Kembali ke Gunung Puntang

BANDUNG — Setelah lima tahun menghuni Javan Gibbon Center di Kompleks Taman Rekreasi Lido di Bogor, Sadewa dan Kiki siap menempuh hidup baru sebagai owa liar. Pada 15 Juni 2013, pasangan owa jawa jantan dan betina yang berumur 13 tahun itu dilepas di hutan lindung Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Pelepasan Sadewa dan Kiki diantar lebih dari 100 orang, termasuk Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang datang ke lokasi naik helikopter. Jalan menuju tempat pelepasan kedua owa, yang berada di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut itu memang lumayan terjal.Para pengantar harus bersusah payah mendaki lereng gunung berkemiringan 30-45 derajat itu dengan napas tersengal-sengal dan bermandi peluh. Setelah pintu kandang adaptasi dibuka, Sadewa dan Kiki pun menjadi pasangan owa jawa pertama di kawasan hutan kelolaan Perum Perhutani tersebut. “Sebelumnya pernah ada owa jawa di sini, tapi sudah habis diburu manusia,” kata Manajer Program di Javan Gibbon Center, Anton Ario, setelah pelepasan.

Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan satwa dari spesies kera kecil tanpa ekor. Kera yang mudah dikenali dari wajahnya yang hitam dengan alis putih itu adalah primata endemik, atau hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa. Pemerintah menetapkan status satwa monogami atau setia pada pasangan hidup itu bernasib genting alias terancam punah.

Rumahnya hanya hutan tropis di Pulau Jawa yang kian tipis. Pada saat ini populasinya diperkirakan kurang dari 4.000 ekor berdasarkan taksiran 2010 dari berbagai sumber riset dan survei. Ancaman kepunahannya meningkat seiring dengan berkurangnya hutan di Jawa dan perburuan. “Degradasi owa cukup signifikan.

Banyak owa diburu untuk diperjualbelikan,” kata Anton. Sadewa dan Kiki juga korban perburuan. Petugas menyelamatkan mereka dari tangan warga di Sukabumi. Sempat masuk kandang rehabilitasi Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, mereka dipindahkan ke kandang Javan Gibbon Center di Kompleks Taman Rekreasi Lido, Bogor, pada 2008.

Sejak berdiri pada 2003, pusat rehabilitasi khusus owa jawa hasil kerja sama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan RI serta Yayasan Owa Jawa tersebut menerima 30 ekor owa sitaan. Beberapa ekor yang dinilai layak untuk dipulangkan ke alam berusaha dipasangkan. “Perjodohan owa jantan Sadewa dan owa betina Kiki berlangsung selama 5 tahun, tapi belum sempat punya anak,” kata Anton.

Dia berharap keduanya bisa berkembang biak di belantara hutan Puntang. Anton mengatakan, perlu waktu setahun untuk mencari lokasi hutan buat owa di Jawa. Gunung Puntang yang berada di kawasan hutan lindung Gunung Malabar dinilai cocok. Pelepasan tidak bisa dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango karena populasi owa jawa liar di sana sudah banyak. “Kalau dipaksakan, akan terjadi perebutan ruang dan konflik dengan owa penghuni lama,” ujarnya.

Di area seluas 1.236,5 hektare bersuhu 16-20 derajat Celsius dan curah hujan berkisar 1.000-1.800 liter per tahun, Puntang teridentifikasi mempunyai 50 jenis pakan daun serta buah bagi owa jawa, seperti kiara, kisireum, kondang, dan rasamala. Di tempat barunya, Sadewa dan Kiki akan hidup bertetangga dengan lutung, surili, monyet ekor panjang, elang ruyuk, serta pemangsa semacam macan kumbang, ular piton, dan kucing hutan.

Pelepasan sepasang kera berambut abu-abu tersebut telah memenuhi syarat standar. Kedua owa itu telah menjadi pasangan tetap, mampu mengkonsumsi pakan alami, pergerakan berayun (brakiasi) terlihat maksimal, bebas penyakit, dan kegiatan mereka telah menyerupai owa jawa di alam.

Selain itu, dari studi kelayakan habitat dengan analisis vegetasi, kesediaan pakan alami cukup banyak, potensi ancaman hidupnya tidak terlalu besar, dan tidak ada keberadaan owa jawa liar. Sebelum dilepas, sejak 29 Mei 2013 mereka sudah menempatkan kandang Sadewa dan Kiki di Gunung Puntang untuk adaptasi daerah.

Setelah pelepasan, Sadewa dan Kiki akan dipantau setiap hari oleh petugas patroli hutan, relawan, serta mahasiswa peneliti. “Kami sudah menyiapkan tim monitoring untuk mengambil data sekaligus mencatat aktivitas harian owa sebagai indikator mereka bisa bertahan hidup,” ujar Anton. Tim monitoring itu punya awak utama, yaitu empat relawan dari Yayasan Owa Jawa serta dua petugas patroli Perum Perhutani.

Mereka akan memantau pergerakan Sadewa dan Kiki selama satu tahun. Tim itu juga didukung tiga mahasiswa yang akan meneliti owa. Mereka akan memantau owa dengan mengikuti pergerakan owa di atas pohon. Tim bekerja sejak pukul 05.30 hingga pukul 17.00WIB. Pemantauan harus memakai teropong dari jarak paling dekat 50 meter.

Tim juga dilarang memberi bantuan atau pertolongan saat owa hasil rehabilitasi, misalnya, terancam oleh pemangsa dan berisiko mati. “Biarkan alam yang bekerja,” kata Anton. Dari pengalaman pelepasan owa pertama oleh Javan Gibbon Center di Gunung Pangrango pada 2009, daya jelajah awal owa bisa sejauh 10 hektare. Namun, hingga dua hari setelah dilepaskan, Sadewa dan Kiki masih beradaptasi di atas pepohonan di sekitar kandang yang belum dibongkar.

Perilakunya mirip saat dilepas, sempat beberapa menit di atas kandang, lalu naik dan bergelayutan di pepohonan. “Mereka dilaporkan sudah makan buah dan dedaunan hutan,” ujar Anton. Ketahanan hidup mereka di alam akan dievaluasi setelah 6 bulan ke depan. Rencananya, masih ada dua pasang owa jawa lagi yang akan dilepas ke Gunung Puntang. Mereka adalah pasangan Pooh, 13 tahun, dan Mel, 15 tahun.

Kemudian Jowo dan Bombom yang usianya diperkirakan sama 13 tahun. Pasangan ideal yang akan dilepas segera tadinya adalah Jowo dan Bombom. Menurut Anton, keduanya sudah langsung cocok di kandang rehabilitasi dan sudah beranak. Anak pertama mereka seekor owa betina yang kini berumur 3 tahun. Pada 7 Juni lalu, mereka mendapat anak kedua berkelamin jantan, sehingga rencana pelepasan pasangan itu ditunda.

Anton mengatakan, owa dewasa yang berumur 6 tahun baru matang kelamin atau siap kawin pada usia 7 tahun. Setiap kelahiran owa hanya berjumlah 1 ekor. Jarak antar-kehamilan owa betina berkisar 3-4 tahun sekali. Kalau populasinya bertambah banyak, owa jawa di Puntang bisa tersebar sampai Pegunungan Malabar yang luasnya 55.446,75 hektare.

Kelak, jika berhasil, kawasan itu akan ramai dengan morning call owa. Suara khas owa itu adalah penanda lokasi wilayah hidup primata tersebut. Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto mengatakan, Perhutani baru pertama kali ikut serta dalam pelepasan satwa di area hutan kelolanya. Meski mempunyai hak pengelolaan hutan dari pemerintah seluas 2,4 juta hektare di Jawa dan Madura, sebagian besar masih berstatus hutan produksi.

Ada lima alasan Perhutani kini terlibat dalam pelestarian satwa liar, terutama owa jawa. “Perhutani harus berani menjaga hutan lindung di wilayahnya, termasuk ekosistemnya,” kata Bambang. Selanjutnya, Perhutani ingin menjadi pelopor bidang lingkungan dan mau melibatkan masyarakat untuk melindungi owa jawa.

Selain itu, Perhutani akan menjadikan lokasi pelepasliaran owa sebagai daerah wisata untuk peminat khusus. Di kaki Gunung Puntang, Perhutani telah mengelola wanawisata untuk berkemah dan berenang. Perhutani juga ingin membuktikan kepeduliannya terhadap satwa-satwa yang dilindungi dan terancam punah dengan tindakan nyata.

Sumber  : Koran Tempo
Tanggal  : 20 Juni 2013

Share:
[addtoany]