Jokowi, Suku Samin dan Pram

Apa kabar Pak Jokowi! Gimana rasanya menyapa warga Bojonegoro dan Blora dalam kunjungannya ? Ramah kan, senyum kan, dan enak kan. Nah, inilah warga Bojonegoro dan Blora.
Dua kabupaten serumpun memiliki budaya Suku Samin. Bojonegoro dan Blora hanya dipisahkan dengan Sungai Bengawan Solo. Bojonegoro berbatasan dengan Jawa Tengah, sebaliknya Blora berbatasan dengan Jawa Timur.
Tentu Pak Jokowi merasa senang ketika mampir ke kampung warga Sikep Samin di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora, kemarin (7/3). Jokowi dan ibu negara Iriana disambut Lasio, tokoh warga Sikep Samin membawa dua buah kelapa muda. Kelapa muda itu diberikan ke Jokowi dan istrinya untuk diminum saat itu juga. “Agar seger. Agar Indonesia seger waras,” ujar Lasio kepada Jokowi.
Inilah potret warga Anda yang berada di kabupaten sebagai Lumbung Pangan dan Energi Negeri. Beragam eksplorasi migas dikelola berbagai perusahaan nasional hingga internasional ada di wilayah ini. Bahkan, memiliki ratusan pengeboran minyak sumur tua. Sayang, daerah kami, belum setenar hingga internasional.
Pak Jokowi yang kami hormati. Kedatangan Pak Presiden ke Bojonegoro dan Blora cukup berarti. Lihat siswa-siswi menyambut kedatangan Bapak saat setiba di Kecamatan Cepu. Mereka tampak semangat, antusias, dan gegap gempita sambil berteriak Pak Jokowi… Pak Jokowi… Pak Jokowi!. Bangga kan Pak Presiden?
Semangat siswa dan siswi ini, seperti semangat Pak Jokowi ketika kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu yang berjanji memberantas korupsi di negeri yang kita cintai ini. Di tengah lautan simpatisan ketika kampanye, Pak Jokowi getol memberantas korupsi.

Memberantas cukong-cukong pangan dan berjanji membawa Indonesia lebih baik. Saya sebagai warga Bojonegoro cukup tertegun dan malu, ketika polemik KPK dan Polri belum berujung. Penuh teka-teki dan saling kriminalisasi antarlembaga aparat hukum. Belum selesai, justru semakin meluas. Gimana perasaan Pak Jokowi melihat ini? Tertegun kan, seperti saya! Hehehe Pak Jokowi, Cepu dan Bojonegoro sama-sama punya minuman khas, yakni kopi kothok.

Seharusnya Pak Presiden bisa mencicipinya meski hanya secangkir. Mungkin usai minum kopi ini membuat Bapak semakin fresh ketika panen raya jagung di lahan Perhutani KPH Randublatung di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ngliron, Blora. Atau dengan kopi kothok ini bisa mengatasi permasalahan pangan yang karut-marut. Harga beras masih mahal. Sebaliknya harga gabah di tingkat petani turun.

Anehnya, beras mahal sebelum panen, tentu ini menjadi hal yang seharusnya tak patut terjadi. Sehingga, kemungkinan besar, panen raya terjadi tak lama lagi, harga beras mulai turun, begitu pula harga gabah. Operasi pasar, ya tindakan ini menjadi “jurus mabuk” dan selalu terjadi ketika harga beras sudah telanjur naik. Dan pemerintah tak mampu mengendalikan harga beras di pasaran. Operasi pasar ini boleh jadi merupakan solusi sesaat untuk menstabilkan harga beras.

Ini bukan tindakan baru, bukan pula strategi yang jitu. Sebaliknya, ini hanya tindakan darurat, untuk mengintervensi harga beras yang di luar kendali pemerintah. Di sinilah peran pemerintah cukup penting. Selalu menyurvei harga di pasaran agar beras tak naik. Menghindari praktik cukong-cukong beras. Sehingga bisa mengantisipasi harga beras jauh-jauh hari.

Pak Jokowi, minggu lalu saya bersepeda di pegunungan Malo, Bojonegoro. Di sana, saya bertemu salah satu petani jagung di kawasan hutan. Petani itu menitip pesan agar harga jagung bisa stabil saat musim panen seperti ini. Petani bercaping itu mengeluhkan harga jagung kerap anjlok ketika musim panen. Imbasnya petani merugi. Nah, di sinilah peran pemerintah mengatur harga komoditas yang pro-petani. Bukan sebaliknya, menguntungkan tengkulak dan pedagang besar. Saya setuju, Pak Jokowi mengungjungi panen jagung di Blora, tapi lebih setuju lagi bila memberi kebijakan agar harga jagung terkendali dan petani tak merugi. Ada juga petani Lamongan yang mengeluhkan harga jagung anjlok.

Bahkan harganya lebih mahal dedak. Pak Jokowi, Blora punya tokoh nasional melintas batas. Mungkin Pak Presiden juga mengoleksi karya buku-bukunya. Ya, Pramoedya Ananta Toer. Pram sapaan akrabnya. Pak Jokowi perlu belajar dengan sikap perjuangan Pram yang mengedepankan kemanusian dan bangsa. Mungkin Pram dan Jokowi, sama-sama populer. Sayangnya, Pram belum pernah jadi presiden, tapi dedikasinya pada bangsa luar biasa. Buku-bukunya mendunia.

Bedanya, Jokowi merupakan presiden, tapi Jokowi belum menulis buku setenar Pram. Hehehe Pram juga mendepankan anak-anak muda. Karena itu, Pak Jokowi (presiden yang mungkin termuda di Indonesia) harus memahami pesan Pram yang tertulis di batu nisan makamnya, yakni “Pesan Terakhir Pram: Pemuda Haruslah Melahirkan Pemimpin”.

Pak Jokowi, Bojonegoro juga punya tokoh spektakuler. Namanya, Tirto Adhie Soerjo (TAS), bapak pers nasional yang menghabiskan masa kecilnya di Bojonegoro. Tirto Adhie Soerjo adalah cucu Bupati Bojonegoro RM Tirtonoto I. TAS merupakan jurnalis yang melawan kolonial Belanda. Pelopor pers nasional yang pernah dibuang di Ambon ini pun mendirikan koran pertama di Indonesia, yakni Medan Prijaji. Pram menulis sosok TAS ini dalam buku-buku karyanya Tetralogi Pulau Buru.

Serta buku Sang Pemula. Pak Jokowi, dedikasi dua tokoh spektakuler ini belum pernah termaktub di kurikulum pendidikan. Banyak pelajar tak mengenal dua tokoh bangsa ini, padahal banyak jasa dan semangat pahlawan yang harus ditiru. Saya tak ingin, pelajar hanya kenal Jokowi saja, tapi juga Pram dan TAS. Di akhir tulisan ini, Pak Jokowi, saya mohon jangan kecewakan kami. (*)

Sumber : Radar Bojonegoro, Hal 26
Tanggal : 8 Maret 2015

Share:
[addtoany]