Menjaga Gunung Kendeng Tetap Hijau

Hari masih terlalu pagi, matahari juga belum sepenuhnya menampakkan wajahnya dari ufuk timur. Namun, warga Dukuh Bombong, Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mulai menggeliat.
Dukuh Bombong dikenal sebagai daerah perkampungan orang-orang Samin. Sebagian lelaki Samin mulai memanggul cangkul dan beberapa di antara mereka memanggul garu. Beberapa orang lainnya tampak menuntun dua ekor kerbau ke sawah yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari perkampungan tersebut.
Sejumlah anak usia sekolah mengikuti langkah orangtua mereka dari belakang, sambil menenteng sabit. Kemarau panjang seakan tidak memengaruhi kondisi pertanian di kaki pegunungan Kendeng itu. Air bersih tetap lancar mengalir deras di antara anak sungai dan saluran irigasi.
Di wajah penduduk Bombong yang berjumlah sekitar 500 ke luarga itu tidak terlihat duka saat menyambut kemarau panjang tahun ini. Mereka tetap bisa berladang dan menanam padi. Anak-anak pun riang membantu orangtua mereka menyiangi rumput.
Menjelang siang warga mulai keletihan. Kaum perempuan yang sebagian besar menggunakan baju berwarna hitam dan kain setinggi lutut mulai menghampiri suami dan anak mereka yang sejak pagi tekun di sawah. Mereka menenteng bakul bambu serta cerek aluminium untuk memberikan jatah makan siang.
Seusai makan siang di pematang, puluhan lelaki terlihat bergerak menaiki bukit Kendeng yang gersang. Meski sudah berpayah-payah di ladang, mereka tak lelah kembali mencangkuli tanah gunung, kemudian menanam berbagai tanam an yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Di sebagian bukit tampak hamparan tanaman yang menghijau. Di lain sisi, masih terlihat gersang karena tanaman yang telah ditanam baru tumbuh 1 meter. ‘’Kami selalu menjaga Kendeng agar tetap hijau karena di situlah napas kehidupan kami, baik untuk berladang maupun bertani,’’ kata tokoh muda Samin, Gun Retno.
Kendeng agar tetap hijau, menurut Gun Retno, merupakan upaya untuk menyelamatkan alam dan anak cucu. Pasalnya, pegunungan yang membentang di beberapa daerah seperti Pati, Rembang, Kudus, Blora, dan Grobogan memberikan kehidupan kepada 8.000 keluarga. Di sanalah ada sumber air yang mengairi lahan pertanian seluas kurang lebih 4.000 hektare.
Di Pegunungan Kendeng terdapat 149 mata air yang masuk wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, dan 33 mata air berada di wilayah Kabupaten Grobogan. Mayoritas sumber air tersebut masuk kawasan hutan milik Perum Perhutani sehingga secara otomatis keberlanjutan ke hidupan masyarakat sangat bergantung pada kebijakan pengelolaan hutan itu.
Di sana, gua dan mata air juga melimpah. Dari data KPH Pati, banyak terdapat mata air yang merupakan sumber kehidupan warga Samin. Ada mata air Sentul, Bulusan, Pengilon, Telogodadi, Petak 64, Grenjeng, dan Ngencek.
Tidak sedikit pula jumlah guanya. Ada gua Kidang, Maling, Laler, Anonim 1, Anonim 2, Gogor, Grenjeng, Kaligede, Lowo, Pawon, Larangan, tembusan gua Larangan, Wiu I, dan Wiu II. Dari hasil riset Universi tas Gadjah Mada bersama masyarakat Samin, ditemukan banyak mata air dan gua di kawasan pegunungan Kendeng.
Melimpahnya sumber air itu membuat masyarakat selalu menjaga sumber tersebut agar tidak mati. Caranya, mereka selalu menjaga lingkungan, seperti menanam pohon dan menggunakan air secukupnya. Mulai terancam Namun, ancaman pembangunan kini mengelilinginya. Rencana kehadiran pabrik semen telah membuat warga Samin cemas.
Pada dasarnya warga Samin memiliki prinsip menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Ketika Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo menyetujui pembangunan pabrik semen di pegu nungan Kendeng, mereka melawannya. Mereka beranggapan kehadiran pabrik semen itu telah mengancam ekologis di kawasan Kendeng yang sudah dipelihara secara turun-temurun.
Mereka juga menjaga sumber mata air siang dan malam karena sumber tersebut dikhawatirkan bisa mati akibat pembangunan pabrik semen. `’Kami tidak mengenal istilah kimia atau biologi yang melangit. Kami tidak mengenal metode konservasi alam dengan alat canggih. Kami hanya mendukung alam tetap hijau, atas dasar kesadaran untuk mengerti kemauan alam,” terang Gun.
Di tengah arus pro-kontra pembangunan pabrik semen, kaum Samin sebagai simbol dalam arus komunikasi, lobi, dan literer kini menjadi sorotan banyak pihak. Warga Samin tak hanya mengoperasikan budaya tanding, tetapi sudah beranjak melampaui tradisi revivalis.
Nama Media  : MEDIA INDONESIA
Tanggal            : Selasa, 4 Oktober 2011, Hal. 9
Penulis             : Ahmad Safuan
TONE                : NETRAL

Share:
[addtoany]