Perhutani : Selesaikan Lewat Jalur Hukum

Administratur Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Indramayu, Budi Shohibuddin, mempersilakan pihak Keraton Kasepuhan Cirebon menempuh jalur hukum, terkait dengan klaim kepemilikan lahan Perhutani. Akan tetapi, Sultan Sepuh XIV Arief Natadiningrat menyatakan tidak akan terburu-buru membawa persoalan ini ke ranah hukum.
Ditemui di kantornya, Senin (23/5), Budi menegaskan, selama belum ada kepastian hukum bahwa tanah itu milik keraton, maka pihak keraton tidak mendirikan bangunan ataupun menanam pepohonan di wilayah hutan tanpa izin Perhutani.
Terpisah, Sultan Sepuh XIV Arief Natadiningrat menyatakan tetap akan mengutamakan musyawarah dengan Perhutani. Meskipun, katanya, keraton memiliki bukti kuat mengenai kepemilikan lahan di Indramayu.
Kepemilikan itu, katanya, sebagaimana digambarkan dalam peta kadaster yang dibuat Belanda tahun 1854-1857. Peta itu menunjukkan wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon yang juga meliputi daerah yang disebut partikuliere landen van Kandang Hawoer en Indramayu.” Daerah itu meliputi 16 kecamatan di Indramayu sampai Kertajati di Kabupaten Majalengka. Luasnya mencapai 300.000 hektar.
Sultan menegaskan, berbeda dengan keraton lain yang tercatat sebagai daerah swapraja, Cirebon tidak tercatat sebagai daerah swapraja.
Artinya, lanjut Sultan, Kesultanan Cirebon juga tidak terikat dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. ”Karena kami pada pemerintahan Belanda tidak terikat kontrak politik dengan Belanda,” katanya. Adapun PP Nomor 224 Tahun 1961 sebagai pelaksana UU Pokok Agraria menyebutkan, tanah swapraja dan eks-swapraja yang mesti dialihkan kepada negara.
Sebagai daerah partikelir, kawasan Indramayu yang disengketakan itu bisa diambil alih oleh negara asalkan ada kompensasi kepada pemilik sah. ”Hal itu diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikelir. Selama ini tidak ada kompensasi dari negara,” kata Arief.
Ingin hak milik
Sementara itu, warga Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, menginginkan lahan yang selama ini mereka garap agar menjadi hak milik. Pengelolaan oleh KPH Indramayu dinilai merugikan penggarap, karena ada oknum di lapangan yang mengintimidasi warga dan menarik biaya bibit pohon.
Hal itu dikemukakan sejumlah warga saat ditemui di Blok Tanjungjaya, Desa Mekarjaya, Minggu lalu. Untuk merealisasikan hal itu, ribuan warga membuat pernyataan di atas meterai, yang isinya membenarkan tanah hutan itu adalah lahan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Selain itu, warga dalam pernyataannya juga memohon kepada Sultan Kasepuhan agar membebaskan lahan yang diyakini sebagai hak milik turun-temurun Sultan.
Latip (52), warga Blok Tanjungjaya, menuturkan, selama ini dirinya diminta membeli bibit pohon kayu putih seharga Rp 500 per batang oleh oknum mandor Perhutani. Jika tidak membeli bibit yang masing-masing tingginya 25 sentimeter, warga diancam tidak boleh lagi menggarap lahan.
Waji (63), petani lainnya menuturkan, tidak hanya membeli bibit dan pupuk, petani juga mengerjakan lahan sendiri tanpa bantuan biaya dari Perhutani. Ia, misalnya, memerlukan Rp 5 juta untuk mengelola 1 hektar (ha) lahan. Namun, ia masih harus membiayai perawatan dan pembelian bibit pohon kayu putih sampai Rp 700.000.
Pengamatan Kompas, kawasan hutan Perhutani itu belum sepenuhnya rimbun oleh tanaman. Pada beberapa bagian hutan tampak pohon kayu putih setinggi setengah meter dalam kondisi layu. Di bagian hutan yang lebih dalam bahkan tidak ada tegakan sama sekali, baik kayu putih maupun jati.
Atas berbagai tudingan warga, Budi menegaskan tidak ada aparatnya yang menjual bibit dan pupuk kepada petani penggarap. Kalaupun ada yang mengaku sebagai mandor, kemungkinan mereka orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Nama Media : KOMPAS
Tanggal        : Selasa, 24 Mei 2011/h. 21
Penulis         : Rek
TONE           : NETRAL

Share:
[addtoany]