Maju-Mundur Tahura Djuanda

Layu sebelum berkembang. Kalimat itu sangat mewakili polemik tentang rencana perluasan Taman Hutan Raya Djuanda yang diusulkan Dinas Kehutanan Jawa Barat. Dishut Jabar mengusulkan perluasan Tahura Djuanda pada Maret 2010 lalu dengan total luas yang diajukan 2.750 hektare.
Lahan usulan perluasan itu adalah kawasan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani Unit III. Luas 2.750 hektare itu hanya sebagian kecil dari luas hutan produksi dan lindung yang dikelola Perum Perhutani Unit III yang mencapai 600.000 hektare. Kawasan calon perluasan tahura itu mencakup tiga daerah, yaitu Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kab. Sumedang.
Dishut awalnya tidak mengira usulan tersebut bakal memicu konflik horizontal. Apalagi, kajian perluasan tersebut sudah ada sejak tahun 2006 silam, tetapi baru diajukan ke pemerintah pusat melalui Pemprov Jabar pada 2010. “Niat kami hanya untuk menyelamatkan cekungan Bandung dan sekitarnya dari bencana banjir, kerusakan lingkungan, dan ketersediaan air. Untuk kemaslahatan umat,” kata Kepala Dishut Jabar Anang Sudarna kepada wartawan, pekan lalu.
Usulan itu pun telah disetujui Dirjen PHKA dan Dirjen Planologi dari pemerintah pusat pada Juni 2010. Dishut tinggal melengkapi sejumlah rekomendasi lainnya sebelum usulan itu direalisasikan. Rekomendasi itu antara lain persetujuan tiga kepala daerah, serta tinjauan teknis dari Perum Perhutani Unit III selaku petahana (incumbent) alias penguasa lahan saat ini. “Rekomendasi dari Bupati Bandung dan Bupati Sumedang sudah ada. Tinggal izin dari Bupati Kab. Bandung Barat dan tinjauan teknis Perhutani,” ujarnya.
Awal Januari, muncullah riak-riak penolakan seperti dari warga sekitar Gunung Manglayang Barat. Mereka menolak karena kuatir perubahan alih fungsi hutan dari hutan lindung menjadi hutan konservasi akan membunuh nafkah mereka sebagai peternak sapi perah dan petani kopi.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kab. Bandung ,Tisna Umaran mengatakan, pada prinsipnya dinas menyetujui alih fungsi itu asalkan pengelolaannya melibatkan masyarakat hutan. “Poin harus melibatkan masyarakat sekitar hutan itu tercantum dalam surat rekomendasi perluasan tahura dari Bupati Bandung,” katanya kepada wartawan.
Bentuk keterlibatan warga dalam pengelolaan hutan, kata Tisna, telah dirintis melalui PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang melibatkan kelompok-kelompok LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Ada sekitar 8 LMDH dan 3 kecamatan (Cimenyan, Cilengkrang, dan Cileunyi) yang ada di sekitar lokasi perluasan tahura.
**
Salah satu LMDH yang menolak perluasan tahura ialah LMDH Cibiru Wetan. Ijal Solehhudin, sekretaris LMDH itu mengatakan, perluasan tahura akan mempersempit areal rumput sehingga mengancam para peternak sapi di sana. “Selama ini, kami bekerja sama dengan Perhutani melalui PHBM untuk memfasilitasi kebutuhan hijauan makanan ternak,” kata Ijal kepada “PR”, di kediamannya di Kp. Cikoneng, RT 1 RW 1, Desa Cibiru Wetan, Kec. Cileunyi, Kab. Bandung.
Menurut dia, 99 persen warga Desa Cibiru Wetan menolak adanya usulan perluasan Tahura Djuanda. Itu berdasar data yang diperolehnya secara door to door ke rumah-rumah warga. “Di RW 1 ada sebanyak 498 warga, RW 2 sebanyak 255 warga, dan RW 3 sebanyak 350 warga yang menolak perluasan. Hanya tiga orang yang setuju,” katanya.
Penolakan serupa diungkapkan Ketua Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) Jabar Dedi Setiadi. Menurut dia, perluasan tahura bisa memutus nadi perekonomian peternak yang mendapatkan rumput dari pengelolaan lahan di kawasan hutan lindung. Produksi susu berpotensi merosot dari segi kuantitas dan kualitas karena lahan rumput berkurang.
Dedi menerangkan, luas lahan kehutanan yang dikerjasamakan bersama Perhutani untuk lahan rumput melalui PHBM mencapai 560 hektare di BKPH Lembang dan BKPH Manglayang Barat KPH Bandung Utara. Lahan rumput itu dikelola 1.200 peternak. Rumput-rumput itu untuk pakan 22.000 sapi milik 7.000 peternak KPSBU.
Sentra peternakan sapi lainnya yang berteriak ialah dari Desa Suntenjaya, Cibodas, dan Wangunharja di Kec. Lembang. Kepala desa sekaligus Ketua LMDH Cibodas Dindin Suhaya dan Kades/Pengurus LMDH Suntenjaya Asep Wahyono mengatakan, di tiga desa itu ada sekitar 4.000 peternak dengan populasi sapi mencapai 7.000 ekor. “Apalagi banyak sapi peternak yang belum lunas kreditnya ke bank,” ujar Dindin.
Selain warga dan peternak, perluasan tahura ditolak juga oleh Perhutani, mengatasnamakan warga dan LMDH. Seperti yang diungkapkan Asisten Perhutani Unit III Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Manglayang KPH Bandung Utara Dicky Kurnia. Dia mengatakan, ada 8.000 kepala keluarga yang hidupnya bergantung pada PHBM. Mereka tersebar dalam LMDH-LMDH di 12 desa di KBB dan Kab. Bandung.
Teriakan ribuan peternak dan petani di sekitar tahura ini seakan membangunkan Gubernur Jabar yang berbuntut pada penundaan perluasan tahura. Langkah Gubernur Jabar pun seakan mundur selangkah. Penundaan itu menurut Gubernur Ahmad Heryawan disebabkan adanya komunikasi yang kurang antara dinas terkait dengan masyarakat sekitar hutan.
Nama Media : PIKIRAN RAKYAT
Tanggal : Senin, 24 Januari 2011/h. 17
Penulis : Satrya Graha/Miradin Syahbana Rizky

Share:
[addtoany]