Menggantang Asa pada Sewa Lahan

Target besar peningkatan produksi dan cadangan pangan nasional yang dicanangkan pemerintah berkembang kian dinamis. Program yang digulirkan melalui skema administrasi rutin oleh pemerintah pusat dan daerah dianggap belum akan mampu memenuhi target besar itu.
Pemerintah saat ini sedang mencari terobosan melalui konsorsium badan usaha milik negara (BUMN) bidang pangan dengan menyewa lahan petani untuk padi. Apakah program terobosan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan petani, landasan akademik, proses, dan dinamika di lapanganlah yang akan menentukan.
Pemerintah sebenarnya waswas pada kinerja produksi beras pada kuartal I – 2011 dan kinerja manajemen cadangan pangan nasional. Angka ramalan 1 produksi pangan Badan Pusat Statistik per Maret 2011 menunjukkan, laju kenaikan produksi beras hanya 1,3 persen per tahun, jauh dari target pertumbuhan 3,3 persen per tahun. Produksi padi 67 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 38,2 juta ton beras (dengan konversi 0,57), jauh dari aman untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton akhir tahun 2014.
Kinerja pengadaan beras dalam negeri untuk membangun cadangan beras pemerintah ternyata di bawah 900.000 ton, jauh dari batas aman 1,5 juta ton. Apalagi pada periode November 2010-Maret 2011, Indonesia mengimpor hampir 2 juta ton beras yang menimbulkan ketidakpastian usaha dan skeptisisme masyarakat pada statistik produksi beras.
Sepanjang Mei muncul informasi rencana pemerintah membentuk konsorsium BUMN yang akan melakukan penguatan produksi dan cadangan pangan nasional. Lima BUMN pangan, yakni PT Pertani, PT Sang Hyang Seri (SHS), PT Pupuk Sriwidjaja (Holding), Perum Perhutani, dan Perum Bulog, berencana mengelola 570.000 hektar (ha) lahan yang disewa dari petani. Pemodal sekaligus pengelola sawah adalah perusahaan negara itu: PT Pertani mengelola 200.000 ha, PT SHS 200.000 ha, PT Pusri Holding 100.000 ha, dan Perum Perhutani 70.000 ha.
BUMN ini juga akan memberikan bantuan langsung sarana produksi dan meminjamkan sarana produksi untuk dibayar gabah pada saat panen. Sementara Perum Bulog berperan sebagai off taker atau pembeli produksi padi dari keempat BUMN lain. Identifikasi lahan petani yang potensial untuk disewa BUMN pangan konon telah dilakukan di Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Setidaknya ada dua persoalan besar dalam program ”terobosan” sewa lahan itu, yaitu landasan akademik dan sistem insentif bagi petani padi. Pertama, sistem sewa lahan itu mengingatkan pada skema corporate farming yang tidak pernah berhasil pada awal era reformasi. Landasan ilmiah tentang pola kerja sama antara petani dan BUMN dalam kerangka konsolidasi lahan itu belum kokoh, jika tidak dikatakan ambigu, karena petani hanya akan menjadi buruh pada lahannya sendiri.
Penyederhanaan manajemen usaha tani melalui skema moneterisasi sewa lahan oleh BUMN kelak akan menghadapi persoalan kompleks saat petani hanya menjadi penonton pasif hasil sawahnya ”dibawa orang lain”. Percobaan adaptasi model dual economies antara sektor modern berskala luas dan sektor tradisional berskala sempit menjadi pola perkebunan inti plasma, tebu rakyat intensifikasi, atau yang sejenis itu selama Orde Baru masih jauh dari memuaskan.
Padahal, di sana petani plasma menjadi pelaku ekonomi aktif, mulai dari sistem produksi di hulu sampai pada distribusi dan pemasaran hasil usaha tani. Sulit terbayangkan persoalan sosio-psikologis yang akan terjadi jika petani didiskoneksi dengan lahannya.
Kedua, sistem insentif bagi petani tidak hanya ditentukan oleh uang sewa Rp 4 juta per ha plus margin lain jika produksinya lebih dari 5 ton gabah kering panen. Sistem insentif bagi petani adalah perasaan aman berproduksi, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, benih berkualitas, pupuk tidak langka, skema pembiayaan produksi mudah diakses, keterjaminan harga pada musim panen, serta keterjangkauan kebutuhan hidup lain, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Jika ”terobosan” sewa lahan itu tetap jalan pada tahun ini, konsorsium tersebut perlu bekerja keras. Perusahaan negara itu perlu lebih membumi, menyelami permasalahan lapangan bidang produksi pangan, mempelajari perkembangan literatur terbaru tentang inovasi dan perubahan teknologi pertanian dan pangan, serta mendidik petugas/penyuluh lapangan yang tangguh. Skema sewa lahan petani bukan persoalan transaksi moneter biasa, melainkan lebih berupa pembangunan modal sosial atau rasa saling percaya antara komponen bangsa dan stakeholder bidang pangan.
Terakhir, program ”terobosan” sewa lahan tersebut perlu dilihat sebagai komplemen (bukan substitusi) dari program peningkatan produksi pangan yang ada selama ini. Pemerintah masih perlu bekerja keras membangun kompatibilitas pembangunan pertanian dengan skema desentralisasi dan demokrasi. Saat para elite daerah tidak menjadikan isu pertanian dan pangan sebagai driver dalam pencitraan dan pembangunan konstituen—dibandingkan dengan isu pendidikan dan kesehatan gratis—secara hakikat agak sulit berharap inovasi pembangunan pertanian akan lahir dari daerah.
Pemerintah pusat dan daerah serta para stakeholder lain yang menggeluti aspek governansi pemerintahan punya tanggung jawab moral untuk membalik kondisi di atas. Tradisi keberlanjutan dan kearifan lokal pengelolaan lahan yang sangat kaya, beragam, di seantero negeri, misalnya, dapat dimobilisasi sebagai pressure pintu masuk inovasi pembangunan pertanian. Negara berbasis sumber daya sebesar Indonesia tidak akan beranjak jika mengabaikan pembangunan pertanian.
Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
Nama Media : KOMPAS
Tanggal        : Senin, 23 Mei 2011 hal 15
Penulis         : BUSTANUL ARIFIN
TONE           : NETRAL
 
Share:
[addtoany]