"Leopard" Kayu Pulai, Si Macan Tutul Nan Gemulai

“LEOPARD” KAYU PULAI, SI MACAN TUTUL NAN GEMULAI
Macan tutul punah? Kata siapa? Macan tutul (Panthera pardus melas) dikenal sebagai harimau dahan karena kemampuannya memanjat. Termasuk hewan terancam punah, dilindungi di Indonesia. Masuk IUCN Red list, terdaftar dalam CITES Appendix I sejak 2007. Salah satu keberadaannya di hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menjadikan hewan ini fauna identitas Jawa Barat. Oleh peneliti Eropa, dinamai “Leopard” karena dianggap hibrida singa dan harimau.  Dan jangan heran, jika miniatur “leopard” dari kayu pulai banyak menghiasi kios-kios daerah wisata Tangkuban Perahu dan Cikole, seolah mengukuhkan bahwa si macan tutul ada disekitar kita. 
Adalah Suherman, pria 33 tahun kelahiran pinggiran Bandung  yang dibesarkan di antara cerita kehidupan satwa dalam kokohnya hutan Jawa. Imajinasi tentang macan tutul dan ketertarikan pada ukiran mendorongnya untuk menekuni kerajinan khusus miniatur satwa berbahan baku kayu. Mulai tahun 2000, pemuda pinggiran hutan itu belajar dan mencoba membuat karya sendiri. Alat sederhana seperti pahat, golok, gergaji dipakai, dicontohnya bentuk ukiran binatang yang sudah jadi. Tanpa makan sekolahan atau teori. Gagal dan gagal mengukir tidak membuatnya patah hati, malah tertantang menembuskan pahatnya pada si putih pulai yang lembut itu.
Sebuah industri kerajinan kayu milik pengusaha Korea di Cikampek, tahun 2004 pernah memberikan pelatihan teknis sampai prosesing kepada para pengrajin kayu asal Jawa Barat, Bali dan Jepara. Suherman adalah salah satu pesertanya. Pelatihan itu membuat darahnya terpompa keras, kepercayaan dirinya lepas melawan belitan kemiskinan.  Sejak itu tekad menekuni kerajinan ukiran kayu harus menjadi pundi-pundi keluarganya. Entah berapa musim di tengah udara dingin Cikole telah mengantarnya pada kepiawaian membentuk miniatur macan tutul dan satwa lain seperti gajah, burung hantu, jerapah, kura-kura, kelinci. Banyak yang bertanya, mengapa memilih kayu Pulai (Alstonia scholaris)? Menurut ayah dua anak ini, Pulai memiliki struktur kayu yang lunak sehingga saat diukir hasilnya bagus. Tidak semua kayu bisa diukir dan mendapat hasil yang baik dengan alat yang sering disebut “sunggingan”.
Ketrampilan sudah ditangan, modal usaha masih diangan. Pinjam bank baginya ibarat mimpi siang hari tanpa keringat karena udara Cikole memang dingin. Ketika terjaga, Suherman yang bertubuh mungil pasti akan menggigil memikirkan kerumitannya.  Jadilah keinginan hanya sebuah mimpi yang tidak berwarna. Dan ketika seorang mantri hutan Perhutani bertemu dengannya, ia sampaikan kesulitan itu. Diskusi panjang lebar dimulai, dari bahan baku kayu pulai, sampai kemungkinan menggunakan kayu pinuspun dicoba. Tetap saja Suherman butuh modal membeli bahan baku. Memang petugas PKBL Perhutani yang kebetulan perempuan itu bukan sinterklas, tetapi toh dengan bimbingan yang rutin diberikan kepada Suherman mulai membuat proposal, membukukan pengeluaran pemasukan sampai tatacara mengembalikan pinjaman akhirnya membuatnya lega.  Ia mendapat pinjaman dana PKBL dari Perhutani Bandung Utara sebesar Rp.4.500.000,- tahun 2012.  Nilai yang tidak seberapa ini ibarat penyambung nyawa bagi Suherman. Kayu pulai dari Subang, Majalengka, Purwakarta dan Sumedang mulai dibeli dan ditumpuk di halaman rumah untuk bahan baku. Tangannya yang terampil butuh waktu dua sampai lima hari untuk menghasilkan miniatur satwa, tergantung besar kecil ukuran. Ia juga menyatakan melalui PKBL inilah karyanya bisa hadir di pameran-pameran secara gratis.
Harga dasar miniatur satwa ukuran kecil hingga besar dijual Suherman antara Rp. 20 ribu sampai Rp. 60 ribu per buah. Meskipun baru dipasarkan di sekitar wana wisata Cikole dan Gunung Tangkuban Perahu, tetapi Suherman mengaku pesanan dari luar kota mulai mengalir.  Bahkan ia mengaku punya langganan bule dan beberapa wisatawan manca negara yang rajin mengoleksi karyanya. Kini usahanya diikuti enam orang pengrajin kayu pulai lainnya karena dinilai berhasil.
Sebagai mata pencaharian satu-satunya, omset Suherman dari usaha miniatur satwa minimal mencapai Rp. 4 juta perbulan dengan keuntungan bersih minimal Rp. 1,5 juta.  Dengan malu ia tak mau menyebut angka pasti karena baginya angka bisa menembus berapa saja jika manusia berusaha. Saat liburan tiba, rata-rata kiosnya menjual sepuluh karya ukiran per hari.
Sukses Suherman tidak bisa dibandingkan dengan industry pengrajin ukiran kayu asal Korea yang ada di Cikampek.  Suksesnya harus dipandang sebagai semangat kepemudaan yang bangga akan karya sendiri, mandiri, dan dimanusiakan oleh uluran tangan pemberdayaan ala BUMN. Kerja kerasnya adalah kombinasi antara imajinasi melestarikan lingkungan khususnya pemanfaatan kayu dan limbah kayu pulai, menjaga agar satwa langka tak punah, dan yang penting memberikan pemahaman pada khalayak bahwa masih ada satwa-satwa disekitar hutan dimana dia dan keluarganya berada. Mimpi Suherman memang hanya mimpi hitam putih, sederhana, tegas, jelas dan layak diberi dukungan konkrit oleh korporasi negeri ini agar terwujud.
Ketika matahari pamit pulang dibalik wangi hutan pinus Cikole, ada kelebat bayangan barisan satwa-satwa hutan diantaranya.  Suherman tersenyum kepada seorang wisatawan yang datang ke kiosnya. Dan sebelum malam, ia melepas beberapa karyanya berupa “leopard” kayu pulai si macan tutul hasil ukirannya yang bentuknya indah gemulai.
Oleh : Soesi Sastro
Sumber : Majalah PKBL Action, No. 19, Th. II, April 2014

Share:
[addtoany]