Merah, kuning, hijau di langit yang biru…. Saya dan kita pasti ingat dan hafal lagu anak-anak berjudul Pelangi-Pelangi itu. Acep Saepulloh, pria 31 tahun asal Desa Pasirlangu, Cisarua, Lembang, Jawa Barat, bisa jadi sering menyanyikan lagu itu setiap hari. Bukan karena melihat pelangi di langit biru, tetapi saking senangnya melihat buah paprika warna merah, kuning, hijau bergelantungan di kebun greenhousenya.
Sejak 1994, Asep bekerja di greenhouse paprika milik kakaknya. Ia pelajari dengan tekun teknik budidaya paprika. Sepuluh tahun menjadi anggota kelompok tani dan Koperasi Mitra Sukamaju akhirnya ia keluar. Informasi dari seorang Mandor Perhutani Bandung Selatan tentang PKBL, benar-benar merubah hidupnya.
Tahun 2007, Acep memberanikan diri mengajukan proposal PKBL dan akhirnya mendapat pinjaman Rp 4.000.000,- dari Perhutani Bandung Utara. Tenggang waktu pengembalian pinjaman tiga tahun, baginya sangat melegakan.
Dari pinjaman PKBL inilah usaha paprika seperti kakaknya dirintis. Ia mendirikan greenhouse ukuran 30×7,5×4 meter di tanahnya sendiri. Diakui bahwa pinjaman PKBL itu belum cukup memenuhi semua kebutuhan memulai usaha paprika. Modal yang dibutuhkan lumayan besar. Untuk sebuah greenhouse saja Acep harus membeli bambu dan plastik UV yang harganya tidak murah. Belum lagi bibit, media tanam, polybag, dan lain-lain. Harga plastik UV pelindung tanaman paprika dari paparan sinar matahari Rp 33.000,-/kg. Untuk 1.000 tanaman perlu 1 kuintal plastik UV. Biaya plastiknya saja bisa mencapai Rp 15.000.000,-. Harga benih paprikanya antara Rp. 500 s/d Rp. 2.100,-. Hitungan harus jelas. Kakaknya pernah gagal, tetapi dari kegagalan itu Acep belajar cara mengantisipasi agar sebab kegagalan tidak terjadi padanya.
Warna paprika di daerah Pasirlangu ada delapan yaitu; merah, kuning, hijau, hijau muda, putih, hitam, oranye, dan ungu. Tetapi sebagian besar petani hanya mengusahakan warna merah, kuning dan hijau, karena di luar ketiga warna tersebut pasarannya kurang bagus.
Warna paprika jadi indikator harga. Merah dan kuning adalah jenis yang paling mahal, karena panennya lebih panjang sehingga pemeliharaan menjadi lebih lama. Sedangkan paprika hijau harganya lebih murah karena bisa lebih cepat dipanen.
Harga rata-rata paprika di pasaran antara Rp 13.000,- s/d Rp 15.000,- per kilogram. Jangka waktu dari awal tanam sampai panen rata-rata adalah 3 bulan. Setelah itu, tanaman paprika dapat terus dipanen hingga satu tahun yang terbagi dalam beberapa kali panen.
Teknik menanam paprika ini sederhana. Satu greenhouse harus ditentukan dahulu jenis paprika dominan yang ditanam. Misalnya 75% ditanami warna merah maka 25% sisanya paprika warna kuning. Sebaliknya perpaduan jenis paprika warna yang lain. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kelangkaan barang di pasar. Meskipun jumlahnya sedikit, stok salah satu jenis paprika tidak pernah kosong.
Ketika hasil kebunnya mulai bagus, tahun 2008, Acep ayah dua anak ini berhenti bekerja di greenhouse kakaknya dan fokus mengelola paprika kebun sendiri.
Hasil panen paprika dijual melalui Koperasi Mitra Sukamaju. Selanjutnya koperasi menjual paprika sampai ke Jabodetabek seperti pasar induk Cibitung dan Kramat Jati juga sampai ke Surabaya. Khusus untuk paprika yang masuk pasar swalayan, ada perantara tersendiri yang datang mengambil barang ke Koperasi. Paprika Pasirlangu ini juga merambah pasar mancanegara khususnya ekspor ke Malaysia sejak tahun 2000.
Selama ini ia belum pernah meminjam uang pada bank maupun pihak lain selain Perhutani. Ia mengatakan bahwa prosedur untuk mengajukan pinjaman PKBL tergolong mudah walaupun nilai pinjaman yang didapatkannya relatif kecil. Ketentuan dalam pengembalian pinjaman pun tidak begitu berat, sehingga itu yang menjadi pertimbangannya untuk tidak meminjam pada pihak lain.
Pinjaman pertama lunas tahun 2010. Untuk mengembangkan kebunnya, Acep mengajukan pinjaman PKBL kedua Rp 8.000.000,-. Sebentar lagi pinjaman ini lunas terbayar dari hasil paprikanya. Usaha paprika menurutnya sangat menjanjikan.
Kebun Acep yang semula 225 m² kini meluas jadi 1700 m². Hasil panen awal 500 kilogram setiap kali panen, kini mencapai 3,5 ton per panen. Paprika ini dapat dipanen hingga tujuh kali hingga akhir daurnya selama satu tahun. Omzetnya semula Rp 5.000.000,- per bulan sekarang menjadi Rp 18.000.000,- termasuk keuntungan bersih. Ia dibantu dua pekerja, ini berarti, usahanya memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Tentu saja ia ingin usahanya terus meningkat. Perhutani Bandung Selatan juga menilai usahanya maju pesat dan paprika sangat prospektif. Ada keinginannya untuk mendapatkan pinjaman yang lebih besar lagi yaitu Rp 25.000.000,- bahkan mungkin lebih dari itu. Namun ia masih menunggu keputusan. Baginya memperbesar usaha bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk memberi kesempatan warga desa bekerja dan belajar bertanam paprika di kebunnya.
Acep bersyukur alam di lereng Tangkuban Perahu berpihak padanya. Yang terpenting PKBL Perhutani telah mengantar kemandirian usahanya. Mungkin bagi mereka yang berpunya, nilai empat juta rupiah bukanlah apa-apa, tetapi bagi Acep nilai itu manfaatnya luar biasa. Di balik hutan Pasirlangu, sore selalu tampak cerah. Disanalah Acep dan anak isterinya tersenyum cerah. Ia mengaku panen berkah dari paprika kuning merah.
Penulis : Soesi Sastro
Sumber : Ufuk PKBL Action No 14 Tahun II November 2013