Lestarikan Tangkal Kawung di DAS Citarum

Hari hampir gelap, namun Kadi (61) warga Kampung Cigangsa Desa Nangeleng Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat masih memanjati pohon aren(tangkal kawung-Sunda). Tiap hari tangkal kawung, disebut juga pohon enau (Arengga pinnata – Wurmb- Merill atau Arenga saccarifera Labill, famili Arecaceae) setinggi 5-10 meter ini harus dia naiki satu persatu untuk menyimpan dan mengambil lodong-lodong, yakni potongan bambu penampung air nira.
Pukul 06.00 pagi, lodong itu dia ambil lagi dan diganti dengan lodong baru. Pekerjaan itu diulanginya sore hari. Air nira yang sudah tersimpan di lodong itu lalu dimasukan ke dalam kuali untuk dimasak menjadi gula merah. Penggodokan air nira di atas tungku tanah sederhana dengan pemanas kayu bakar berlangsung 1,5 – 5 jam, tergantung banyaknya air nira. Biasanya pukul 12.00 siang, bapak beranak satu dan bercucu dua ini sudah bisa membungkus gula merah bulat berdiameter 5 cm, tabal 3 cm. Tiap hari rata-rata menghasilkan 5 bungkus gula merah senilai Rp 50.000 atau Rp 10 ribu per bungkus, berisi sepuluh bulatan gula per bungkus.
Tiap hari pula bandar gula dari pasar Cipeundeuy, 5 kilometer dari kampungnya, datang mengambil gula. Itulah keseharian keluarga Bah Kadi yang sudah dilakoninya sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Kepandaian menyadap nira untuk dijadikan gula, diperolehnya secara turun temurun dari orang tuanya dulu. Praktis keluarga ini hidup dari pohon aren yang tumbuh di sekeliling kampungnya. Di sekitar rumahnya, Bah Kadi kini mengurus sekitar 300 pohon enau, sebagian tumbuh secara alami lewat ekosistem musang dan sebagian lagi hasil pembibitannya sendiri. Beberapa pohon di antaranya sudah tua, daunnya jarang dan sudah tidak banyak menghasilkan air nira. Biasanya pohon ini laku untuk pembuatan tepung aren (aci kawung). “Setelah diipuk (dibenihkan), bijinya saya sebar di sini, dan tumbuh seperti kelapa saja,” ungkap Bah Kadi Kamis (17/3) seraya menunjuk sebuah tebing berkemiringan di atas 30 derajat derajat di belakang rumahnya.
Di sana tumbuh sejumlah pohon aren yang usianya di atas lima tahunan. Pohon konservasi Untuk mencapai Kampung Kadi bisa ditempuh lewat jalan raya Bandung-Cianjur-Jakarta, tepatnya Rajamandala Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Dari Rajamandala masuk ke jalan kabupaten sekitar 15 km melewati kawasan perkebunan dan hutan jati Perum Perhutani. Daerah ini merupakan dataran tinggi Jawa Barat bagian tengah, Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimeta, salah satu anak Sungai Citarum. Rumah Kadi dan pemukiman 15 penyadap lainnnya di Kampung Cigangsa, terletak pada tebing dengan kemiringan 15-30 derajat. Namun sejak berpuluh tahun tinggal di kampung ini mereka aman dari bencana longsor dan erosi karena terlindung oleh banyaknya tegakan pohon, termasuk pohon aren. Sekitar 10 kilometer di bawah desa ini terletak Waduk Cirata, pusat listrik tenaga air (PLTA) yang menghasilkan listrik 1.008 Megawatt. Listrik ini memasok jaringan interkoneksi Pulau Jawa dan Bali yang menerangi hampir separuh dari penduduk republik ini. Karena itu betapa strategisnya kultur kehidupan warga desa ini bagi kelestarian Waduk Cirata yang kini sedang menghadapi masalah tingginya sedimentasi. Dan secara langsung kehidupan keluarga Bah Kadi secara turun temurun sudah terkait dengan upaya pelestarian sabuk hijau (green belt) waduk lewat pembudidayaan tanaman konservasi, tangkal kawung.
Di rumah panggung tanpa listrik, istrinya Amidah (58) berdagang warung yang menyediakan segala macam keperluan penduduk, termasuk mainan anak-anak. Anaknya Nyi Encah (38) sudah memberinya dua cucu, dan menantunya, Ecep (40) juga bermata pencaharian sebagai penyadap. “Dari dulu bapak tidak mau menebang pohon aren walaupun ada yang nawar Rp 100 ribu,” ujar Ny Encah.
Bapak dan anak menatu itu dengan tekun menyadap tiap tangkai calon berbuah kolang-kaling dipotong untuk diambil air niranya. Setiap tangkai bisa menghasilkan air nira yang bisa dibuat gula merah 1-5 bungkus. Atau dua bungkus per lodong. Bah Kadi sendiri tiap hari dia memasang 6 lodong hingga 12 lodong. Di desa Nangeleng ada sekitar 100 penyadap/perajin gula. Tiap pohon yang berumur 10 tahun sudah bisa disadap hingga 18-20 tahun kemudian. Dari pohon aren, dia juga bisa menjual kolang-kaling pada bulan puasa, terutama menjelang lebaran. Tiap tiga bulan sekali Bah Kadi panen ijuk yang menghasilkan beberapa puluh ribu rupiah. Di belakang rumah ia mengembangkan ternak domba untuk memanfaatkan rumput yang tumbuh di sekitar hutan. Multiguna Sejumlah penelitian menyimpulkan tanaman keras ini sangat multiguna.
Di samping menghidupi warga pedesaan, pohon ini merupakan pelindung dan penyeimbang ekosistem dan ekologi pedesaan. Akar serabut pohon aren sangat kokoh, dalam, dan tersebar sehingga memiliki fungsi penting bagi penahan erosi tanah. “Akar aren juga memiliki kemampuan mengikat air sehingga pohon aren bisa ditanam di daerah yang relatif kering dan tidak perlu perawatan intensif,” ujar Johan Iskandar, guru besar biologi Universitas Padjadjaran Bandung. Nira aren juga dapat dijadikan bahan obat-obatan tradisional, misalnya untuk haid yang tidak teratur, sembelit, sariawan, radang paru-paru, disentri, kepala pusing, dan pemulih badan letih. Cuka dari tuak aren biasa dijadikan bahan ramuan biopestisida pembasmi serangga hama di huma (Iskandar dan Iskandar: 2005). Akar muda biasa digunakan untuk obat kencing batu ginjal, dan akar tuanya untuk bahan obat sakit gigi. Aren biasa tumbuh secara liar lewat bantuan binatang musang (Paradoxurus hermaphroditus) atau careuh (Sunda).
Namun oleh manusia tanaman ini bisa dibudidayakan secara massal. Badan Pengelola Waduk Cirata, Jawa Barat sendiri sudah menyemai sekitar 8.000 pohon dan 4.000 di antaranya sudah ditanam. Pemilihan biji yang berkualitas dengan penanganan yang tepat dapat meningkatkan keberhasilan jumlah biji yang ditanam hingga 90 persen. Kadi sudah membuktikannya, biji yang akan ditanam direndam air mengalir sehari semalam. Lalu pada bagian mata tunasnya dikikis tipis untuk memudahkan proses perkecambahan. Sebulan sejak penanaman biji dalam pasir, kecambah sudah bisa ditanam dalam polybag hingga siap tanam pada usia 18-24 bulan. Setelah ditanam di lahan terbuka, 8-10 tahun kemudian pohon itu sudah bisa menghasilkan nira untuk kehidupan. Keluarga Kadi sudah melakukannya bertahun-tahun pada lahan seluas tiga hektar di lereng pegunungan, di atas Danau Cirata. Seandainya warga lain, penghuni 560.094 hektar kawasan DAS Citarum bercocok tanam seperti Kadi, persoalan erosi dan sedimentasi yang mencapai 10 juta meter kubik per tahun akan selesai. Kadi: Lahir 1949 di Desa Nangeleng Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat. Pendidikan: SD Istri: Amidah (58) Anak: Encah (38)
Website : KOMPAS.COM
Link       :http://regional.kompas.com/read/2011/04/30/11175191/Lestarikan.Tangkal.Kawung.di.DAS.Citarum
Tanggal : Minggu, 01 Mei 2011
Penulis  : Dedi Muhtadi
TONE    : NETRAL

Share:
[addtoany]