Suara Merdeka, Semarang – Untuk memperingati Hari Pahlawan kita perlu mengenal pejuang-pejuang di masyarakat saat ini. Mereka berjuang di berbagai bidang, antara lain pendidikan dan gerakan antikorupsi. Pergulatan mereka disajikan dalam dua tulisan mulai hari ini, diawali kiprah para pejuang bidang pendidikan.
JAUH sebelum sekolah gratis ramai dibicarakan, sebuah sekolah di kawasan pecinan, Kota Semarang, sudah menerapkannya. Tidak hanya untuk etnis Tionghoa, sekolah gratis ini untuk semua golongan yang tidak mampu. Bangunan sekolah di Gang Lombok ini juga tak terlalu besar. Namun, di tempat ini ratusan anak tak mampu dari berbagai latar belakang menimba ilmu tanpa dipungut bayaran sepeser pun. Dana operasionalnya didapat dari para donatur.
Sekolah Kuncup Melati yang berdiri pada Minggu Wage 1 Januari 1950, memiliki sejarah cukup panjang. Paska peperangan di Kota Semarang, banyak pengungsi berdatangan dengan kondisi ekonomi yang terpuruk. Lembaga pendidikan saat itu masih jarang, kalau ada juga mahal dan langka. Seorang tokoh Kota Semarang Lie Ping Lien terenyuh menyaksikan banyaknya anak-anak tuna aksara, tidak mempunyai kesempatan bersekolah. Maka tercetuslah ide untuk sekadar memberikan pendidikan membaca, menulis dan berhitung.
Ide itu didukung oleh Ong Yong Wie, Tan Ngo Siang dan Be Sik Tjong dengan menggagas berdirinya tempat kursus. Bertempat di gedung Yayasan Kong Tik Soe Gang Lombok Nomor 60, dimulailah pendidikan Koersoes Pemberantasan Boeta Hoeroef. Materi pelajaran adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Mandarin serta pendidikan budi pekerti.
”Status kursus pun ditingkatkan pada 1952 dengan mendirikan Sekolah Taman Pendidikan Anak-anak Khong Kauw Hwee dengan kurikulum pelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Rakyat dan hanya memberikan pelajaran hingga kelas 4 setingkat Sekolah Rakyat,” tutur Kepala SD Kuncup Melati Agustin Indrawati Dharmawan, kemarin.
Pada 30 Maret 1954, mulai memberikan pendidikan keterampilan. Pada tahun ajaran 1979/1980, status sekolah kembali ditingkatkan menjadi Sekolah Dasar dan memberikan pendidikan hingga kelas 6. Alumni IKIP Negeri Semarang yang menjabat sebagai Kepala SD sejak 1 Juli 1989 itu juga mengisahkan, pendidikan gratis yang diberikan di sekolah itu dapat dilakukan karena bermodal sumbangan dan kerelaan hati para donatur.
Selain pelajaran umum, menurut Indrawati, para siswa di Sekolah Kuncup Melati juga dilatih kemandirian dan kejujuran untuk membentuk generasi yang berkarakter. Misalnya saat di kantin, para siswa mengambil sendiri yang dibutuhkan, membayar sendiri dan jika ada kembalian, juga diambil sendiri di tempat uang yang ada di kotak. Baginya, mengajar dengan hati akan membawa kepuasan batin yang tidak dapat di beli. Alhasil, ketika ketekunan dan kesabaran dalam memberikan pendidikan, prestasi para siswa pun ikut terangkat.
Wakafkan Tanah
Lain halnya dengan Sriwati (29). Dia tak pernah menyesali keputusannya mewakafkan tanah warisan untuk mendirikan gedung Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), untuk anak-anak tetangganya di Dusun Nglencong, Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
Melihat anak-anak di dusun pelosok bersuka cita saat diantar orang tuanya setiap pagi, ia sudah bahagia. Gedung yang dibangun di atas tanah berkuran 12 m X 10 m menjadi buah kerja kerasnya bersama empat pendidik lainnya dalam mempertahankan Pos PAUD Pangudi Luhur.
Saat itu hanya ada empat anak di Pangudi Luhur. Di saat jumlah siswa mulai bertambah, nasib Pangudi Luhur goyah ketika Sumarno, pendiri, memutuskan mundur. Suwarti yang hanya lulusan program Kejar Paket C tak percaya bisa meneruskan Pangudi Luhur.
Apalagi empat pendidik lainnya juga hanya lulusan program yang sama. Namun karena dorongan warga yang merelakan rumahnya jadi tempat belajar anak-anak, ia pun bertekad mempertahankan pangudi luhur. Karena jumlah anak Pangudi Luhur terus bertambah, warga berinisiatif membangunkan gedung seadanya pada tahun 2010. Mereka menyumbang kayu glugu (batang pohon kelapa), anyaman bambu untuk dinding dan atap genting bekas. Meski berlantai tanah, anak-anak tetap riang belajar di Pangudi Luhur. Angin segar datang saat pemerintah desa mengusulkan pembangunan gedung PAUD melalui program PNPM Mandiri Pedesaan. Gedung lama pun dibongkar. “Belum ada sebulan kami menempati gedung baru ini,” jelasnya.
Saat ini sebanyak 34 anak yang belajar di Pangudi Luhur. Jangan tanyakan berapa mereka membayar SPP setiap bulannya. Ibu satu anak ini juga hanya tersenyum saat ditanya berapa honor mengajar yang diterimanya setiap bulan. Dua tahun terakhir, Pangudi Luhur mendapat kucuran BOP sebesar Rp 6 juta dan Rp Rp 7 juta. Untuk berhemat, pendidik mengurangi biaya harian seperti fotocopi bahan pengajaran. Sudarno (53), guru SDN 02 Hargosari, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri memilah jahe yang dipanen dari ladangnya, Kamis (7/11). Dia rela bertani empon-empon untuk menambah penghasilannya. (SM/Khalid Yogi)
Bertani Empon-empon
Menjadi guru di daerah terpencil butuh perjuangan keras. Selain menghadapi medan berat, guru dituntut mampu menangani siswa-siswa yang serba terbatas. Di sisi lain, mereka juga harus memutar otak untuk menghidupi diri dan keluarganya. Kondisi itu dirasakan Sudarno (53), guru SDN 02 Hargosari, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri. Selama lebih dari 30 tahun, pria yang tinggal di Dusun Sobo RT 3 RW 6 Desa Hargosari itu mengecap pahit getir menjadi guru di daerah terpencil. Sejak menjadi guru, tahun 1982, Sudarno belum pernah sekali pun pindah tugas ke tempat lain. Alhasil, dia pun akrab dengan alam pegunungan yang kini telah menjadi rumahnya.
Pertama bertugas, dia langsung ditempatkan di SDN 02 Hargosari yang saat itu masih SD Inpres. Setiap hari, dia berjalan kaki sejauh belasan kilometer dari tempat kos sampai sekolahnya. “Dulu masih jalan setapak. Setiap hari, saya jalan kaki ke sekolah selama tiga jam. Berangkat jam 04.00 sampai sekolah jam 07.00,” kenangnya.
Di kala hujan, jalan setapak yang dilalui sangat licin dan naik turun. Bahkan, dia terpaksa mengenakan sepatu sepak bola agar tidak terpeleset. Ketika turun pulang ke rumah, tangannya membawa tongkat agar tidak jatuh. “Kalau berangkat pakai sepatu sepak bola yang ada poolnya. Setelah sampai sekolah, sepatunya diganti,” ujarnya.
Pertama bekerja, dia hanya menerima gaji Rp 16.960 per bulan. Gaji terkuras hanya untuk membayar kos Rp 14.000 per bulan. Kondisi itu memaksa Sudarno mencari penghasilan tambahan. Sepulang mengajar, dia bekerja menyadap getah pinus di hutan Perhutani. Dia juga menanam janggelan dan empon-empon di tegalan. Hasil dari menyadap getah pinus dan bertani empon-empon itu ternyata seimbang dengan gaji guru selama sebulan.
Menjadi guru di daerah terpencil harus bisa menghadapi murid-murid yang penuh keterbatasan. Setelah beberapa tahun mengabdi, Sudarno menikah dan tinggal tidak jauh dari sekolahnya. Dia semakin betah, bahkan pernah menolak ketika ditawari pindah ke sekolah yang dekat perkotaan. Pada 2010 lalu, Sudarno diundang ke Istana Negara untuk mengikuti upacara Hari Kemerdekaan RI. “Saya tidak tahu. Tiba-tiba ada surat dari dinas. Saya diundang ikut upacara di Istana. Sangat senang dan bangga. Seumur-umur belum pernah lihat Istana,” ujarnya.
Pada 2012, pria itu kembali diundang ikut studi banding ke Australia. Perlu digarisbawahi program Anies Baswedan mengundang sarjana terbaik untuk mengajar di SD di daerah terpencil. Pemikiran inilah yang muncul dari Anies, penggagas Gerakan Indonesia Mengajar. Rektor Universitas Paramadina ini bertekad untuk mengajak seluruh komponen pemuda untuk peduli masalah pendidikan. (Saiful Annas, Muhammad Syukron,Khalid Yogi,Hartono Harimurti-80)
Suara Merdeka | 08 Nopember 2013 | Hal.1 & 11