Hutan dan Masyarakat sebagai kesatuan, membuka berbagai peluang kelola, juga ragam hasil hutan. Ini menjadi modal utama dalam menggerakkan perekonomian masyarakat serta mengurangi laju deforestasi-degradasi lahan hutan. Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), akan segera dibentuk dalam kongres di Semarang, 21-23 Juni 2012 mendatang. Kalangan petani, pengrajin dan pelaku usaha Kehutanan Masyarakat diharapkan terwakili secara politik dan professional dalam asosiasi.
Berdasar data Dirjen RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial) Kemenhut tahun 2006, terdapat 77 juta hektar lahan hutan kritis, dengan perkembangan 1,08 juta hektar per tahun. Sementara laju rehabilitasi hanya sebesar 700 ribu hektar per tahun. Lambatnya laju rehabilitasi belum berimbang dengan perkembangan lahan kritis. Peran dalam menekan laju deforestasi seharusnya bisa diambil Kehutanan Masyarakat.
Data CIFOR (Centre for International Forestry Research), Indonesia memiliki 48,8 juta jiwa masyarakat di dalam sekitar dan sekitar hutan. 10,2 juta di antaranya tergolong miskin. “Peluang Kehutanan Masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan sangat besar. Hal itu yang mendasari pembentukan AWKMI”, ujar Andri Santosa – Ketua Panitia Pelaksana Kongres, dalam siaran pers yang diterima Green Radio.
“Bisnis ekosistem serta green enterpreneurship masih perlu didorong”, kata Andri. “Seharusnya pengelola Kehutanan Masyarakat mengoptimalkan produk atau hasilnya agar lebih sejahtera. Konsolidasi dan kerjasama dengan pengrajin dan pelaku usaha juga perlu digalang”, lanjutnya.
“Potensi Kehutanan Masyarakat sesungguhnya memiliki posisi tawar yang besar, sekira 12 juta hektar, kata Hariadi Himawan – Direktur Bina Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan. Secara rinci HKm, Hutan Desa dan HTR saja seluas 7,9 juta hektar, tambahnya.
Hutan Rakyat (di Jawa saja) mencapai 3 juta hektar dan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang digagas Perhutani 1 juta hektar, ujar Bambang Sukmananto – Direktur Utama Perhutani.
Peluang dan tantangan besar juga hadir dengan skema verifikasi legalitas kayu (SVLK), ujar Diah Rahardjo, Direktur Program MFP (Multi Stakeholder Forestry Program). “Tantangan akan kayu legal bersertifikat bisa membuka peluang pasar lebih luas, jika kita sungguh-sungguh menanganinya,” lanjut Diah.
Andri menambahkan, dalam kongres ini akan berlangsung konsolidasi para pelaku Wirausaha Kehutanan Masyarakat se-Indonesia. Kongres ini juga akan membentuk wadah bersama. Sekaligus sebagai arena promosi petani hutan yang telah menjalankan praktek yang menghasilkan produk ramah lingkungan, seperti kayu bersertifikat legal, tutupnya. (Green Radio 18 Juni 2012)