Carbonterprises; Integrasikan Perhutani-Inhutani

KETIKA memperingati hari ulang tahun Jurnal Nasional, Kamis (4/6), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara luas tentang green economy. Dikemukakannya, green economy merupakan ideologi baru dunia, new world ideology in the 21st centurydalam bidang ekonomi. Dikatakan demikian, karena hal itu relevan dengan tantangan sangat besar: perubahan iklim, dan tantangan lebih berat: membangun kesejahteraan bagi seluruh bangsa di dunia secara adil dan berkelanjutan.
Elemen dari green economy adalah ekonomi yang dibangun dan dijalankan sebagai bagian dari upaya strategis mengatasi perubahan iklim, mencegah pernbesaran emisi gas rumah kaca, yang akhirnya berpengaruh pada ketersediaan pangan, energi, dan air bagi manusia yang menghuni bumi.
Mengingat bumi tidak berkembang, kerusakan alam berlangsung sistematis, dan manusia kian bertambah popu- lasinya, menurut Presiden SBY, maka manusia harus kreatif dan inovatif mengelola sumber daya alam. Termasuk di dalamnya, mendayagunakan sains dan teknologi untuk bertindak efektif dan efisien mengelola bumi. Tidak menguras sumber-surnber energi, pangan, dan air.
Dalam pandangan Jaar Diamond, eksploitasi sumber daya alam melalui deforestasi telah menyebabkan malapetaka besar bagi kehidupan manusia. Bahkan, deforestasi yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan instabilitas ketahanan pangan, memicu perang, sebagaimana dialami berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia.
Selaras dengan itu, karena kini kita memasuki era konseptual (jauh melampaui era agraris, industri, dan informasi), maka aplikasi green economy mesti dibumikan dengan harmonitas kepentingan. Dalam hal pengelolaan hutan sebagai bagian dari kekayaan sumber daya alam, green economy mengharmonisasikan tindakan bisnis yang tidak memperburuk kondisi perubahan iklim, dan tidak menguras sumber-sumber daya alam yang tidak semestinya. Setarikan napas, green economy dengan pemanfaatan sains dan teknologi, menggerakkan manfaat pengelolaan hutan sebesar-besarnya.
Carbonterprises atau pengelolaan karbon (sebagai hasil penurunan emisi) yang bernilai ekonomi pun menjadi pilihan. Antara lain, melalui proses alih bisnis kehutanan dari yang logging industry berdampak deforestasl, menjadi konservasi. Untuk itulah diperlukan perubahan minda (mindset) atau cara pandang, nilai, perangai, kebiasaan, dan gaya hidup masyarakat yang tidak rakus, tidak boros, dan tidak mudah menguras sumber daya alam, khasnya hutan.
Seiring dengan prinsip green economy dan letter of intent yang ditanda tangani dengan Norwegia, Indonesia bersepakat mengurangi emisi sebesar 26 persen sampai tahun 2020. Sebagai konsekuensi logisnya, Pemerintah Norwegia akan mengeluarkan dana US$ 1 miliar untuk kepentingan konservasi. Akhirnya, seperti kata Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, pemerintah Norwegia akan membayar hasil manfaat yang diperoleh dari tindakan pengurangan emisi itu.
Berpijak pada kearifan lokal, moratorium hutan adalah keniscayaan. Pengusahaan hutan dalam konteks green economy, diarahkan pada reforestasi secara sistemik melalui konservasi. Presiden SBY menyebutnya: stay away dari upaya merusak hutan. Perubahan minda bisnisnya adalah: carbonterprises yang bersinergi dengan sustaianable agriculture.
Dalam konteks itu, kita sepakat dengan pandangan Menteri Kehutanan yang hendak mengusulkan kepada Menteri Negara Usaha Negara (BUMN) untuk menata ulang dan mengintegrasikan Perhutani dan Inhutani (I-IV) agar terasa manfaatnya oleh rakyat.
Nama Media : JURNAL NASIONAL
Tanggal : Rabu, Nopember 24 2010
Penulis : N Syamsuddin Ch Haesy

Share:
[addtoany]