“Lelene mati digepuk, gepuk nganggo walesane. Suwe ora petuk ati sido remuk.Kepetuk mung suwarane.. e yak e yak o.. jangkrik genggong..” Alunan lagu jawa ini memecah gerah di dusun Tumang, Jenggrik, Ngawi. Pohon-pohon hutan di tepian dusun Tumang ikut berbisik-bisik, meniupkan angin, mendamaikan siang. Katidjo adalah bagian dari dusun Tumang. Menikmati hutan, mendengarkan jangkrik genggong dari muda menjadi bagian ritme hidup.
Hutan bagi Katidjo adalah sebuah kehidupan. Kayu bakar, air, pakan ternak, semua diperoleh dari hutan. Ia merasa manfaat ini harus dikelola dengan baik. Bersama warga ia membentuk kelompok Wonodadi Lestari delaapan tahun lalu. Ditunjuk sebagai sekretaris kelompok, ia usul mengembangkan ternak. Meski dua tahun mencoba tapi gagal.
Gagal itu berhasil. Berhasil mengetahui sebab gagal. Berhasil belajar dan berhasil mikir langkah lain. Sejak tahun 2009 itu, Katidjo dan kelompoknya beralih mencoba ternak ikan lele. Pilihan itu murah, praktis, pemeliharaan mudah, pakan lele satu paket dengan bibitnya.
Katidjo membangun empat kolam sederhana. Kolam ukuran 3×5 satu buah untuk pembibitan bibit lele satu bulan. Kolam ini menampung 12 ribu bibit. Ia kemudian memisahkan lele sesuai ukuran, kecil, sedang, besar dan memindahkannya ke kolam lain ukuran 8×10 m. Di kolam ini lele leluasa bergerak dan diberi pakan cukup sampai bisa dipanen.
Pembedaan ukuran sebenarnya memudahkan perlakuan. Lele kecil lebih diperhatikan pakannya supaya pertumbuhan bagus dan menyamai lele besar. Ketika panen, kualitas lele akan menjadi sama bagusnya. Lele juga jarang terserang penyakit. Apabila ada beberapa lele mulai muncul ke permukaan air kolam, Katidjo punya cara, segera mengganti air kolam dengan bersih.
Kini, sekali panen omzetnya Rp 15 juta selama 2,5 bulan. Ia mengaku untungnya cuma Rp 3,5 juta. Setahun bisa panen minimal 4-5 kali bergiliran secara terus menerus. Pembeli umumnya langsung ke kolam dan Katidjo menjual paketan atau borongan, per kilo Rp 16 ribu. Para pembeli langganan akan menjual lele-lele tersebut ke pasar-pasar atau ke rumah makan.
Dari mana Katidjo dapat modal? Selain modal pribadi, ia mendapat bantuan PKBL Perhutani Ngawi Rp 5 Juta dan Rp 20 juta tahap dua. Pendampingan dan pelatihan diperoleh dengan baik. Bahkan ia pernah diikutkan seminar pengembangan usaha di Yogyakarta tahun 2012.
Informasi awal program pemberdayaan dan PKBL yang diterima dari Heri Sujianto, Mandor Perhutani Sidowayah, bagi Katidjo tidak mudah ia lupakan. Meskipun ia mendapat nominal kecil, bantuan-bantun cepat seperti PKBL manfaatnya nyata dirasakan lelaki lulusan smp berusia setengah abad ini.
Sukses ternak lele Katidjo di desa hutan, memang bukanlah ukuran sukses petambak ikan salmon. Sukses Katidjo adalah cermin semangat pergulatan ekonomi rakyat kecil, yang mampu menarik gerbong ratusan pedagang pecel lele di belakangnya.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 24, Th. II, September 2014