Pendakian Gunung Slamet, Menantang Sampai ke Puncak!

DETIK.COM (16/07/2018) | Nama Gunung Slamet relatif kurang populer dibandingkan gunung lain. Meski begitu jangan salah, panorama di Puncak Slamet sangat ciamik. Seru dan menantang!

Meski jadi gunung kedua paling tinggi di Pulau Jawa, Gunung Slamet relatif kurang populer jadi destinasi pendakian. Namun panorama di puncak gunung yang berada di lima kabupaten tersebut sangat ciamik.

detikTravel mendaki Gunung Slamet beberapa waktu lalu lewat Jalur Guci. Ketimbang sebagai jalur pendakian, Guci sendiri lebih terkenal sebagai tempat wisata pemandian air panas yang sangat terkenal di Kabupaten Tegal. Hampir sebagian besar pendaki memilih jalur di sisi Selatan, yakni jalur Bambangan di Kabupaten Purbalingga.

Dengan ketinggian 3.428 mdpl, Slamet bisa dikatakan cukup berat untuk pendaki pemula. Treknya memang sebagian besar landai dan mudah dilewati, dengan sedikit tanjakan dari pos pertama pendakian kawasan hutan berlumut di pos empat. Namun lautan pasir, bakal jadi tantangan tersulit bagi pendaki.

Dari pemandian air panas Guci yang selalu ramai pengunjung, jalur pendakian ke puncak lokasinya cukup tersembunyi, yakni melewati akses menuju air terjun yang masuk kawasan WAGU yang dikelola oleh Perhutani.

Basecamp pendakian terletak tak jauh dari pos pemeriksaan milik Perhutani. Banyaknya warung-warung yang bertebaran di area wisata Guci, memudahkan pendaki mempersiapkan bekal selama perjalanan panjang.

Jalan berbatu dan persawahan sayur jadi etape pertama yang menyambut pendaki selama kurang lebih sejam dari basecamp hingga mencapai pos pertama. Hutan di sepanjang jalur ini sangat homogen yakni berupa pepohonan pinus tua di hutan produksi milik Perhutani. Tak banyak rintangan berarti di trek ini.

Barulah selepas pos pertama hingga pos tiga, pendaki baru menemukan jalanan tanah berlumpur sempit, dan tanjakan yang cukup menguras tenaga. Beberapa pohon melintang jadi hambatan lain di jalur ini.

Yang perlu diperhatikan, banyak jalan-jalan kecil yang kecil yang dibuat para pemburu burung dan pencari kayu di jalur pendakian sepanjang pos pertama hingga pos empat. Jika tak jeli memperhatikan tanda di beberapa persimpangan, seringkali pendaki tersesat di Gunung Slamet.

Hutan di Gunung Slamet berkarakter hutan padat dengan pepohonan tua berlumut, dan banyak ditemui semak belukar setinggi badan orang dewasa yang cukup menyulitkan. Sangat disarankan pendaki mengenakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi untuk menghindari kontak langsung dengan dedaunan belukar yang melintang dan berbulu sehingga bisa berakibat gatal-gatal hingga lecet pada kulit.

Meski tak banyak berurusan dengan trek curam, butuh setidaknya enam jam perjalanan untuk pendaki berpengalaman hingga ke pos empat yang treknya cukup panjang. Biasanya, para pendaki menyiasatinya dengan tidak membawa bekal air telalu banyak, dan baru mengisi air penuh di mata air selepas pos 4. Strategi cukup efektif menghemat energi sebelum pendaki mencapai pos terakhir yang jadi tempat ideal membangun tenda.

Setelah sampai di pos empat dan menuju pos lima atau batas vegetasi, barulah pendaki bisa menemui vegetasi yang beragam. Setidaknya jauh lebih memanjakan mata dibandingkan perjalanan di trek sebelumnya yang terkesan membosankan, dengan pemandangan tutupan hutan padat yang cenderung homogen.

Di sepanjang jalur menuju puncak ini, banyak ditemui tebing-tebing dan pepohonan khas dataran tinggi dengan dedauning kekuningan atau kemerahan yang sedap dipandang. Jika beruntung, pendaki bisa dengan mudah menemukan koloni bunga edelweiss di jalur tersebut.

Lantaran trek berpasir selepas pos lima menuju puncak adalah sesi paling sulit, batas vegetasi jadi tempat paling ideal bagi sebagian besar pendaki mendirikan tenda untuk bermalam. Baru pada fajar keesokan harinya, mereka bersiap meninggalkan tenda dan berburu sunrise di puncak Slamet.

Lautan Pasir Hingga Puncak

Istirahat yang cukup di malam hari jadi hal wajib sebelum pendaki menjajal trek pasir. Di Gunung Slamet, etape inilah yang paling menantang sekaligus berisiko. Meski hanya berjarak tak sampai 2 kilometer, tak sedikit pendaki yang akhirnya memilih menyerah di tengah jalan lantaran sulitnya mencapai puncak di tengah pasir yang kemiringannya bisa di atas 45 derajat tersebut.

Bagi pendaki berpengalaman sekalipun, trek pasir di pucuk Gunung Slamet tak bisa disepelekan. Jalurnya yang curam, dengan minimnya batu yang bisa dijadikan pijakan, membuat pendaki terpaksa harus beberapa kali harus merayap.

Tak jarang pula, batu besar yang sepertinya tampak bisa jadi pijakan kuat, rupanya sangat rapuh dan langsung menggelinding begitu diinjak. Belum lagi terpaan angin kencang, serta batu yang seringkali menggelinding dari atas jadi risiko besar selama pendakian Slamet.

Gemburnya pasir bekas lava pijar dari letusan terakhir Gunung Slamet ini bakal sangat menguras fisik dan mental pendaki. Belum lagi, asap belerang dari kawah yang bertiup ke lereng membuat mata pendaki terasa perih.

Butuh setidaknya 2 hingga 5 jam perjalanan hanya untuk melewati lautan pasir ini. Perjalanan panjang penuh berisiko bakal terbayar dengan keindahan kaldera yang tinggi menjulang membentuk mangkuk kawah di bawahnya.

Asap belerang yang keluar dari sela-sela batuan di kawah jadi spot menarik untuk berfoto. Selain itu, dinding kawah keemasan yang terpapar mentari pagi jadi pemandangan yang sangat eksotis dan sangat sedap dipandang.

Jika cuaca cerah, pendaki bisa melihat dengan jelas Gunung Ciremai di Barat, Samudera Hindia di ujung Selatan, dan Kota Purwokerto persis di lereng gunung. Sementara jika menyapu pandang ke sisi lainya, pendaki juga bisa menikmati suasana negeri di atas awan, dengan gumpalan kumulonimbus yang berjejeran bak permadani menutup daratan di bawahnya.

Disarankan, jangan terlalu berlama-lama di Puncak, mengingat kuatnya terpaan angin yang bisa membuat pendaki kedinginan. Jangan khawatir saat pendaki turun, treknya yang sedikit landai selepas jalur pasir membuat pendaki bisa turun dengan mudah, bahkan dengan sedikit lari-lari kecil sekalipun.

Sumber : detik.com

Tanggal : 16 Juli 2018