Menjadi seorang petani penggarap tumpang sari (pesanggem) di kawasan hutan Perum Perhutani merupakan keuntungan sendiri bagi Udin (46). Areal garapannya persis di kawasan hutan Perum Perhutani (Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cijangkar, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Cipeundeuy, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kabupaten Purwarkarta, Jawa Barat.
Ia memperoleh lahan garapan tumpang sari sekitar 2.500 m2 di areal hutan tanaman jati pada tahun 2011. Jarak antartanaman induk tanaman jati sekira 3×3 meter. “Kini saya bisa mengelola lahan tumpang sari di sela tanaman tegakan tersebut dan menghasilkan komoditas pangan seperti padi, kedelai dan ketela,” kata dia.
Ia mengatakan tanaman tumpang sari yang dipanen yaitu padi huma dengan varietas Inpago. Setelah padi dipanen, kata dia, lahan garapan akan ditanam kacang kedelai dan kemudian padi lagi. “Setahun bisa tiga kali tanam, sehabis padi bisa tanaman palawija (padi, kacang kedelai),” kata dia.
Dari areal seluas 2.500 m2, Udin bisa memperoleh 1 ton GKG dengan harga jual mencapai Rp300.000 per kwintal. Sebagai kompensasinya, Ia harus menjaga tegakan utama pohon jati dan melakukan kegiatan perawatan. “Seluruh hasil panen tanaman tumpang sari menjadi hak pesanggem. Sedang dari tegakan utama Jati, pesanggem nantinya memperoleh 25 persen dari hasil penjualan tegakan,” katanya.
Dia juga mengaku sangat terbantu karena memperoleh benih gratis dan pupuk yang disubsidi BUMN yang terlibat dalam GP3K, yakni Perum Perhutani, PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, dan PT Petrokimia Gresik. “Tidak ada masalah dalam penjualan padi huma varietas inpago karena permintaan pasar setempat cukup tinggi,” kata dia. Tria Dianti
JURNAL NASIONAL :: Kamis, 29 Maret 2012 Hal. 15