Pemerintah akan menggabungkan enam BUMN hutan di bawah satu holding. Perum Perhutani ditunjuk sebagai perusahaan induk. Seberapa besar potensi calon “raja hutan” ini?
SEKARANG adalah eranya transformasi dan restrukturisasi BUMN. Tidak sedikit perusahaan pelat merah yang dapat bangkit dan berekspansi hingga keluar negeri bermunculan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa memang perusahaan dengan aset besar yang sebelumnya lebih karena salah kelola sehingga jadi seperti macan ompong. Beberapa berhasil berkembang pesat setelah dikonsolidasikan dengan BUMN sejenis lain dalam satu holding.
Sebut saja PT Semen Indonesia (persero) Tbk. Holding industri semen yang merupakan gabungan beberapa produsen semen pelat merah ini berhasil muncul sebagai market leader setelah proses penggabungan. Perusahaan ini bahkan telah berekspansi ke pasar Asia Tenggara.
Contoh lain mungkin PT Pupuk Indonesia (persero), yang merupakan hasil gabungan beberapa BUMN pupuk dan juga PT Rekayasa Industri (persero). Setelah digabung, proses distribusi pupuk pada petani menjadi lebih baik lagi, begitu pula profit perusahaan.
Memang tidak semua proses kon-solidasi BUMN berujung manis.
Usaha untuk melakukan konsolidasi perbankan pelat merah belum berhasil terwujud hingga kini. Tentu masih segar di ingatan saat terjadi friksi terkait rencana akuisisi PT Bank Tabungan Negara (persero) Tbk oleh PT Bank Mandiri (persero) Tbk. Pro-kontra muncul, termasuk aksi demonstrasi pegawai BTN yang menyebabkan rencana tersebut dibatalkan.
Holding lain yang akan segera terbentuk dalam waktu dekat ini ialah konsolidasi BUMN kehutanan di bawah satu payung, dengan Perum Perhutani menjadi perusahaan induknya. Perum Perhutani akan membawahi Inhutani I sampai Inhutani V.
Selama ini, Perhutani mengelola hutan industri dan hutan lindung di pulau Jawa dan Madura, dengan total lahan seluas 2,4 juta hektar. Hutan produksi merupakan hutan yang berkontribusi pada pendapatan perusahaan. Sebagian keuntungannya disalurkan dalam bentuk subsidi silang untuk mengelola hutan lindung. Sementara itu, PT Inhutani I hingga PT Inhutani V mengelola arca hak pengusahaan hutan (HPH) di luar Jawa.
Dalam beberapa tahun terakhir Perhutani berhasil menunjukkan pertumbuhan yang konsisten di kisaran 10%. Sepanjang tahun 2013, total pendapatan perusahaan tercatat mencapai Rp3,86 triliun. Untuk tahun ini, selama satu total pendapatan telah mencapai Rp2,15 triliun, yang merupakan 46% dari target rencana kerja perusahaan 2014.
Perhutani menargetkan pendapatan pada tahun 2015 sebesar Rp 5 triliun dan meningkat menjadi Rp9 triliun pada tahun 2019. Direktur Utama Perhutani Bambang Sukmananto optimistis pihaknya dapat mempertahankan performa positif dan mencapai target tersebut.
Secara umum, bisnis Perhutani terbagi menjadi dua jenis. Bisnis kayu dan non-kayu. Untuk pembagiannya ada divisi komersial kayu, divisi industri kayu, divisi bisnis wisata, dan agribis-nis. Selain itu juga ada produk pangan dan produk turunan lain, seperti air minum dan madu.
Manajemen telah menyusun grand strategy menuju Perhutani unggul yang terdiri dari empat langkah besar yang kan dilakukan perusahaan secara bertahap. Strategi pertama yang dilakukan oleh perusahaan ialah pengelolaan hutan secara lestari untuk meningkatkan potensi sumber daya hutan. Poin utama dari strategi ini ialah mengoptimalkan produktivitas lahan.
Menambah jumlah lahan agar sumber daya jadi lebih optimal dan juga meningkatkan perlindungan hutan. Potensi hutan dilindungi lewat konservasi, sehingga insiden seperti penebangan liar dapat ditekan ke tingkat terendah. Kolaborasi juga dijalin dengan masyarakat untuk mengurangi kerugian negara dari perilaku orang-orang yang tidak bertanggung-jawab itu.
Memaksimalkan kinerja usaha menjadi langkah kedua dari grandstrat-egy perusahaan. Perhutani mengembangkan sayap-sayap penjualan perusahaan agar bisa menyasar beberapa wilayah di luar negeri. Termasuk dengan menjual produk kayu secara online.
Selain sistem online, perusahaan juga menerapkan sistem keagenan. Untuk memaksimalkan kinerja usaha, Perhutani juga berfokus pada peningkatan kualitas produk. Kualitas produk dijaga dengan melakukan kontrol kualitas yang ketat dan sertifikasi atas produk-produk Perhutani.
Menurut Bambang, peningkatan kualitas dan mutu produk yang diiringi dengan makin gencar berpromosi dilakukan Perhutani karena pihaknya sadar bahwa masih banyak produk perusahaannya yang belum dikenal.
Langkah ketiga ialah melakukan diversifikasi usaha dengan membentuk bisnis baru untuk mendongkrak pendapatan. Dengan luas lahan yang dikelola mencapai 2,4 juta hektar, tentu masih banyak potensi yang belum tergali dan bisa lebih dioptimalkan lagi. Untuk itu, perusahaan telah melakukan kerjasama strategis dalam pengembangan beberapa bisnis baru.
Salah satu bisnis baru perusahaan ialah pabrik sagu yang sedang dibangun di Papua Barat. Selain untuk meningkatkan pendapatan, bisnis baru ini juga ikut mendukung program kedaulatan pangan pemerintah.
Perhutani juga mengembangkan produk air minum dalam kemasan (AM D K) dengan merek Perhutani. Perusahaan juga mulai terjun ke bisnis properti, dimana rencananya akan membentuk anak usaha baru khusus bidang tersebut. Anak usaha itu nanti akan mengelola aset tidur perusahaan untuk dibangun menjadi hotel, pom bensin, rest area, dan area komersial lainnya.
Strategi terakhir adalah pemanfaatan fungsi-fungsi pendukung dari dalam organisasi. Perusahaan menaruh kepedulian yang tinggi mengenai peningkatan kualitas sumber daya manusia. Diantaranya dengan membangun budaya kerja yang jujur, peduli, dan profesional. Serta meningkatkan take home pay pegawai untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Untuk meningkatkan naluri bisnis pegawainya, Perhutani menggandeng Prasetya Mulva Business School untuk memberikan pelatihan kepada pegawainya. Sedangkan, untuk memberikan pemahaman mengenai pelayanan pariwisata, perusahaan menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Untuk fungsi pendukung yang terkait dengan penerapan teknologi informasi, Perhutani mengadopsi beberapa sistem layaan, seperti keuangan, produksi, pengelolaan kayu, dan pemasaran. Salah satunya lewat kerjasama dengan PT Telekomunikasi Indonesia (persero) Tbk.
JAFEI B. WUYSANG
Sagu dari PAPUA
PERUM Perhutani melirik bisnis-bisnis baru untuk meningkatkan pendapatannya. Salah satunya perusahaan membangun pabrik sagu di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Saat ini, tahapan pembangunan pabrik tersebut telah mencapai 50% dan diproyeksikan dapat mulai efektif beroperasi pada bulan Maret tahun depan.
Papua Barat memang merupakan titik strategis untuk membangun fasilitas pengolahan sagu. Hutan sagu di Papua merupakan salah satu yang terluas di dunia, sekitar dua juta hektar. Bila ditambah dengan hutan sagu di Provinsi Papua dan negara tetangga Papua Nugini, luas hutan sagunya mencapai 4,5 juta hektar.
Saat ini, Perhutani telah memiliki izin konsesi seluas 17.000 hektar untuk penebangan sagu, termasuk lahan pabrik beserta fasilitas pendukungnya seluas 40 hektar. Untuk penebangan sagu tersebut, Perhutani juga telah berkomitmen akan melibatkan warga setempat. Nantinya pabrik sagu tersebut akan ditargetkan dapat memproduksi 100 ton tepung sagu per harinya.
Potensi supply yang tinggi tersebut juga diimbangi demand pasar terhadap tepung sagu yang cukup tinggi. Kebutuhan tepung sagu dari domestik mencapai lima juta ton per tahun. Namun, yang baru terpenuhi cuma sekitar 3,5 juta ton. Itu belum ditambah permintaan pasar internasional, seperti Jepang dan negara tetangga lain yang tak kalah besar.
Selain itu, industri sagu juga dapat produk lain berupa biomassa yang berasal dari residu sagu. Tapi, pada tahun-tahun awal pabrik beroperasi jumlah residu yang belum terlalu banyak belum memu-ngkinan untuk dijadikan sebagai sumber energi alternatif.
Yang masih menjadi masalah di lokasi pabrik tersebut adalah masalah klasik infrastruktur. Untuk itu, Perhutani menagih janji pemerintah untuk menyediakan infrastruktur, berupa jalan, pelabuhan, dan listrik.
Akses jalan yang memadai diperlukan agar masyarakat setempat dapat lebih mudah jika ingin mengantarkan sagu ke pabrik. Sementara energi listrik diperlukan untuk produksi di pabrik. Listrik yang dibutuhkan pabrik sebesar 1,5 megawatt.
Sumber : Warta Ekonomi, Hal. 68
Tanggal 7 Oktober 2014