Mangrove untuk Selamatkan Indramayu

Kabupaten Indramayu di Jawa Barat memiliki pantai terpanjang di Pulau Jawa. Namun, sekitar separuh dari total panjang pantai 114 kilometer itu kini kondisinya rusak parah akibat abrasi. Sekitar 200 anggota pramuka Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Losarang berbuat nyata dengan rutin menjaga dan menanam mangrove di salah satu bagian pesisir daerah mereka.

”Kami bisa menanam mangrove lagi pada 5 Mei lalu sekaligus untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup,” ungkap Basir, pembina pramuka di SMKN I Losarang, pekan lalu.

Kantor Lingkungan Hidup (LH) Indramayu mencatat, dalam tiga tahun terakhir sudah lebih dari 1.500 bibit mangrove yang ditanam pihaknya bekerja sama dengan SMKN I Losarang. Tidak semuanya tumbuh dengan baik sebab kesadaran masyarakat yang rendah mengakibatkan banyaknya bibit mangrove yang dicabut. Bahkan, saat sudah tumbuh besar pohon mangrove itu ditebang untuk kayu bakar. Bahaya abrasi pun menghantui Indramayu.

Seperti ditemui beberapa waktu lalu, siswa-siswi dari SMKN I Losarang yang ditemani Suwendi, salah satu pembina pramuka sekolah itu, meninjau mangrove yang mereka tanam di Desa Cemara Wetan, Kecamatan Cantigi. Kawasan itu juga dikenal dengan sebutan Kedung Cowet.

Jalan menuju pesisir itu berupa jalan setapak yang berlumpur dan berbatasan dengan Sungai Pangkalan. ”Kalau hujan, jalan ini tidak bisa dilintasi. Orang harus naik perahu melewati sungai untuk menuju pesisir,” ujarnya yang datang bersama empat siswa anggota pramuka.

Selama lima tahun Suwendi mendampingi siswa-siswi SMKN I Losarang merintis ”hutan” bakau di Kedung Cowet. Lokasi itu juga sering dimanfaatkan pramuka untuk pelatihan dan perkemahan. SMKN I Losarang membangun lahan perkemahan (camping ground) di sana. ”Bisa juga untuk uji nyali,” ujarnya bercanda.

Tanah rawa

Jarak dari gedung sekolah ke Kedung Cowet sekitar 12 km. Permukiman dan lahan tegalan yang luas mendominasi perjalanan menuju Kedung Cowet. Sekitar 3 km menjelang lokasi ada kampung petambak yang penghuninya sebagian besar adalah keturunan Brebes, Jawa Tengah.

Tanah rawa-rawa di Kedung Cowet itu kini banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk tambak bandeng dan udang windu. Sebagian kecil tepian tambak itu memang ditanami mangrove. Namun, dari total kawasan pesisir di Kedung Cowet yang luasnya diperkirakan lebih dari 30 hektar, kini tersisa sekitar 3 ha yang masih ditanami mangrove. Di lahan seluas 3 ha itulah anggota pramuka dan Palang Merah Remaja (PMR) menanam bibit mangrove.

”Dulunya kawasan ini seluruhnya adalah hutan mangrove. Namun, lama-kelamaan warga datang dan menebangi mangrove untuk dijual kayunya. Lahan mangrove itu lalu dijadikan tambak sebab hasilnya lumayan menguntungkan,” kata Suwendi.

Muyasaroh (33), salah satu warga Kedung Cowet, menuturkan, suaminya mengelola satu petak tambak bandeng di blok hutan mangrove itu. Dalam panen bandeng yang rata-rata dilakukan setiap empat bulan sekali, keluarganya bisa mendapatkan 1,5 ton ikan. Dengan harga bandeng Rp 13.000 per kilogram, keluarga Muyasaroh mendapatkan Rp 19,5 juta per empat bulan. ”Kalau nanti ditanami mangrove semua, kami dapat makan dari mana?” ujarnya.

Selain memanfaatkan lahan rawa bekas mangrove yang ditebang, petambak dan keluarganya menempati tanah timbul yang muncul akibat akresi. Akresi adalah tanah timbul atau daratan yang terjadi akibat penumpukan sedimen dari laut.

Sekalipun berada di kawasan hutan mangrove, lahan akresi dan tambak itu umumnya sudah bersertifikat. ”Tidak jelas bagaimana petambak memperoleh sertifikat, tetapi tanah pesisir kini sudah ada patoknya,” kata Suwendi.

Di pematang tambak ditemui sisa batang mangrove yang akar-akarnya dipotong. Warga Kedung Cowet menebangi kawasan mangrove itu untuk menjual kayunya sebagai kayu bakar. Kayu itu dijual ke industri batu bata di Desa Jumbleng yang berjarak sekitar 8 km dari Desa Cemara.

SMKN I Losarang terpanggil untuk mencegah meluasnya kerusakan itu. Sejak 2008, anggota pramuka diwajibkan menanam bibit mangrove setiap kali akan berkemah di Kedung Cowet. Setiap siswa menanam satu bibit mangrove. SMKN I Losarang bekerja sama dengan Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Indramayu dalam pengadaan bibit mangrove dan pengelolaan wilayah.

”Siapa pun boleh memanfaatkan camping ground di Kedung Cowet asalkan mau menanam mangrove di sana,” kata Kepala SMKN I Losarang Mamat Abdul Somad.

Kerja sama dengan Perhutani itu dimulai tahun 2008. Pihak SMKN I Losarang berinisiatif mengajukan proposal bibit mangrove kepada Perhutani. Proposal itu disetujui dan Perhutani menunjuk lokasi di Kedung Cowet untuk ditanami mangrove. Perhutani menyediakan bibitnya, sedangkan pihak sekolah bertanggung jawab menanam dan menjaga mangrove tersebut. Ada dua jenis mangrove yang ditanam di Kedung Cowet, yakni pohon api-api dan waru.

”Tujuan utamanya ialah mengajak anak-anak agar menyenangi lingkungan. Anak-anak supaya sadar bahwa merusak hutan mangrove sama dengan mengancam kelestarian hidup mereka,” katanya.

Cara alamiah

Menurut Kepala Seksi Konservasi dan Pemulihan Kualitas Lingkungan Hidup Indramayu Suhartati, upaya menahan abrasi ada dua macam, yakni secara alamiah dan struktural. Penanaman mangrove adalah cara alamiah. Cara struktural ialah dengan membangun pemecah gelombang atau breakwater di pesisir.

”Bisa juga kedua cara itu dikombinasikan untuk mencegah perluasan abrasi. Cara alamiah dengan menanam mangrove memang lebih sukar sebab faktor sosial dan ekonomi turut berperan. Di sinilah diperlukan kesadaran masyarakat,” ujarnya.

Ia berharap Pemerintah Kabupaten Indramayu memberi perhatian kepada persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat pesisir. Dengan demikian, hal itu tak sampai mengganggu kelestarian lingkungan.

”Selain abrasi, Indramayu sebenarnya juga mengalami akresi. Sebab, tanah pesisir yang terkikis itu kemudian terbawa air laut menjadi sedimen di tempat lain. Sedimen itu juga terbawa oleh aliran Sungai Cimanuk. Maka muncullah tanah-tanah timbul di lokasi lain,” kata Suhartati.

Idealnya, tanah akresi itu dibiarkan kosong atau dijadikan sabuk hijau, yakni dengan dijadikan hutan bakau yang nantinya berfungsi sebagai penahan alami abrasi. Sayangnya, lahan akresi itu banyak dimanfaatkan oleh warga untuk diolah menjadi tambak. Lahan akresi itu antara lain muncul di Kecamatan Pasekan, Kandang Haur, dan Cantigi.

Sementara itu, di sisi lain, terutama di wilayah barat Indramayu dari Losarang hingga Eretan, terjadi abrasi besar-besaran yang kian mengikis daratan. Kantor LH Indramayu mencatat, rata-rata daratan di pesisir Indramayu itu terkikis lima meter per tahun.

Kepala Kantor LH Indramayu Aep Surahman mengkhawatirkan, jika kondisi itu tidak segera tertangani, sejumlah infrastruktur penunjang kegiatan nasional akan terancam. ”Jarak laut dengan daratan semakin dekat dan bisa mengancam jalan pantura,” katanya.

Bangunan pemecah gelombang sudah dibangun Pemerintah Provinsi Jawa Barat di sebagian wilayah Eretan. Namun, hal itu belum optimal mencegah abrasi. Bangunan fisik hanya bersifat sementara menahan abrasi. Bangunan itu rentan rusak dalam beberapa tahun mendatang. Penanaman vegetasi di wilayah pesisir, seperti pohon api-api dan bakau yang tergolong jenis mangrove, menurut Aep, adalah solusi terbaik.

”Untuk mengawasi mangrove ini juga cukup sulit. Tanaman ini baru bisa optimal mencegah abrasi setelah berusia lima tahun. Persoalannya, penanaman mangrove tanpa disertai kesadaran masyarakat sekitar juga akan sia-sia,” katanya.

Kesadaran dini tentang perlunya menjaga mangrove seperti diinisiasi oleh SMKN I Losarang, menurut Aep, adalah langkah bagus. Sesuai dengan namanya, praja muda karana (pramuka) yang berarti rakyat muda yang suka berkarya, siswa-siswi anggota Pramuka SMKN I Losarang mengambil langkah kecil yang bernilai besar…. (Rini Kustiasih)

Sumber : Kompas,
Tanggal : 14 Juni 2013

Share:
[addtoany]