Pembangkit Biomassa di Papua Barat

KOMPAS, Jakarta — PT Prima Layanan Nasional Enjiniring (PT PLN Enjiniring), anak perusahaan PT PLN (Persero), akan membangun pembangkit listrik biomassa untuk memenuhi penyediaan listrik dan energi panas dengan nilai investasi Rp 120 miliar. Hal ini untuk mendukung rencana pengoperasian pabrik pengolahan sagu di Distrik Kais, Sorong Selatan, Papua Barat.

Demikian nota kesepahaman yang ditandatangani Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto dan Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji, Jumat (6/9), di Jakarta. Nota kesepahaman itu merupakan kesepakatan awal kerja sama dalam penyediaan listrik dan energi panas untuk kebutuhan pabrik pengolahan sagu milik Perum Perhutani yang akan dibangun di Distrik Kasi, Sorong Selatan, Papua Barat.09

Nur Pamudji menjelaskan, PLN menargetkan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar biomassa dari limbah pengolahan sagu berkapasitas 3 megawatt (MW) itu rampung pada September 2014. Kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkit itu diperkirakan Rp 40 miliar per megawatt sehingga total investasinya Rp 120 miliar. ”Pendanaan ini dari PLN sendiri,” ujarnya.

Rencana pembangunan industri di Papua sudah lama dibicarakan di Kementerian BUMN. PLN bertugas membangun beberapa pembangkit listrik di Papua dan Papua Barat. Karena itu, PLN akan membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik biomassa sehingga bahan bakarnya bisa dari serat pohon sagu, kayu, ataupun batubara dan gasifikasi batubara. Listrik dan energi panas yang dihasilkan pembangkit itu untuk pengolahan dan pengeringan sagu.

Menurut Bambang Sukmananto, Perum Perhutani akan membangun pabrik sagu yang mampu memproduksi 100 ton per hari. Perum Perhutani juga akan menyediakan lahan untuk membangun pembangkit dan menyediakan bahan bakar biomassa untuk kebutuhan pembangkit secara berkesinambungan. Selain bahan baku miliknya, Perhutani akan menggandeng masyarakat lokal agar pasokan bahan baku pembuatan sagu terjamin keberlangsungannya.

Di Papua, masyarakat setempat membeli sagu hingga Rp 18.000 per kg atau lebih mahal daripada harga di luar Papua yang hanya Rp 9.000 per kg. Selama belum ada pabrik sagu di Papua, masyarakatnya beralih mengonsumsi beras sebagai makanan pokok mengingat harga sagu yang cukup mahal. (EVY)

Kompas | 07 September 2013 | Hal.13