INDOPOS (15/07/2019) | Perum Perhutani (Perhutani Group) mulai merambah bisnis bioenergi dengan mengembangkan tanaman biomassa. Perusahaan pelat merah tersebut tengah dan akan mengembangkan tanaman biomassa, seperti kaliandra merah dan gamal, pada lahan seluas 122.882 hektare (ha) dengan total investasi Rp 800 miliar (hanya untuk tanaman) pada periode 2019-2023. Perhutani menargetkan tambahan pendapatan minimal Rp 3,50 triliun pada 2025 dengan pengembangan tanaman biomassa tersebut. Pada 2018, total pendapatan Perhutani Group mencapai Rp 4,38 triliun.
Direktur Utama Perhutani Group Denaldy M Mauna mengatakan, pengembangan tanaman biomassa merupakan bagian dari upaya transformasi bisnis yang tengah dijalankan perusahaan. Perhutani memiliki visi dan misi untuk mengembangkan portofolio bisnis baru dengan menyasar tiga aspek, yakni profit, planet, dan people. “Selama ini, portofolio Perhutani adalah tanaman hutan untuk jangka panjang, pohon jati misalnya baru bisa dipanen 80 tahun, kapan dapat profitnya dan kapan bisa menyejahterakan masyarakatnya, sehingga perlu dicari komoditas yang waktu panennya lebih pendek. Di sisi lain, dunia berusaha mengatasi climate change, bagaimana sektor kehutanan bisa ikut mengatasinya? Tanaman biomassa jadi pilihan, semua aspek dari forest management juga terpenuhi dengan Perhutani masuk ke bisnis tanaman ini,” kata Denaldy.
Denaldy mengungkapkan hal tersebut saat berbincang dengan Investor Daily di Jakarta, pekan lalu. Pengembangan tanaman biomassa yang menjadi fokus Perhutani Group mulai tahun ini bukanlah sebuah kebijakan yang tiba-tiba. Pada 2013, Perhutani Group telah mengembangkan proyek percontohan (pilot project) pengembangan tanaman biomassa dan berjalan sukses. Manajemen Perhutani Group juga telah mengundang sejumlah calon pembeli dan melakukan semi roadshow ke sejumlah negara, seperti Korea dan Jepang, untuk melihat langsung tentang pengembangan tanaman biomassa. “Dalam lima tahun ke depan, kami kembangkan kurang lebih 120 ribu ha tanaman biomassa, tahun ini sekitar 20 ribu ha. Saat ini, Perhutani mengelola lahan 2,40 juta ha, saya bilang ke teman-teman di Perhutani, saya hanya minta 120 ribu ha tapi sumbangan pendapatannya nanti hampir sama dengan pendapatan saat ini,” kata Denaldy.
Menurut Denaldy, produk dari pengembangan tanaman biomassa untuk sementara akan menyasar pasar ekspor. Sebab, permintaan produk tersebut di pasar ekspor sangat besar. Salah satu perusahaan di Jepang misalnya, akan membangun pembangkit listrik berbasis biomassa dan pernah menyampaikan keinginannya agar Perhutani bisa menyuplai kebutuhan pelet kayu (wood pellet) sekitar 1 juta ton setiap tahunnya. “Waktu itu, Perhutani belum memulai, baru mau memulai. Artinya, pasar ekspor terbuka lebar. Jadi, setelah dapat tanamannya, Perhutani bangun pabrik pengolahannya untuk menghasilkan wood pellet, investasi sekitar Rp 30-40 miliar untuk kapasitas 10 ton per jam, baru dipasarkan. Dengan asumsi harga US$ 120 per ton, pada 2025 Perhutani akan mendapat tambahan pendapatan Rp 3,50 triliun, pendapatan bisa lebih besar lagi karena harga di Brasil dan Eropa US$ 150-160 per ton,” kata dia.
Denaldy menuturkan, dengan tambahan pendapatan Rp 3,50 triliun dan apabila itu seluruhnya merupakan pendapatan ekspor maka Perhutani bisa menyumbang devisa sekitar US$ 250 juta kepada negara. “Dengan sumbangan devisa mendekati US$ 250 juta itu berarti Perhutani telah ikut membantu negara yang saat ini terpaksa harus kehilangan sejumlah devisa karena porsi impor lebih banyak daripada ekspor,” jelas dia.
Dalam rencana strategis yang dibuat Perhutani Group terkait pengembangan tanaman biomassa, produksi kayu biomassa akan mencapai 52.500 ton tahun ini dan menjadi 3.049.109 ton pada 2025, produksi wood pellet pada 2025 mencapai 2.032.739 ton, pendapatan ekspor diasumsikan mencapai Rp 1,60 miliar pada tahun ini dan menjadi Rp 3,50 triliun pada 2025, sedangkan pendapatan agro tahun ini Rp 86 miliar dan Rp 538 miliar pada 2025. Produk wood pellet disebutkan bisa menggantikan peran batubara. Tahun ini, pengembangan tanaman biomassa dilakukan pada lahan seluas 22.558 ha dan menjadi 122.882 ha pada 2023.
Pola Agroforestri
Sekretaris Perusahaan Perhutani Group Asep Rusnandar mengatakan, untuk memenuhi aspek people seperti visi dan misi perusahaan maka pengembangan tanaman biomassa tersebut menggunakan sistem agroforestri. Agroforestri merupakan desain pola tanam yang menggabungkan antara tanaman biomassa dan tanaman pertanian dengan memberikan akses kepada masyarakat sekitar hutan untuk bercocok tanam tanaman pertanian, misalnya jagung dan kacang tanah, dengan prinsip berbagi peran dan berbagi hasil dari produksi tanaman biomassa dan tanaman pertanian. Komposisi luas untuk tanaman biomassa adalah 70% sedangkan luas untuk tanaman pertanian masyarakat adalah 30% dari total luas penanaman. penyediaan lahan pertanian melalui pola tanam agroforesteri akan mencapai 6.000 ha pada 2019 dan menjadi 36 ribu ha pada 2023.
Dengan luasan tersebut, diharapkan petani akan menikmati produksi hasil pertanian senilai Rp 4,70 triliun pada 2024. Pengembangan tanaman biomassa juga akan menyerap tenaga kerja masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan pembuatan persemaian, tanaman, pemeliharaan, dan pemanenan, diperkirakan nilainya mencapai Rp 940 miliar pada 2025. Di samping itu, tanaman biomassa juga dapat menghasilkan hijauan makanan ternak, sumber pakan lebah madu sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan.
Sumber : indopos, hal 7
Tanggal : 15 Juli 2019