Curug Malela, Keindahan yang Tersembunyi

Di warung tenda bambunya, Inah (60) setia menunggu kedatangan pembeli sejak pagi. Selasa (1/2) siang itu, sinar matahari cukup menyengat kulit. Beberapa ratus meter di bawah tenda itu, Curug Malela terlihat anggun dalam kepungan bukit hijau. Lima baris air jatuh dari ketinggian tiga puluh meter. Suara tum-bukannya yang keras dan ajek sampai ke telinga Inah, membuat nenek dua cucu itu tersadar betapa sepi hari itu. Belum ada seorang pun pengunjung datang melihat curug (air terjun).
Untuk menuju lokasi curug,dari warung tenda Inah, pengunjung harus menuruni jalan setapak, melintasi lereng bukit dan sawah. Sebagian kecil jalan ini baru saja selesai diperkeras dengan batu dan semen. Selang lima belas menit, dijumpailah curug yang oleh banyak orang, termasuk di antaranya Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, disebut-sebut sebagai miniatur Air Terjun Niagara itu.
Seperti kebanyakan wisata alam lain, daya tarik utama Curug Malela adalah pemandangan memikat mata yang memancing rasa penasaran untuk diabadikan dalam jep-retan kamera. Bongkahan batu, bundar dan lempeng, tersebar di badan sungai di bawah curug, memberi kesempatan bagi pengunjung untuk leluasa bermain-main dengan air atau buih. Jika beruntung, akan terlihat beberapa ekor monyet menampakkan diri dari balik rimbun pepohonan.
Curug Malela, yang terletak di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat itu, belum cukup lama dikenal masyarakat luas. Menurut Aldi (39), warga setempat, baru sejak pertengahan 1990-an orang berani datang melihat curug untuk sekadar rekreasi. “Sejak kecil, saya sudah tahu ada yang namanya Curug Malela. Akan tetapi, tak pernah sekali pun saya datang melihat. Siapa berani datang? Para orang tua dan kuncen selalu bilang tempat itu angker. Tidak boleh dikunjungi,” ujarnya.
Sisa-sisa keangkeran itu bahkan masih menjadi buah bibir warga sekitar hingga se-karang. Salah satu cerita yang paling populer adalah kisah seorang pengunjung asal Kota Bandung yang mendapati sosok aneh ketika memotret curug. Muncul penampakan seorang kakek dengan jenggot putih yang panjangnya semata kaki. Warga yakin, itulah Prabu Taji Malela, salah seorang Raja Sumedang Larang yang memerintah pada abad kedelapan Masehi. Dari nama raja itu jugalah, konon curug itu kemudian disebut.
Di satu sisi, status angker yang melekat pada Curug Malela membuat keaslian tempat ini, yang sebagian besar di antaranya ada di kawasan hutan pinus milik Perum Perhutani KPH Bandung Selatan, relatif terjaga. Namun, di sisi lain, akses jalan menuju lokasi ini menjadi masalah serius ketika akhir-akhir ini muncul niat besar untuk mempromosikan Curug Malela sebagai salah satu ikon wisata.
Dari Ngamprah, ibu kota kabupaten, jarak yang harus ditempuh menuju Curug Malela sekitar 60 kilometer. De-ngan kondisi jalan yang sebagian di antaranya tergolong memprihatinkan, waktu tempuh menggunakan kendaraan pribadi berkisar antara dua hingga tiga jam. Kerusakan terparah justru ada di dua kilometer terakhir menuju curug. Jalan hutan yang masih didominasi tanah benar-benar akan menyulitkan pengunjung, apalagi jika turun hujan.
Buruknya infrastruktur jalan ini pula yang menjadi bahasan serius berbagai pemangku kepentingan. Pemprov Jabar konon bersedia mengucurkan dana untuk memperbaiki jalan. Perum Perhutani sendiri sedang menjalin komunikasi dengan Pemkab Bandung Barat soal ini. Namun, belum ada kesepakatan meski kedua belah pihak sama-sama ingin menjadi pengelola. Banyak pihak berharap, kerumitan birokrasi ini tak lantas mengabaikan langkah apa yang perlu dilakukan bagi pengembangan Curug Malela.
Nama Media : PIKIRAN RAKYAT
Tanggal : Jumat, 4 Februari 2011 hal 19
Penulis : Ag. Tri Joko Her Riadi

Share:
[addtoany]