Wilayah kaki Gunung Manglayang merupakan salah satu kawasan yang banyak mendapat perhatian sejumlah pihak, terkait munculnya desakan pemulihan dan menjaga kelestarian lingkungan. Sebab, tangkapan air dari utara Bandung.
Banyak cara dilakukan untuk memotivasi berlangsungnya pemulihan kawasan tersebut, termasuk mengurangi terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan gangguan kawasan hutan setempat.
Di antara solusi yang ditawarkan adalah dengan mengembangkan aspek ekonomi berbasis pelestarian lingkungan untuk masyarakat di kaki Gunung Manglayang. Hal itu dilakukan dengan memanfaatkan potensi lingkungan di kawasan tersebut, melalui sinergi wisata hutan (wanawisata), agrowisata, dan agroforestry (wanatani).
Wanawisata dan agrowisata saat ini menjadi tren daya tarik utama pengembangan kawasan hutan di Jawa Barat. Ada dua manfaat yang bisa diperoleh yakni menghasilkan nilai tambah bagi pengelola dan masyarakat, sekaligus menjaga ekosistem kawasan setempat.
Salah satu kawasan yang bersiap-siap dijadikan kawasan agrowisata baru adalah di Kampung Bongkor, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Kawasan agrowisata tersebut berupa pemanfaatan lahan milik desa, disinergikan dengan keberadaan hutan pinus Bongkor yang resmi dijadikan kawasan wanawisata dengan sebutan “Bukit Bintang”.
Pengembangan kawasan agrobisnis di desa tersebut, muncul atas kesepakatan antara desa dan warga dengan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Utara selaku pengelola Hutan Bongkor. Kesepakatan itu muncul dengan harapan bahwa kawasan Hutan Bongkor dan kawasan agrowisata alam yang nyaman, tertib, dan aman. Apalagi, lokasinya paling dekat serta mudah dituju dari Kota Bandung.
Di lahan milik desa yang berada di depan Hutan Bongkor tersebut, selama ini diusahakan tanaman sayuran secara konvensional. Seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Hutan Bongkor, akhirnya orientasi pengusahaan sayuran diubah ke agrowisata hortikultura dan palawija.
Rencananya, kawasan agrowisata di Bongkor dilakukan menyambut musim hujan akhir tahun 2014, dengan mengusahakan tanaman yang lebih beragam. Nantinya jenis agrowisata yang ditawarkan kepada wisatawan adalah agrowisata petik sendiri, seperti tanaman stroberi, kentang, cabai, wortel, bunga, jagung, kacang tanah, dan aneka tanaman lainnya.
Nantinya komoditas holtikultura dan tanaman tahunan, oleh para petani tidak lagi dijual secara konvensional. Komoditas tersebut nantinya akan ditawarkan kepada para wisatawan yang ingin merasakan langsung memanen komoditas yang mereka minati.
Administratur KPH Bandung Utara, Wismo Tri Kancono, salah seorang penggagas sinergi Hutan Bongkor dengan agrowisata berharap, sinergi antara Hutan Bongkor dan agrowisata di lahan desa bisa memacu penyelamatan ekosistem dan keseimbangan alam setempat.
Pada sisi lain, katanya, kunjungan masyarakat ke Hutan Bongkor melonjak setelah Lebaran 2014. Tercatat, ada 5.000-an pengunjung, termasuk wisatawan asing, yang tertarik dengan keasrian dan keorisinalannya.
Wismo mencontohkan, kawasan Hutan Bongkor selaku hutan lindung masyarakat untuk melihat pemandangan Kota Bandung pada siang dan malam hari. Dari kawasan ini, pengunjung bisa menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari. Untuk itu, masyarakat diharapkan mau mempertahankan keasrian kawasan kaki Gunung Manglayang.
Wismo menambahkan, keberadaan agrowisata yang bersinergi dengan wanawisata Hutan Bongkor, diharapkan memunculkan manfaat berantai bagi masyarakat sekitar seperti lapangan kerja. Selain berupaya menjaga kultur pertanian masyarakat setempat, juga memotivasi generasi muda setempat untuk memanfaatkan lahan sekitar sebagai sumber nafkah tanpa harus melakukan urbanisasi.
“Sinergi Hutan Bongkor dengan kawasan agrowisata milik desa setempat, juga merupakan potensi pembelajaran ilmu alam yang baik bagi masyarakat perkotaan. Apalagi, lokasinya tergolong paling mudah bagi masyarakat untuk mempelajari manfaat berantai kawasan hutan, ilmu pertanian, budaya masyarakat perdesaan, pengendali air, dan pelestarian lingkungan bagi perkotaan, dll,” ujarnya.
Camat Cimenyan Asep Rahmadi, menilai positif adanya sinergi Hutan Bongkor dengan pengembangan kawasan agrowisata di lahan milik desa seluas lima hektare itu. Masyarakat setempat pun tampak antusias untuk mengusahakan agrowisata dengan harapan memperoleh pendapatan lebih baik. Kawasan yang terjaga keasriannya, serta masyarakat yang terjaga ketertibannya.
“Semoga saja ini merupakan salah satu aplikasi yang berpengaruh positif terkait dengan demikian, kawasan Bongkor bukan hanya sekadar kawasan ekonomi dan lingkungan, tetapi juga menjadi motivasi menjaga ekosistem desa setempat karena pengaruhnya berantai sampai dengan Kota Bandung,” ujar Asep.
Menurut Wismo, di lahan seluas 5 hektare milik desa nantinya akan dikembangkan agrowisata tanaiman holtikultura dan palawija. Namun, satu hektare di antaranya akan dijadikan lokasi leuweung sabilulungan (hutan gotong royong) yang dikembangkan secara agroforestry. Kawasan hutan ini akan diisi dengan tegakan kayukayuan, aneka buah-buahan, dan tanaman tahunan lainnya yang bermanfaat. Hal ini merupakan salah satu motivasi yang tengah dikembangkan Pemkab Bandung, untuk memacu masyarakat desa dalam menyelamatkan dan menjaga lingkungan sekitarnya.
“Jika konsep ini berjalan mulus, semoga 23 tahun ke depan kawasan Bongkor bisa menjadi percontohan suatu kawasan tersinergi antara hutan lindung yang dimanfaatkan sebagai wisata serta produksi pinus, kawasan agrowisa¬ta, serta hutan agroforestry. Jadi, bukan hanya akses wisata dan keuntungan, tetapi saling berimbang dengan kedaulatan serta ketahanan lingkungan, ekosistem, budaya, dll. yang serba bermanfaat baik bagi masyarakat,” ujar Wismo.
Wanatani di Kaki Gunung Manglayang
Kawasan kaki Gunung Manglayang dari barat sampai ke timur, di masa lalu dikenal sebagai salah satu kawasan pertanian yang lestari, lengkap dengan hutan, pohon-pohon tahunan, aneka satwa khas Jawa Barat, dan keunikan lainnya.
Sisasisa keunikan kawasan kaki Gunung Manglayang masih ada. Namun, belakangan ini banyak berubah menjadi lahan kritis akibat perusakan lingkungan dan alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman.
Salah seorang pegiat lingkungan di kaki Gunung Manglayang, Hermin Karlina menyebutkan, tantangan utama pemulihan dan pelestarian kawasan tersebut, karena terlalu banyak ditanami sayuran. Khusus di kaki Gunung Manglayang, tantangan terbesar adalah sebagian lahan dimiliki orang kota, yang dikhawatirkan mereka kebanyakan tidak memiliki kemampuan dan kurang memiliki visi pemulihan lahan kritis.
Menurut Hermin, banyak orang kota pemilik lahan di kaki Gunung Manglayang, merasa pengelolaannya sudah cukup terselesaikan dengan dimitrakan kepada masyarakat setempat, walaupun hanya dimanfaatkan bagi pembudidayaan tanaman sayuran. Dampaknya, pemulihan kawasan kaki Gunung Manglayang sering terkesan jalan di tempat dan membuat putus asa pihak yang peduli terhadap lingkungan di kawasan tersebut.
Berlatar kondisi tersebut, Hermin yang sehariharinya menjabat Kepala Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benin Dinas Perkebunan Jawa Barat, beserta dengan pegiat lingkungan asal Bandung lainnya, Busono dan Dini, menjajaki pengembangan agroforestry (wanatani) di kawasan kaki Gunung Manglayang. Selain sudah mengembangkan tanaman kopi dan populasi pohon kayukayuan, mereka juga mencoba mengembangkan komoditas lainnya.
Busono dan Dini berharap, munculnya berbagai aksi untuk memulihkan lingkungan kawasan Gunung Manglayang, mulai dari pengembangan agroforestry, pengembangan wisata Hutan Bongkor, sampai dengan pengembangan agrowisata, diharapkan akan memacu minat masyarakat lainnya untuk ikut memulihkan kembali lahan-lahan pertanian mereka di kaki Gunung Manglayang.
Hal ini sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar serta upaya memulihkan lingkungan dalam jangka panjang. Busono menilai, dengan pengembangan aspek ekonomi berbasis lingkungan, masyarakat tak perlu khawatir akan kembali terjebak dengan kondisi klise dengan ketidakpastian harga jual komoditas aneka pertanian.
Justru, menurut dia, menghadapi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, peluang sektor usaha agroforestry, agribisnis, dan agroindustri sangat besar bagi masyarakat Jawa Barat, termasuk bagi masyarakat di Gunung Manglayang.
Disebutkan, ke depannya sangat banyak komoditas tanaman tahunan di Indonesia akan sangat laku keras di pasaran. Mulai pohon kayu-kayuan, tanaman perkebunan, buah-buahan, dan rempah-rempah, akan menjadi komoditas spesifik yang bisa mengungguli negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
“Paling tidak, kebutuhan pasar domestik terhadap produk agro hasil tanaman tahunan ke depan akan meningkat. Yang diperlukan adalah pemetaan produksi, pengembangan pemasaran, penguatan usaha kelompok dan jaringan pemasaran, pengenalan aneka inovasi agroindustri dari berbagai komoditas, dll. Sehingga pola agroforestnj menjadi terencana,” ujar Busono.
Dengan peluang pasar yang cukup terbuka lebar, maka pengusahaan agroindsutri yang berbasis menjaga kelestarian lingkungan, akan sangat dibutuhkan. Pada satu sisi, kemajuan pasar tidak hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga tetap menjaga keajekan lingkungan sebagai kawasan yang harus dijaga kelestariannya.
Dulu Dikenal Sebagai Sentra Pohon Nangka
Bibit pohon nangka siap tanam di Bandung. Pohon nangka akan menjadi salah satu andalan “agroforestry “yang akan memberikan banyak manfaat.
Bagi masyarakat yang sering berkunjung ke kawasan kaki Gu¬nung Manglayang mereka biasanya memiliki kenangan terhadap buah-buahan yang banyak terdapat di kawasan tersebut dulu di kawasan itu banyak ditemukan pohon nangka, pohon durian, dan pohon kemiri.
Pohon nangka dan duan adalah salah satu komoditas unggulan buah-buahan di Asia Tenggara karena peminatnya tinggi. Begitu pun kayu pohon nangka dan durian, ternyata banyak diminati sebagai bahan bangunan dan furnitur berkualitas tinggi.
Komoditas lainnya yang dahulu banyak terdapat di kaki Gunung Manglayang, adalah pohon kemiri dan pohon sobsi. Kini populasi pohon-pohon tersebut menyusut karena kayunya tergolong laris untuk dimanfaatkan sesuai dengan keperluan.
Forester dari Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat Banten, Budi Triana menyebutkan, pohon nangka sangat baik untuk dikembangkan kembali di kawasan kaki Gunung Manglayang, karena pasar komoditas ini cukup meningkat.
Buah nangka tergolong jenis buah yang sangat diminati masyarakat, tetapi populasinya terus berkurang sehingga harga jualnya menjadi mahal.
la mencontohkan, di sekitar tempat tinggalnya di Cilengkrang, yang merupakan salah satu kawasan di kaki Gunung Manglayang, dahulu dikenal sebagai salah satu sentra pohon nangka. Namun, saat ini banyak pohon nangka ditebang masyarakat untuk dijual kayunya, karena harganya sekitar Rp 5 juta/pohon untuk usia 30 tahunan.
Menurut dia, ke depan pohon nangka akan menjadi salah satu andalan agroforestry, yang akan memberikan banyak manfaat baik dalam jangka pendek maupun panjang. Saat umur pohon nangka masih optimal untuk produksi, pemilik pohon akan memperoleh hasil penjualan buahnya yang tergolong baik.
Namun, kendala terbesar yang tetap harus diwaspadai, menurut dia, pohon kayu-kayuan milik masyarakat dari kaki Gunung Manglayang, belakangan ini juga laris diburu para bandar kayu. Oleh beberapa oknum bandar kayu yang nakal, kayu muncang, durian, dan sobsi yang dibeli dari masyarakat tersebut, kemudian dimodifikasi untuk dijual dan diklaim sebagai produk kayu seberang.
la menilai, faktor perencanaan dan promosi hasil penelitian litbang akan sangat membantu untuk kembali menumbuhkan kegairahan menanam buah-buahan yang dulu pernah menjadi ciri khas kawasan kaki Gunung Manglayang tersebut.
Misalnya, untuk pohon durian dan nangka, diharapkan ada hasil penelitian litbang berupa bibit yang mampu menghasilkan buah lebih cepat, karena biasanya baru berbuah lima tahun.
“Di balik harga jual aneka pohon kayukayuan yang tinggi, dampaknya pun terasa, di mana pohon-pohon tahunan menjadi cepat habis. Ini pun menja¬di ancaman serius bagi pelestarian lingkungan maupun populasi komoditas itu sendiri, yang sebenarnya bisa diimbangi penanaman baru pohonpohon sejenis yang menghasilkan buah lebih cepat,” ujar Budi
Sumber : Pikiran Rakyat, Hal 25
Tanggal : 1 Oktober 2014