Optimalisasi Hutan untuk Pangan

Kontribusi produksi pangan dari kawasan hutan tergolong besar meski angkanya tidak masuk data statistik nasional. Sejak lama kawasan hutan sudah menopang sumber pangan rakyat. Tercatat sudah 16 juta hektare kawasan hutan berkontribusi memproduksi 9,4 juta ton pangan. Belum lagi dari areal konsesi hutan produksi yang dikelola melalui hak pengusahaan hutan (HPH) atau hutan tanaman industri (HTI).

Kementerian Kehutanan mewajibkan HPH/HTI menyisihkan 10-15 persen areal untuk produksi pangan. Kalau rata-rata 10 persen dari luas HTI 3,5 juta hektare, maka akan ada stok cadangan pangan hingga 35 juta ton. Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, ketahanan pangan menjadi salah satu fokus pemerintah terkait ancaman krisis yang sudah di depan mata. Saat ini ketersediaan pangan untuk rakyat sudah bertanda “merah” alias kritis, terutama di beberapa wilayah.

“Kelihatannya kehutanan tidak mendukung, padahal banyak kontribusinya,” katanya. Selain sumber bahan baku kayu dan pertanian, kawasan hutan juga terbuka untuk pengembangan usaha peternakan yang dikenal silvopastura dan perikanan yang dikenal silvofishery. Pemanfaatannya tidak mengganggu ekosistem hutan. Ada tanaman kayu semisal jati, sengon, dan jabon yang bisa dimanfaatkan untuk jangka panjang. Silvopastura pada kawasan hutan bisa bermacam model.

Contohnya untuk ternak kambing etawa, sapi, kambing, dan lainnya yang untuk kegiatan jangka menengah. Sedangkan untuk jangka pendek, masyarakat bisa mengusahakan tanaman semusim, seperti kopi dan salak.

“Apa pun yang terkait soal pangan harus dinomorsatukan. Bahkan, kebijakan moratorium pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut tidak berlaku untuk pangan. Pemerintah sepakat dan fokus pada 2014 bisa surplus 10 juta ton. Anggaran yang disiapkan sampai Rp 30 triliun hanya untuk pangan,” ucapnya.

Salah satu bentuk pemanfaatan untuk pangan ada Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang mengedepankan sinergi empat BUMN, yakni Perum Perhutani, PT Pertani, Sang Hyang Seri, dan Perum Bulog.

Salah satunya pengembangan padi jenis parientis di Petak 99 C pada lahan seluas 17,60 hektare di kawasan hutan milik Perum Perhutani. Persisnya di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cijangkar, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Cipeundeuy, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

“Produktivitasnya mencapai 3,5 ton per hektare dari hasil yang normal 2,5 ton,” kata Dirut Perhutani Bambang Sukmananto menambahkan. Program GP3K ini merupakan bentuk dukungan untuk ketersediaan pangan. Produktivitas padi varietas Inpago yang ditanam di hutan Perhutani Unit III Jabar dan Banten ini juga membuktikan kemampuan hutan untuk meningkatkan produksi pangan.

Ditambah sentuhan atau keterlibatan manusia, dalam hal ini korporasi (BUMN), hutan mampu mendongkrak produksi pangan nasional. Sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrem, urun serta dan sinergi banyak pihak, termasuk Kementerian Kehutanan, yang memang dituntut untuk memaksimalkan daya dukung hutan.

Lahan
Lebih jauh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, Kementerian Kehutanan juga menyediakan lahan sekitar 200.000 hektare di berbagai kawasan hutan, terutama di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Melalui Perum Perhutani, yang juga mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam mendukung swasembada pangan, sudah memberikan kontribusi pangan sebesar 13,5 juta ton atau setara dengan Rp 9,1 triliun.

Produksi pangan berupa padi yang mencapai 856.802 ton, jagung 7.092.870 ton, kacang-kacangan sebesar 635.441 ton, dan jenis pangan lainnya mencapai 4.956,348 ton. “Dari kegiatan PHBM ini, penyerapan tenaga kerjanya kurang lebih 4,8 juta orang, dengan tambahan penghasilan yang mencapai Rp 1,6 triliun,” tutur Zulkifli.

Menurut dia, panen perdana padi Inpago di kawasan hutan di Desa Wanawali, Purwakarta, baru-baru ini, merupakan salah satu bentuk kemitraan yang dilakukan BUMN sektor kehutanan Perum Perhutani. “Pola kemitraan dengan petani hasilkan tumpang sari dan di Jawa memang lebih maju. Tumpangsari tak merusak fungsi hutan, namun bisa menambah penghasilan petani dan mendukung penguatan daerah aliran sungai,” ujarnya.

Salah satu pola kemitraan yang berhasil dilakuan dengan petani Udin (46), petani penggarap tumpang sari (pesanggem) dari Desa Wanawali-Purwakarta, Jabar, di kawasan hutan Perum Perhutani. Udin memperoleh lahan garapan 1/4 hektare. Di atas lahan terebut ada tegakan tanaman jati tahun 2011 dengan jarak tanam 3×3 meter. Tanaman tumpang sari yang dipanen berupa padi huma varietas Inpago. Setelah padi dipanen, lahan garapan akan ditanam kacang kedelai dan kemudian padi lagi. Jadi, setahun ada tiga kali penanaman.

Dari 1/4 hektare lahan, Udin memperoleh 1 ton gabah kering dengan harga jual Rp 300.000 per kuintal. Kompensasinya, Udin harus menjaga tegakan utama dan melakukan kegiatan perawatan. Udin sendiri memperoleh bantuan pupuk dan benih dari Perhutani. Seluruh hasil panen tanaman tumpang sari menjadi haknya. Sedangkan dari tegakan utama pohon jati, pesanggem nantinya memperoleh 25 persen dari hasil penjualan tegakan. Setiap pesanggem maksimal memperoleh 1 hektare lahan garapan.

Total lahan garapan yang disediakan Perhutani untuk tumpang sari seluas 17,60 hektare. “Pemasaran padi huma ini tidak sulit dan permintaannya cukup tinggi,” ucapnya. Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, dalam mencapai target surplus beras pada 2014, Kemenhut menawarkan lahan seluas 200.000 hektare kepada Kementerian Pertanian. (Bayu Legianto)

SUARA KARYA :: Rabu, 28 Maret 2012, Hal. 2

Share:
[addtoany]