KORAN JAKARTA, Jakarta – Perum Perhutani menyatakan pabrik pengolahan sagu di Sorong Selatan, Papua Barat, siap beroperasi tahun depan seiring adanya jaminan pasokan energi listrik dari PT PLN. Beroperasinya pabrik diharapkan bisa membantu memenuhi kebutuhan sagu di dalam negeri, khususnya Papua dan Papua Barat.
“Salah satu hambatan realisasi pembangunan pabrik sagu Perhutani adalah soal pasokan listrik untuk operasional pabrik. Hambatan itu kini sudah selesai setelah ada kerja sama dengan PLN. Kami harap pabrik sudah bisa beroperasi tahun depan,” kata Direktur Utama Perum Perhutani, Bambang Sukmananto, di Jakarta, Jumat.
Dua BUMN tersebut, diwakili Dirut Perhutani, Bambang Sukmananto, dan Dirut PLN, Nur Pamudji, menandatangani kesepahaman kerja sama untuk memenuhi kebutuhan listrik dan panas bagi pengeringan. PLN akan membangun pembangkit listrik tenaga biomassa berkekuatan minimal 3 megawatt (mw).
Dalam kesempatan tersebut, Perhutani juga menandatangani kesepahaman kerja sama dengan PT Barata (Persero) untuk Engineering Procurement Construction pabrik sagu berkapasitas 100 ton per hari.
Bambang menyatakan Perhutani selama ini memang mencari solusi pembangkit listrik untuk kebutuhan pabrik sagu sebab calon lokasi industri yang terpencil dan infrastruktur yang minim.
“Jika menggunakan bahan baku konvensional seperti BBM dan batu bara, maka cost-nya menjadi tidak layak. Kini PLN sudah memiliki teknologi baru untuk memanfaatkan biomassa hasil limbah olahan sagu sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Nah, listriknya itu yang kami manfaatkan,” kata dia.
Dengan menggandeng Barata, tambah dia, dipastikan pabrik sagu bisa segera dibangun. Dia menyatakan selama ini pihaknya kesulitan memperoleh kontraktor pembangunan pabrik.
Dia menyatakan, tiga kali lelang yang dilakukan tidak menghasilkan pemenang karena harga yang ditawarkan terlalu tinggi. Hal itu karena terkait dengan kondisi infrastruktur yang kurang di Papua sehingga pihaknya melakukan penunjukan langsung kepada Barata.
Prospek Pasar
Perhutani merencanakan pembangunan industri sagu sejak pertengahan 2012 yang diharapkan mampu mengatasi tingginya harga bahan makanan pokok masyarakat Papua.
Harga sagu di Papua bisa mencapai 18.000 rupiah/kilogram, lebih mahal dibandingkan harga rata-rata di luar pulau tersebut yang hanya 9.000 rupiah/kilogram. Akibatnya, banyak masyarakat di sana yang kemudian mulai beralih mengonsumsi beras sebagai makanan pokok.
“Sagu adalah simbol budaya masyarakat Papua. Dengan pengembangan industri ini, Perhutani mendukung kelestarian sosial budaya, kelestarian sumber daya alam, dan perekonomian masyarakat,” kata dia.
Koran Jakarta | 07 September 2013 | Hal. 10