SUARAMERDEKA.COM, PURWOKERTO (20/7/2016) | “Menjadi petani harus bisa jadi pemimpin. Menjadi pemimpin harus mau pemikir. Menjadi pemikir harus berani memikirkan nasib petani”. Slogan-slogan itu disuarakan dengan keras oleh sembilan anak tak berseragam, yang duduk dengan posisi melingkar di salah satu dari tiga ruang MTs Pakis Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Di luar ruangan madrasah itu, yang terdengar hanya sepi. Yang terlihat adalah rimbun pepohonan pinus, pepohonan dan segerombol rumah pedukuhan yang dihuni 300 an warga dua RT. Di wiayah yang dikelilingi kawasan hutan pinus Perhutani Banyumas Barat itupun sangat sulit bagi warga ataupun pendatang mencari mencari sinyal telepon selular.
“Saya berangkat dari rumah pukul 05.30 pagi dengan jalan kaki. Saya ingin bersekolah dan ingin menjadi pemain bola,” ujar Rohmat (12) anak berperawakan paling kecil dengan baju biasa. Rohmat adalah anak Dusun Karanggondang yang mulai Senin (18/7) berseklah di MTs Pakis Pesawahan dengan jalan kaki menelusuri jalan dan hutan sepanjang dua kilometer.
Sebagaimana madrasah atau sekolah lainnya, di hari kedua tahun pelajaran baru 2016-2017 kemarin (19/7), Rohmat dan delapan siswa siswa baru MTs Pakis itu turut mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS). Di awal kegiatan pembekalan pembelajaran itulah, guru madrasah setempat berusaha untuk memotivasi dan mendorong anak-anak sekolah setempat untuk mau belajar hingga tuntas. Pasalnya dari pengalaman pembelajaran tiga kali angkatan madrasah ini, tak semua siswanya lulus.
“Angkatan pertama 13 siswa, 4 keluar ada yang berumah tangga dan merantau. Angkatan kedua 9 anak, tapi tinggal empat anak. Angkatan ke-tiga hanya satu anak dan berhasil lulus meski awalnya ada empat anak yang akan mendaftar. Dan angkatan sekarang ini ada 9 anak yang masuk, semoga lulus semua,” jelas Isrodin (34) Kepala MTs Pakis Pesawahan, Cilongok.
Dijelaskan Isrodin, sebagian besar siswa madrasah berbasis pertanian dan agroforestri ini berasal dari dua dusun terpencil yaitu Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah dan Dusun Karanggondang, Desa Sambirata. Letaknya yang jauh dari pusat desa dan di kelilingi kawasan hutan pinus Perhutani membuat dua dusun ini di masa lampau terbilang tertinggal.
Sebelum datangnya bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) dari Pemprov Jateng, sebagian besar warga di dua dusun ini memanfaatkan tenaga listrik mandiri dari kincir air. Sementara itu sebelum diaspal tahun 2015 lalu, akses jalan yang menanjak hingga empat-enam kilometer menuju dua dusun ini merupakan jalan batu yang mirip sungai kering. Di Dusun Pesawahan inilah, kemudian sempat muncul ‘Tasripin’, anak piatu yang terlantar dan mengurus tiga adiknya yang masih kecil di rumah reyot. Tasripinpun sekarang menjadi murid baru madrasah ini.
“Kasus Tasripin hanya sebagian kecil dari kehidupan yang miris di kampung ini. Sejak mendapatkan perhatian hingga nasional inilah, kemudian dusun ini mulai diperhatikan. Saat itu sudah ada rintisan PAUD, madrasah di dusun ini, namun memang hingga sekarang masih pasang surut. Berbagai kendala memang harus dihadapi oleh pegiat pendidikan di dua dusun ini,” jelas Isrodin, warga Kalisari, Cilongok yang telah mempunyai dua anak ini.
Masih rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi warga dua dusun ini memang tak lepas dari berbagai kendala. Faktor geografis, ekonomi, motivasi dan pandangan hidup sering menjadi kendala bagi warga setempat dan luar wilayah yang akan berjuang mengangkat derajat pendidikan warga setempat. Butuh jerih payah dan perjuangan yang tak kenal lelah untuk berjuang di kawasan terluar, terpinggir dan terisolir di wilayah Cilongok ini.
Rata-rata warga di Dusun Pesawahan misalnya, sebagian besar adalah buruh penderes getah pinus dan kelapa dengan pendidikan ‘drop out’ dari sekolah dasar. Usia SD biasanya warga setempat bersekolah di SD di wilayah Karanggondang yang jaraknya dua kilometer dengan medan hutan yang menanjak dan terjal. Ketika anak lelaki mulai beranjak dewasa, maka anak akan terdorong untuk merantau ke kota, sementara yang perempuan biasanya akan nikah di usia muda.
Gerilya dan ‘Bebas Biaya’
Untuk mendorong dan mengangkat derajat pendidikan warga tidak mampu di dua dusun inilah, keberadaan MTs Pakis Pesawahan menjadi alternatif pemecahan. Dengan mendekatkan sekolah ke warga, diharapkan warga tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk transportasi ke sekolah. Selain itu bisa dibilang tidak ada biaya saat sekolah di madrasah tersebut.
“Kalau sekolah di wilayah Cilongok, sebulan untuk antar jemput ojek atau angkutan berkisar Rp 300 ribu per anak. Belum biaya yang lainnya, makanya ini sangat berat bagi mereka yang tak mampu untuk bisa menyekolahkan anaknya,” jelasnya.
Dengan keprihatinan itulah Yayasan Argowilis sejak empat tahun lalu merintis madrasah ini. Selain itu didirikan pula Pos PAUD bagi warga di Dusun Pesawahan. Namun karena pasang surut murid, maka pengajar dari luar dusun terpaksa berhenti. Di madrasah ini, mayoritas guru adalah relawan, sebagian masih berstatus mahasiswa. Dengan perjuangan yang keras dan medan yang berat, tak seluruh relawan bertahan lama mengajar di madrasah ini. Apalagi bagi mahasiswa yang telah lulus, mereka juga dituntut oleh keadaan untuk bertahan secara ekonomi dan sebagainya.
“Meski statusnya guru, namun dalam pembelajaran kita berperan sebagai pendamping siswa. Untuk bertahan secara ekonomi, para relawan ini biasanya punya usaha sampingan. Selain itu adanya kunjungan wisata agroforestri ke wilayah sini juga menjadi salah satu tambahan. Tapi itu memang tidak pasti,” kata Isrodin yang setiap hari bersama tiga orang relawan lain tinggal dan hidup di salah satu ruang dan gubuk sekitar madrasah.
Untuk mendapatkan siswa MTs Pakis, para gurupun harus bergerilya keliling dua dusun ini. Sebagaimana prosedur pendidikan dasar, bisa dibilang tidak ada biaya untuk bersekolah di sini termasuk untuk seragam sekolah. Siswa tidak wajib mengenakan seragam sekolah dan untuk tahun ini madrasah juga memperbolehkan orang tua atau anak menyerahkan hasil bumi berupa apapun untuk ‘masuk’ ke madrasah ini.
“Kalau tahun sebelumnya pernah kita menyarankan agar masuk sekolah pertama, siswa atau orang tua menyerahkan alat pertanian. Tetapi sekarang cukup hasil bumi saja. Kami mendorong itu agar siswa tetap bangga menjadi anak petani dan apa yang mereka berikan juga untuk pendukung pembelajaran mereka di madrasah ini,” kata Isrodin.
Dengan keberadaan madrasah ini, warga setempat menyambut baik dan berharap agar para pengelola tidak menyerah. Warga juga berterimakasih karena selama beberapa tahun terakhir, sejumlah pihak baik kalangan pemerintah, BUMN dan sebagainya mulai memperhatikan wilayah Dusun Pesawahan hingga Karanggondang. “Kami berharap dukungan untuk pembangunan wilayah kami yang di tepian hutan ini diteruskan sehingga warga kami tidak selalu tertinggal dengan wilayah lainnya,” jelas Ahmad (40) warga setempat.
Berbeda dengan madrasah di wilayah perkotaan, pengelola MTs Pakis Pesawahan tak bercita-cita muluk-muluk. Mereka berharap dengan adanya lembaga pendidikan di wilayah ini maka sedikit demi sedikit warga di wilayah terpencil itu dapat mengakses pendidikan dengan mudah, murah dan dekat. Agar tak keluar dan tercerabut dengan akar kebudayaan dan potensi wilayah setempat, MTs inipun mendorong agar menjadi madrasah yang terunik dan terbaik dengan memberikan muatan lokal pertanian.
“Kalau dibandingkan dengan sekolah, madrasah ini memang tak bisa karena memang delapan standar nasional pendidikan masih jauh. Namun kami terus berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai keterbatasan. Selain kurikulum dan pembelajarannya mengacu pada pendidikan formal, kami juga mengajarkan agroforestri, peternakan, perikanan, pertanian, kehutanan dan wisata sebagai bekal anak-anak,” jelas Windo, salah satu guru relawan yang masih berstatus mahasiswa perguruan tinggi negeri di Purwokerto ini.
(Susanto/CN19/SMNetwork)
Tanggal : 20 Juli 2016
Sumber : Suaramerdeka.com