu. Memang tak semua area bisa didatangi dalam sekali jalan karena luas hutan itu mencapai 2.785 hektar, sedangkan mereka tidak memiliki kendaraan patroli. ”Kami biasa keliling dengan jalan kaki saja,” ujarnya.

Salah satu yang kerap dicemaskan Sutisna adalah penebangan pohon yang diduga dilakukan warga sekitar hutan. Tekanan ekonomi mendorong masyarakat melakukan tindakan tersebut. Padahal, sejak 2003 Wayang Windu ditetapkan sebagai hutan lindung sehingga penebangan pohon tanpa izin tidak boleh dilakukan.

Hutan Wayang Windu berbatasan dengan dua kecamatan di Kabupaten Bandung, yakni Kertasari dan Pengalengan. Dulu, Wayang Windu merupakan hutan produksi. Pada 1960-an, pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan itu kepada Perum Perhutani, badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di sektor kehutanan.

Namun, mengingat arti penting hutan tersebut, statusnya diubah menjadi hutan lindung. Hingga kini, Perum Perhutani tetap ditunjuk sebagai pengelola. RPH Wayang Windu yang dipimpin Sutisna merupakan bagian dari BUMN itu.

Wayang Windu memiliki arti penting bagi kelestarian lingkungan sekitarnya, terutama karena hutan itu merupakan penyangga Sungai Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat, yang kerap menyebabkan banjir. Kawasan Gunung Wayang, yang adalah wilayah hulu Citarum, merupakan bagian dari hutan tersebut.

Walaupun sudah ditetapkan sebagai hutan lindung, berbagai ancaman tak henti mengganggu keasrian Wayang Windu. Penebangan pohon hanya salah satunya. Menurut Sutisna, penebangan pohon biasanya dilakukan saat malam hari. ”Kayu hasil tebangan kebanyakan hanya dijadikan kayu bakar. Sayang sekali,” tuturnya.

Ancaman lain yang jauh lebih serius adalah alih fungsi lahan hutan menjadi ladang pertanian. Lagi-lagi, tindakan ini dilakukan masyarakat sekitar hutan, terutama warga Desa Tarumajaya dan Cibeureum di Kecamatan Kertasari.

Sutisna mengatakan, alih fungsi lahan terjadi sejak 1990-an saat status Wayang Windu masih hutan produksi. Saat itu, kawasan Petak 73 di Gunung Wayang, yang merupakan daerah hulu Citarum, juga ikut dialihfungsikan. Kondisi itu turut menyumbang kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum yang menyebabkan banjir di sejumlah kota di Jabar.

Tak frontal
Berdasarkan data Elemen Peduli Lingkungan, komunitas yang aktif memantau kondisi Sungai Citarum, luas lahan kritis di wilayah hulu Citarum mencapai 46,54 juta hektar. Setiap tahun, 31,4 persen dari lahan itu terus mengalami erosi. Erosi itu kemudian menghasilkan sedimentasi sebanyak 8,2 juta meter kubik per tahun.

Saat Wayang Windu ditetapkan sebagai hutan lindung pada 2003, para petani yang merambah hutan sempat ditertibkan. Namun, pada 2007 alih fungsi lahan kembali terjadi. Kini, dari 2.785 hektar lahan Wayang Windu, sekitar 400 hektar dalam kondisi kritis karena dijadikan lahan bercocok tanam aneka jenis sayuran, misalnya kentang, kubis, dan wortel, oleh masyarakat.

Menghadapi situasi demikian, Sutisna mengatakan, pihaknya tak bisa bertindak frontal. Pendekatan persuasif pun dipilih. Sejumlah organisasi lokal, seperti Baraya Tani Bandung dan Institut Gunung Wayang, dirangkul. ”Banyak petani yang sebenarnya sudah sadar bahwa pelestarian hutan justru penting untuk mereka,” katanya.

Hasilnya, pada Minggu (22/12) sekitar 1.500 petani yang tergabung dalam Baraya Tani Bandung beramai-ramai menanam 30.000 bibit pohon pinus, kayu putih, dan suren di Wayang Windu. Pada Jumat (27/12), sekitar 4.000 bibit pohon kembali ditanam. Bibit yang ditanam merupakan bantuan dari RPH Wayang Windu.

”Penanaman pohon ini menunjukkan bahwa petani juga peduli pada pelestarian wilayah hulu Citarum,” kata Sekretaris Jenderal Baraya Tani Bandung Heri Perdian.

Bisa sejalan
Pada 1990-an, Heri mengatakan, dirinya juga ikut bercocok tanam di wilayah Wayang Windu. Namun, sejak mengetahui arti penting pelestarian hutan, warga Desa Tarumajaya itu memilih menghimpun petani di sekitar Wayang Windu untuk ikut menjaga keasrian hutan.

Menurut Heri, pelestarian hutan sebenarnya bisa sejalan dengan kepentingan petani. ”Saat ini, kami telah membuat peta tata ruang Wayang Windu. Kami sudah mengatur mana daerah yang boleh ditanami sayuran dan mana yang tidak supaya pertanian berjalan selaras dengan keasrian hutan,” katanya.

Sekretaris Jenderal Institut Gunung Wayang Uus Kusmana mengatakan, perjuangan menghijaukan kembali Wayang Windu belum selesai. Saat ini masih banyak petani di Kecamatan Kertasari yang belum sadar pentingnya kelestarian hutan. ”Tujuan perjuangan kami adalah menyadarkan mereka bahwa pertanian tak boleh merusak hutan,” katanya.

Tanam bambu
Untuk memberi contoh upaya pelestarian hutan yang sekaligus menguntungkan petani, Institut Gunung Wayang dan Baraya Tani Bandung berencana menanam bibit bambu di Wayang Windu. Selain bisa menyerap air dan menjaga kelestarian hutan, bambu juga bisa memberi penghasilan bagi warga.

”Apalagi, pohon bambu kalau ditebang bisa tumbuh lagi sehingga tak perlu ditanam berulang-ulang. Sayang, sampai kini kami belum memiliki bibit bambu untuk ditanam,” kata Uus.

Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto juga terus mengajak masyarakat masuk program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Wayang Windu. Dalam PHBM, warga diajak menanam pohon berkayu keras di kawasan hutan. Di antara pohon itu, petani boleh menanam beberapa jenis tanaman, seperti kopi dan teh, sehingga mereka tetap mendapat pemasukan.

”Program itu terus kami gulirkan sejak 2002 lalu,” ujar Bambang. Sebagai daerah hulu Citarum, peran kawasan Wayang Windu sangat strategis bagi ketersediaan air di sungai ini. Pasalnya, Citarum merupakan sumber air bagi pengairan sekitar 420.000 hektar sawah di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, Subang, dan lumbung padi nasional di Karawang dan Indramayu.

Selain memasok kebutuhan air minum bagi 15 juta warga di kabupaten/kota tersebut, Citarum juga merupakan sumber air minum bagi 10 juta warga DKI Jakarta.

Kompas | 03 Januari 2013 | Hal. 24

Share:
[addtoany]