Mewujudkan Swasembada Gula

logo-phtsmallREPUBLIKA (23/2/2017) | Program kemandirian pangan terus dikebut pemerintah. Setelah berhasil mewujudkan swasembada beras, Kementerian Pertanian (Kementan) kini menargetkan swasembada gula konsumsi pada 2019.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementan, Bambang mengatakan, kebutuhan konsumsi gula nasional mencapai 5,7 juta ton per tahun. Sedangkan produksi gula dalam negeri baru mencapai 2,2 juta ton.

Bambang memerinci, dari 5,7 juta ton kebutuhan gula nasional, 3,2 juta di antaranya adalah kebutuhan untuk gula konsumsi. Sisanya, sekitar 2,5 juta ton merupakan kebutuhan gula industri.

“Targetnya, pada 2019 kebutuhan gula konsumsi bisa kita penuhi, sehingga tidak perlu impor lagi,” ujar Bambang pada acara Rapat Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah di Semarang, awal pekan.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah terus melakukan pendekatan untuk mengoptimalkan existing area di sekitar pabrik gula. Para pemerintah daerah (pemda) diminta ikut mendorong agar petani menanam tebu di lahan-lahan yang sudah ada.

Bambang mengatakan, pemerintah pusat akan memberikan bantuan berupa sarana produksi, pupuk, obat-obatan, teknologi pengolahan lahan, dan alat mesin pertanian (alsintan). Dengan demikian, tegas Bambang, petani terdorong menanam tebu dan mendapatkan untung dari produksinya.

Pemberian bantuan diharapkan dapat meningkatkan produksi serta pasokan ke pabrik gula.

“Yang sekarang terjadi, pabrik-pabrik gula kurang pasokan, sehingga tidak efisien,” kata Bambang.

Selain pendekatan kepada petani dan pabrik gula, pemerintah juga terus menggerakkan swasta agar mau membangun industri gula di luar Pulau Jawa. Selain masih tersedia lahan yang cukup luas, masyarakat di luar Pulau Jawa relatif mudah diajak menjadi petani plasma di sekitar lokasi pabrik.

Syaratnya, tentu harga jual tebu menguntungkan petani dan lahan untuk perkebunan tebu tersebut bisa dibebaskan pemerintah daerah.

Sekarang, ujar dia, pabrik gula di luar Jawa baru ada di Dompu, NTT, Provinsi Lampung, dan Sulawesi.

“Padahal potensinya masih sangat besar,” ujarnya.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyatakan, penambahan lahan kebun tebu hanya bisa dilakukan dengan kerja sama bersama Perhutani. Tanpa itu, akan sulit menambah lahan baru lantaran semakin berkurangnya lahan-lahan yang bisa digunakan untuk kegiatan pertanian.

Ganjar melanjutkan, sebelum menentukan target swasembada gula, Pemprov Jawa Tengah akan melakukan pendataan ulang mengenai lahan tebu.

“Siapa pemiliknya, masuk kelompok mana, ini semua didata ulang dan harus ada GIS (Geographic Information System)-nya. Kalau sudah pasti, baru bisa kita hitung,” katanya.

Ganjar mengungkapkan, data yang digunakan selama ini merupakan data perkiraan saja.

“Selama ini kita kan pakai ilmu dukun. Kira-kira saja, jumlahnya segini, kali segini. Padahal tidak ada petaninya,” ujarnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, Yuni Astuti menerangkan, luas areal perkebunan di Jawa Tengah mencapai 600 ribu hektare. Luas lahan tersebut terdiri dari perkebunan rakyat sebanyak 91 persen, perkebunan negara tujuh persen, dan perkebunan besar swasta sebanyak dua persen.

Menurut Yuni, ada sembilan komoditas unggulan perkebunan di Jawa Tengah, di antaranya adalah tebu, kopi, tembakau, kakao, teh, kelapa, karet dan cengkih.

“Komoditas tebu masih merupakan komoditas unggulan, walaupun ada kecenderungan menurun pada 2016 yang diakibatkan oleh iklim dan cuaca yang hujan terus-menerus,” ujar Yuni.

Dia melanjutkan, produksi tebu pada 2016 sebesar 3,7 juta ton dengan produksi gula kristal putih (GKP) sebanyak 222 ribu ton. Adapun tingkat rendemennya sekitar enam persen.

Dengan produksi sebesar itu, Jawa Tengah masih kekurangan kebutuhan gula berbasis tebu dari total kebutuhan 270 ribu ton. “Artinya, masih terdapat defisit 47 ribu ton GKP,” kata Yuni.

Sumber: Republika, hal. 16

Tanggal: 23 Februari 2017