Legenda sultan dari Minangkabau yang pergi ke timur untuk menunaikan pesan sang ayah hingga akhirnya menjadi murid Sunan Bonang.
KEBONHARJO – Di kawasan hutan petak 1a RPH Kajar, BKPH Gunung Lasem, Perhutani KPH Kebonharjo, atau masuk wilayah Desa Binangun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, terdapat sebuah makam kuno yang dikeramatkan masyarakat sekitar. Penduduk sekitar menyebut tokoh yang dimakamkan adalah seorang raja dari Minangkabau, bernama Sultan Mahmud. Saat ini Perum Perhutani menjadikan kawasan tersebut sebagai lokasi High Value Conservation Forest (HCFV) dan memasukannya ke dalam daftar situs budaya.
Lalu siapa Sultan Mahmud? Begini ceritanya:
Konon, sekitar abad XV, Raja Minangkabau yang sudah sepuh memberi wasiat untuk putranya sebuah kotak berisi kitab. Pesannya, kitab di dalam kotak tersebut hanya boleh dibuka setelah sang raja meninggal.
Sang anak, yang bernama Sultan Mahmud, patuh. Setelah sang sultan sepuh mangkat, kotak yang berisi kitab tersebut dibuka. Namun ternyata kitab tersebut tidak bisa dibaca dan setelah diminta kepada segenap orang-orang pandai di kerajaan tak ada satu pun yang mampu menerjemahkannya. Ini membuat sultan penasaran.
Gundah karena belum mampu melaksanakan perintah sang ayah, Sultan Mahmud pun terus berdoa pada yang Maha Kuasa. Tidak berapa lama ia mendapat petunjuk. Di dalam mimpinya dikatakan bahwa yang bisa menterjemahkan kitab tersebut tinggal di sebelah timur dari kesultanan Minangkabau.
Maka bersama patihnya, sang sultan berlayar ke arah timur. Sesampainya di wilayah Kesultanan Banten, ditunjukkanlah kitab tersebut. Tetapi tetap tak ada yang bisa menterjemahkan isinya. Begitu pun ketika sampai dan berlabuh di kesultanan Cirebon. Hasilnya nihil. Kemudian Sultan melanjutkan perjalanannya berlayar terus ke arah timur. Namun malang, di tengah laut Jawa kapalnya dihantam badai dan tenggelam. Semua isinya hilang. Beruntung sang sultan bersama patihnya selamat dan terdampar di tepi laut Bonang.
Pada saat kebingungan di tepi pantai Bonang, Sultan bertemu dengan seseorang yang sedang mencari ikan dengan membawa kepis (tempat ikan). Kepadanya, Sultan menceritakan apa yang terjadi sekaligus maksud dan tujuan perjalanannya. Si pencari ikan menyarankan untuk menemui seseorang pandai di wilayah tersebut yang bernama Sunan Bonang. Bahkan akhirnya ia mengantar langsung ke kediaman sang Sunan yang di depannya terdapat pohon kemuning. Setelah itu, ia langsung pamit tanpa mengenalkan nama.
Sesampai di depan rumah, Sultan Mahmud ragu apakah rumah yang ditunjukkan benar kediaman Sunan Bonang, karena rumah itu terlihat jelek. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya. Namun setelah dibujuk oleh sang patih ia bersedia untuk bertamu. Setelah mengucapkan salam, mereka dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Sang Sultan pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan ia merasa takjub. Karena tiba-tiba saja ia melihat keadaan di dalam rumah indahnya menyamai istana kerajaan Minangkabau. Bahkan lebih bagus.
Sultan Mahmud diterima langsung oleh Sunan Bonang. Ia pun menceritakan maksud dan tujuannya berlayar ke arah timur sampai akhirnya berada di tempat itu. Bahwa sesuai wasiat sang ayah, ia ingin mempelajari kitab yang diwariskan namun tidak ada yang bisa menterjemahkan isi tulisan. Dan sesuai firasat yang diperoleh dia harus pergi ke sebelah timur. Ia juga menceritakan musibah yang terjadi di tengah laut, kapalnya diterjang badai hingga semua barang yang ada di dalamnya hilang termasuk kitab yang di bawanya.
Setelah mendengarkan cerita dari Sultan, Sunan Bonang mengambil benda dari dalam kepis. Sambil menunjukkan sesuatu, ia bertanya apa betul itu kitab yang Sultan maksud. Ternyata benar. Kitab itu merupakan kitab yang hilang ketika kapal Sultan tenggelam. Dengan rasa heran dan tak percaya, Sultan bertanya bagaimana benda itu bisa sampai di tangan Sunan Bonang. Sunan Bonang pun bercerita bahwa orang yang mencari ikan itu adalah beliau sendiri dan ketika mencari ikan itu ia menemukan kitab tersebut dan dimasukkan ke dalam kepis.
Singkat cerita, dengan bantuan Sunan Bonang, kitab tersebut bisa diterjemahkan dan dipelajari oleh Sultan Mahmud. Selanjutnya Sunan Bonang membawa Sultan Mahmud ke sebuah hutan untuk bertapa dengan berdiri dan terdiam. Di tempat itu Sang Sultan pun ditinggalkan sendiri oleh Sunan Bonang. Sebelum pergi, Sunan menanam 2 buah biji asem di antara tempat Sultan Mahmud berdiri dengan pesan agar Sultan tidak boleh beralih atau pergi sebelum beliau kembali. Selang beberapa waktu, Sunan Bonang kembali menemui Sultan Mahmud. Pada saat itu biji Asem yang ditanam telah tumbuh besar dan berbuah. Tetapi anehnya Sultan hanya merasa ditinggalkan antara waktu dhuhur sampai ashar akhir mendekati Maghrib atau sekitar 5 jam.
Selesai bertapa Sultan Mahmud diperintahkan kembali ke Minangkabau. Tetapi Sultan Mahmud menolak karena merasa betah tinggal di Bonang. Selanjutnya sang patih diperintahkan untuk menjemput istri Sultan yang bernama Siti Asiyah dari Minangkabau untuk tinggal mendampingi suaminya di Bonang sampai akhir hayatnya.
Setelah meninggal, Sultan Mahmud dan Istrinya dimakamkan berdampingan di dekat pertapaan diantara kedua pohon asem, yang saat ini dikenal dengan Jejeruk berasal dari kata Jejer=berdiri dan teruk-teruk =terdiam.
Cerita itu dituturkan Mbah Ahmad sang juru kunci situs Sunan Bonang. Sunardi (50) warga setempat menambahkan bahwa situs tersebut sangat dihormati oleh penduduk setempat dan warga senantiasa menjaga hutan sekitarnya tetap lestari.
“Di sana ada pantangan yang harus ditaati, yaitu pengunjung tidak boleh mengganggu tanaman atau lingkungan. Dan untuk perempuan yang sedang datang bulan tidak diperkenankan untuk naik dan masuk di lokasi makam Jejeruk”, ujarnya. (Humas Kebonharjo/DJ).