Radar Jember – BERNYANYI, bermain sambil belajar. Begitulah murid dari TK Tunas Rimba di Desa Sukorejo Kecamatan Sukosari menghabiskan waktu saat di sekolah. Namun satu hal yang unik, anak-anak di sini juga diajarkan tentang kelestarian hutan.
SALAH satu konsekuensi datang ke TK Tunas Rimba adalah komunikasi melalui seluler terhenti total. Di sini, sinyal HP benar-benar hilang. Maklum, sekolah ini berada di dalam hutan pinus di kawasan KPH Perhutani Bondowoso. Untuk mencapai lokasi ini pun butuh perjuangan.
Banyak titik jalan yang menanjak. Belum lagi saat kemarau seperti saat ini, debu jalanan beterbangan. Sementara saat hujan, jalanan berlumpur karena memang tidak beraspal. Saat rombongan KPH Perhutani Bondowoso datang akhir pekan lalu, para siswa TK itu menyambut dengan semarak drum band. Ada juga anakanak yang mengibarkanbendera merah putih. Sambutan terasa meriah. Jarang sekali ada petinggi pemerintahan yang datang ke tempat ini.
Cat putih dan coklat mendominasi sekolah ini. Dari sisi bangunan, TK Tunas Rimba terbilang cukup megah. Arsitekturnya juga unik. Atapnya mirip dengan bangunan- bangunan khas Eropa yang banyak ditemukan di kawasan perkebunan Sempol. Keindahan bangunan TK ini tak kalah dengan sekolah TK lainnya di perkotaan. Kekhasan arsitektur Eropa karena bangunan TK ini adalah peninggalan Belanda.
Awalnya adalah milik KPH Perhutani Bondowoso. Tak sedikit orang yang datang ke sekolah tersebut berselfie ria. Mereka mengabadikan dirinya dengan background sekolah TK itu.
Dalam catatan Adi Winarno, Administratur KPH Perhutani Bondowoso, berdirinya TK Tunas Rimba dilatarbelakangi kebutuhan yang mendesak. Sarana pendidikan bagi anak pekerja yang tinggal di lahan Perhutani sebelumnya cukup jauh. Karena itulah, pada 1992, Perhutani mendirikan sekolah yang tepat berada di tengah-tengah hutan pinus. “Dulu bangunan dari kayu.
Sekarang lantai sudah dikeramik dan bertembok. Hanya bagian atap masih asli,” paparnya. Pada 1992, sudah barang tentu Desa Sukorejo yang berada di jalur menuju kawasan wisata Kawah Ijen tak seramai sekarang. Waktu itu desa ini sunyi. Belum masuknya listrik membuat suasana malam hari begitu gelap. Keberadaan TK Tunas Rimba menjadi berkah tersendiri bagi warga setempat. Warga setempat kini tidak perlu jauh mengantar anaknya ke sekolah.
Adi pun merasa bersyukur TK Tunas Rimba bisa eksis sampai sekarang. Sekolah itu kini menampung 40 murid untuk TK A dan TK B. Tak ada biaya yang dikenakan kepada siswa alias gratis. Sedangkan dana operasional guru dan lainya berasal dari Perhutani. “TK ini sudah terdaftar di Dispendik,” paparnya.
Uniknya lagi, guru-guru yang mengabdi di sekolah ini adalah istri para pegawai Perhutani yang ditugaskan Kawasan Resort Pemangku Hutan (KRPH) Sukorejo. Selain bernyanyi, bermain dan belajar, para guru juga mengajarkan murid TK Tunas Rimba tentang kelestarian hutan. Anakanak ini dipahamkan tentang pentingnya hutan bagi manusia. Kelak, mereka diharapkan menjadi garda terdepan yang bisa menjaga hutan tetap lestari.
Bahkan lebih dari itu, anak-anak ini diharapkan juga bisa mengingatkan orang tua mereka yang pekerjaanya bersinggungan langsung dengan hutan. Termasuk menangkal adanya orang luar yang ingin merusak hutan. “Ketika orang tuanya merusak hutan dan diingatkan anaknya yang masih kecil, dalam hati kecilnya pasti malu,” harap Adi. Adanya warga yang tinggal di lahan perhutani diharapkan juga menjaga kawasan hutan dari pembalakan liar. “Kalau hutan itu sepi dan jauh dari rumah warga, maka kesempatan maling kayu itu ada,” katanya.
Sebagai pucuk pimpinan di KPH Perhutani Bondowoso, Adi tampak betah berlama-lama di TK Tunas Rimba. Tak lupa dia membagikan seperangkat alat sekolah kepada siswa. Anak-anak itu begitu riang lalu berhamburan pulang melewati pohon-pohon pinus.
Sumber : Radar Jember, hal. 3 & 4
Tanggal : 1 September 2015