Cepu kota kecamatan di tengah hutan jati Perhutani, selain memikat wisatawan mancanegara karena Locotour dan hutan alam Gubug Payungnya, ternyata Cepu punya makanan khas Ledre Pisang pemikat lidah. Nyamikan berbentuk semprong atau roll tersebut sangat dikenal sebagai buah tangan atau oleh-oleh.
Di sela acara pilih memilih oleh-oleh itulah, mata saya menabrak kotak bertuliskan ‘Egg Roll Waluh’. Tentu ini membuat saya penasaran, rasanya seperti apa sih? “..krepes…krepes…krepes”…begitulah gigitan demi gigitan semprong waluh ludes satu kotak sudah saya coba. Enak nikmat menggebu.
Ide semprong waluh berasal dari Ani Santoso. Awalnya Ani mendapat resep semprong waluh atau egg roll (red: semprong bertekstur lembut) dari kursus membuat kue ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desanya.
Ketika PKK Kabupaten Blora mengadakan lomba memasak kue, Ani memilih membuat Semprong Waluh untuk kue yang dilombakan. Selain bahan dasarnya murah, cara membuatnya relative mudah dan tidak rumit. Lomba PKK itu akhirnya mengantarkan ‘Semprong Waluh’ Ani Santoso keluar sebagai Juara Pertama. Tidak itu saja, semprong berbahan dasar Waluh atau Labu Kuning juga mendapat Piagam Penghargaan dari Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2010.
Ani berpikir, piagam kejuaraan yang diperoleh tidak akan memberi manfaat apapun apabila hanya menggantung di dinding rumah. Percuma katanya. Ia kemudian berusaha membuat kue setiap hari dan menjual pada tetangga. Selalu saja habis dibeli orang sebelum petang datang. Situasi ini mendorongnya mencari pinjaman ke Bank, agar ia bisa membuka usaha, meskipun ia tidak berhasil mendapat pinjaman.
Ani mengetahui ada dana PKBL di Perhutani yang bisa dimanfaatkan oleh usaha kecil, tetapi ia tidak berani meminjam karena kuatir ditolak. Melalui petugas PKBL, akhirnya Ani bersiskusi dan memberanikan diri mengajukan proposal pinjaman. Setelah menunggu dua tahun, Perhutani Cepu akhirnya memberi pinjaman PKBL sebesar Rp 5 juta akhir 2012. Sungguh ia bersyukur mendapat pinjaman itu. Nilai nya cukup untuk membeli mixer besar sebagai modal usaha.
Sejak itulah, usaha Ani Santoso perlahan berubah. Sebelumnya ia hanya menghasilkan 20 resep per hari atau 100 bungkus kemasan 250 gram. Kini bisa membuat 35 resep atau 175 bungkus kemasan 250 gram perhari. Usahanya dibantu 12 orang tetangga sekitar sebagai karyawan, dulu dikerjakan sendiri. Keuntungannya melambung, omsetnya mencapai Rp 65 juta per bulan.
Bahan baku waluh atau labu kuning di peroleh dari petani-petani hutan di Cepu dan Randublatung. Rata-rata dibutuhkan 40-50 buah per hari. Kita tahu kandungan gizi waluh kuning terutama vitamin A, Vitamin C, betakaroten dan alpha hydro-acid sangat tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Semprong Waluh ini dikategorikan sebagai snack sehat karena kandungan gizinya, dan tentunya juga mengantongi Sertifikat dari Dinas Kesehatan setempat. Berbahan dasar tepung terigu, telur, susu bubuk, santan, pengembang kue, mentega dan bahan campuran (waluh, ketela, nangka), semprong waluh ini mudah membuatnya. Telur, gula dan pengembang kue diaduk menggunakan mixer, kemudian ditambah santan, tepung terigu, susu dan bahan campuran yang terakhir mentega.
Selain rasa waluh, Ani juga memproduksi semprong rasa ketela rambat, nangka, durian, kacang hijau, pisang, susu, pandan. Kata Ani kuenya tahan tiga sampai empat bulan tanpa bahan pengawet.
Dengan label “Ngudi Roso–Egg Roll”, jajanan sehat ini pasarnya menembus Cepu, Blora, Semarang, Solo, Salatiga, Bojonegoro, Jombang, Kediri, dan Surabaya. Ani ingin pinjaman PKBLnya segera lunas, sehingga bisa meminjam ke dua kali untuk meningkatkan produksi dan memperluas pasar. Malang dan Lumajang adalah dua kota yang permintaannya tinggi namun belum bisa dipenuhi.
Desa Ngroto, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora adalah desa hutan. Tak ubahnya desa hutan lainnya dimana perempuan bekerja nyata tanpa perlu berita atau dipuja. Hutan tetaplah sumber kehidupan, di antara pohon dan ranting hutan jati desa Ngroto ada sebait nikmat Semprong Waluh ‘Ngudi Roso’ a la Ani Santoso.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 15, Th. II, Desember 2013