MADIUN, KOMPAS — Sepuluh tahun lagi, Pulau Jawa terancam kekurangan pasokan air bersih. Akibatnya, impor air tidak bisa terelakkan lagi. Ancaman tersebut bakal terwujud jika tidak ada solusi konkret dan kuat untuk mencegahnya.
Direktur Bina Kehutanan dan Sosial Kementerian Kehutanan Hariyadi Himawan, Selasa (27/8), dalam seminar tentang penyelamatan hutan Pulau Jawa, menyatakan, ancaman defisit air di Jawa bukan isapan jempol. Alasannya, sebagian besar hutan yang berfungsi sebagai sumber air di daerah aliran sungai (DAS) dalam kondisi kritis dan agak kritis.
Seminar terkait reuni emas 50 tahun Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta di Pusdiklat Perhutani di Kota Madiun, Jawa Timur, itu diikuti perwakilan dinas kehutanan pemerintah daerah di Pulau Jawa dan Perum Perhutani. Selain Hariyadi Himawan, juga hadir Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
”Luas hutan yang kritis dan agak kritis mencapai 1,6 juta hektar atau lebih dari 50 persen dibandingkan dengan luas total kawasan hutan yang luasnya 3,04 juta hektar. Kritis yang dimaksud terkait fungsi lahan sebagai pemasok air,” ujarnya.
Hutan kritis itu tersebar di semua bagian hulu DAS, seperti Bengawan Solo, Serayu, dan Citarum. Di kawasan hulu DAS Bengawan Solo, misalnya, terdapat 247.000 hektar hutan kritis dari total hutan 400.000 hektar.
Selain itu, lanjut Hariyadi, di luar kawasan hutan, penggunaan lahan tidak terkontrol sehingga mengurangi daerah resapan air yang akhirnya berdampak pada daya tangkap air. Penggunaan lahan ini, misalnya, untuk pembangunan permukiman dan kawasan industri yang tidak memperhatikan tata ruang.
Hutan kritis yang semakin banyak membuat pasokan air dipastikan turun hingga 50 persen. Penurunan volume semakin besar karena daerah resapan air hilang. ”Hingga kini belum ada hitungan matematis tentang penurunan volume air tanah di Pulau Jawa karena tidak mudah melakukan penghitungan soal itu,” katanya.
Hariyadi mencontohkan, fenomena kekeringan di sejumlah daerah menjadi salah satu indikator lahan kritis dan sumber mata air tertutup.
Wakil Dekan Fakultas Kehutanan UGM Lis Rahayu menambahkan, ancaman defisit air bisa menjadi kenyataan. Alasannya, ribuan juta tahun silam Pulau Jawa merupakan daerah padang pasir. ”Oleh karena itu, jika kita tidak bijaksana mengelola sumber air, kemungkinan kita akan kembali dalam kondisi zaman seperti itu,” katanya.
Penyebab kerusakan hutan, lanjut Lis, tidak lain adalah bencana dan ulah manusia. ”Faktor penyebab ulah manusia ada dua, yakni perbuatan yang tidak bertanggung jawab atau kebijakan yang kurang tepat,” ujarnya.
Alih fungsi
Akibat kekeringan yang melanda 251 hektar padi di Kelurahan Oesao dan Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tanaman padi yang berusia hampir dua bulan terpaksa dialihfungsikan. Aliran air sungai dari Gunung Amarasi justru meresap ke tanah sehingga tidak mengalir ke lahan.
Dari 37 sumur, hanya 17 sumur yang masih menyimpan air. Sebanyak 20 sumur lain justru kekeringan. Meski demikian, 17 sumur tersebut tidak berfungsi secara normal karena petani memiliki keterbatasan dana untuk membeli bahan bakar.
Sementara itu, akibat musim kemarau, air di Bendung Dumpil, Kecamatan Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah, menyusut. (NIK/KOR/HEN)
Kompas | 28 Agustus 2013 | Hal.21