Kemar, Pohon Alternatif Menahan Laju Erosi

TEMPO.CO, Wonosobo – Terong Belanda tumbuh subur pada sepetak lahan di Dusun Sidorejo, Desa Tieng, Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Penduduk Desa Tieng menyebut buah kaya vitamin C itu sebagai kemar. Buah berwarna merah keunguan ini tumbuh di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Suren, eukaliptus, akasia, dan cemara berdiri menjulang di antara Kemar. Tanaman semusim, yakni tembakau, kubis, dan kentang hidup di sela tanaman berbatang keras. Beragam tumbuhan pada lahan seluas 2.500 meter persegi itu ditanam petani Desa Tieng,

Ahmad Aminudin, 45 tahun. Ia menyewa lahan milik Robin, warga Desa Tieng yang kini merantau ke Kalimantan. Lahan ini berada di pinggir jalan utama Wonosobo-Dieng, sekitar sembilan kilometer dari kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng. Longsor berskala kecil kerap mendera lahan yang Ahmad garap setiap musim penghujan tiba. Ahmad yang berhimpun pada Kelompok Tani Konservasi Margo Rukun di desanya resah dengan kondisi ini. Kelompoknya aktif mengkampanyekan penanaman pohon untuk mengurangi tanaman kentang. “Saya memperbanyak pohon berbatang keras untuk menekan laju erosi tanah,” kata dia ditemui di Desa Tieng, Kejajar, Wonosobo, Sabtu, 25 Oktober 2014. Ahmad menyatakan kentang sebagai tanaman semusim tak ramah lingkungan karena mempercepat laju erosi. Menanam kentang perlu menggemburkan tanah sehingga mempermudah laju erosi.

Petani rata-rata memanen kentang berumur tiga hingga enam bulan. Memanen kentang harus mencabut akarnya sehingga mengoyak tanah. Jika hujan turun, maka mudah terjadi erosi. Sayuran ini kini juga sudah tak mengalami masa kejayaan seperti pada 1980-1990-an. Kala itu, biaya produksi penanaman kentang masih murah. Sekarang, kondisinya jauh berbeda. Biaya produksi tanaman kentang lebih mahal dan tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan petani. Pada 1990-an harga kentang seharga Rp 350 per kilogram jauh lebih menguntungkan ketimbang harga sekarang pada kisaran Rp 7.000-Rp 8.000 per kilogram.

Pada tahun 1990-an, petani yang menanam satu kuintal bibit bisa memanen satu setengah hingga dua ton kentang. Sedangkan, sekarang satu kuintal bibit hanya menghasilkan panenan enam hingga delapan kuintal kentang. Biaya produksi menanam kentang saat ini 70 persen lebih mahal ketimbang biaya produksi pada 1990-an. “Kentang perlu obat dan pupuk yang mahal harganya. Tak sebanding dengan keuntungan,” kata dia. Ahmad lalu beralih menanam kemar dengan ongkos perawatan yang lebih murah ketimbang kentang sehingga lebih menguntungkan. Sejak dua tahun lalu, ia menanam kemar yang kini banyak ditanam penduduk Dieng. Kemar di lahan yang ia garap akan panen buah setelah berumur 18 bulan. Setelah panen pertama, kemar terus berbuah dan tiap pekan bisa dipanen.

Di lahan itu Ahmad belum total mengganti tanaman kentang ke kemar. Ahmad menggunakan pupuk dari kotoran kambing untuk buah kemar. Sepuluh batang kemar mampu menghasilkan 10 kilogram setiap satu kali panen. Harga buah berasa asam ini per kilogram Rp 12.000. Penebas kemar biasanya mampir di lahan yang Ahmad garap untuk membelinya. Mereka lalu menjualnya ke sejumlah kelompok pengelola industri rumahan di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Kemar diolah menjadi sirup, manisan, dan dodol.

Harga kemar yang menjanjikan dan ramah lingkungan membuat Ahmad tertarik untuk terus menanamnya. Tanaman berbatang keras itu mampu menguatkan tebing. Akar tanaman kemar membuat tebing kokoh sehingga bisa menahan erosi ketika hujan turun. Untuk menanam kemar tak perlu mencangkul tanah berkali-kali seperti menanam kentang. Bibit terong Belanda yang tumbuh pada kantong plastik tinggal dimasukkan pada tanah yang dilubangi. Terong Belanda juga bisa ditanam dengan cara stek. Buah kemar yang sudah matang tinggal dipetik pada bagian cabang-cabangnya.

Kemar punya masa produktif 15-20 tahun asalkan dirawat dengan baik. Tangkainya yang sudah tua bila dipangkas akan menghasilkan semi tunas tangkai muda. Tak jauh dari lahan yang ia sewa, Ahmad menanam tembakau pada lahan miliknya seluas 2.500 meter persegi. Dia berencana untuk alih tanam ke buah kemar. “Tembakau saat panen raya harganya jatuh. Selain itu juga merusak tanah,” kata Ahmad. Beralihnya Ahmad menanam kemar tak lepas dari keaktifan dia di Kelompok Tani Konservasi Margo Rukun, yang dipimpin Aries Fathoni. Aries aktif mengajak petani sedikit demi sedikit beralih ke tanaman selain kentang. Ia juga mengajak masyarakat menanam pohon berbatang keras pada lahan milik penduduk Dieng maupun Perum Perhutani. Dia melakukan konservasi melalui metode pertanian yang ramah lingkungan. “Saya prihatin dengan lahan Dieng yang semakin kritis,” kata dia. Penanaman kentang secara besar-besaran selama puluhan tahun telah merusak lingkungan.

Tingkat kesuburan tanah menjadi menurun, erosi tanah, dan perbukitan gampang longsor. Selain itu, mata air semakin berkurang. Penggunaan pestisida untuk tanaman kentang begitu masif. Selain berkampanye menanam pohon di lahan milik penduduk, Aries juga menghutankan kawasan lindung yang Perhutani kelola. Kawasan itu adalah bukit Sikunir di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar. Sikunir menjadi kawasan wisata favorit untuk melihat matahari terbit. Ada tujuh puncak gunung yang bisa dilihat, yakni Sindoro, Merapi, Merbabu, Lawu,

Telomoyo, Ungaran, dan Prau di kawasan Dieng. Lima puluh meter dari Sikunir terdapat Gunung Pakuwojo. Lahan pada bukit ini sebagian milik masyarakat dan sebagian dikelola Perhutani. Kampanye Aries menanam pohon terjadi akibat maraknya pencurian kayu di hutan sekitar Sikunir tahun 1990-an. Orang banyak membabat pohon hingga habis sehingga hutan di Sikunir menjadi gundul. Selanjutnya, kawasan hutan lindung itu berubah menjadi kebun kentang dan tembakau. Aries lalu berinisiatif membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan pada 2003. Ia melibatkan 45 masyarakat sekitar Dieng untuk menanam pohon. Sikunir yang dahulu gundul kini berhutan lebat. (*)

Sumber : Tempo.co  Tanggal 07 November 2014

Share:
[addtoany]