Ketahanan Pangan Hutan Sumbang 9,4 Juta Ton Pangan Per Tahun

Kawasan hutan mampu menopang ketahanan pangan nasional dengan produksi sampai 9,4 juta ton per tahun. Kontribusi dilakukan melalui sistem tumpang sari tanaman pangan, seperti padi, umbi-umbian, sagu, jagung, dan kacang-kacangan.

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengatakan hal itu saat panen perdana padi di Desa Wanawali, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Minggu (25/3). Ia mengatakan kotribusi tanaman pangan itu dapat dilakukan melalui kegiatan tumpang sari tanaman pangan di kawasan hutan seluas 16 juta hektare.

Menurut menteri, jika seluruh potensi dimaksimalkan, areal konsesi hutan saja bisa menyumbang bahan pangan lebih 35 juta ton, belum termasuk kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi yang bisa dimanfaatkan hasil hutan bukan kayunya.

“Kita sudah menyediakan lahan 200.000 hektare di Kalteng, Kaltim, dan Kalbar. Kementerian Pertanian tinggal menentukan lokasi mana yang paling cocok untuk pengembangan produk pertanian karena mereka yang lebih mengetahui,” ujarnya.

Selama ini, menurut dia, kawasan hutan mampu menghasilkan produk pangan, seperti umbi-umbian, umbat rotan, buah, madu, sagu, jamur, kacang-kacangan, jagung, dan beras. Dengan potensi yang besar tersebut, kata dia, Kemenhut menempatkan masalah pangan sebagai program strategis, selain kawasan hutan sebagai sumber energi dan air.

Meski demikian, kata menhut, data statistik memang tidak menyebutkan kontribusi sektor kehutanan terhadap produk pangan karena produksi dari kawasan hutan laporannya masuk ke Kementerian Pertanian.

Selain protein nabati, kata Zulkifli, kawasan hutan juga terbuka untuk pengembangan peternakan (silvopastura) dan perikanan (silvofisheri). “Yang utama, kawasan hutan tak berubah dengan beragam tanaman mulai dari kayu jati, sengon, jabon, sampai meranti untuk produksi jangka panjang. Pengembangan domba etawa, sapi, dan kambing diharapkan membantu rakyat untuk jangka menengah dan tanaman padi, jagung, dan kacang kedelai untuk penghasilan jangka pendek,” papar Menhut.

Panen perdana padi gogo varietas inpago di Desa Wanawali ini, kata menteri, merupakan bentuk kemitraan dalam mengelola hutan yang dilakukan BUMN kehutanan, Perum Perhutani. “Pola kemitraan dengan tumpang sari di Jawa memang lebih maju dari daerah lain. Apalagi, sistem ini tak merusak fungsi hutan, namun justru menambah penghasilan petani dan mendukung penguatan DAS,” jelasnya.

Menurut menteri, pangan menjadi prioritas nomor satu. Karena itu, kata dia, moratorium hutan primer dan gambut juga tidak berlaku untuk kawasan yang diperuntukkan bagi ketahanan pangan. Apalagi, tambah dia, pemerintah juga fokus agar bisa surplus 10 juta ton pada 2014. Untuk itu, kata Zulkifli, pemerintah mengalokasikan APBN sampai 30 triliun rupiah hanya untuk perkuat pangan.

Menhut melakukan panen perdana padi gogo INPAGO dalam rangka Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K). Panen padi gogo jenis parientis itu dilakukan di Petak 99 C seluas 17,60 hektare di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta. “Produktivitas padi gogo melalui tumpang sari ini mencapai 3,5 ton dari normalnya 2,5 ton per hektare,” kata Dirut Perhutani, Bambang Sukmananto. Ant/E-3

KORAN JAKARTA :: 26 Maret 2012, Hal. 15

Share:
[addtoany]