Pertaruhkan Nyawa demi Sebuah Tungku

Suara Merdeka, Banjarnegara – PERKEMBANGAN zaman yang semakin modern, tidak membuat puluhan perajin tungku atau yang biasa disebut pawon di Desa Salamerta, Kecamatan Mandiraja, Banjarnegara menjadi patah arang.

Berbekal alat seadanya berupa martil dan betel, perajin tungku harus menggali bukit hingga puluhan meter. Nyawa pun menjadi taruhan, karena dapat saja sewaktu-waktu bukit yang sedang atau sudah digali runtuh.

Beberapa perajin tungku mengaku, risiko membuat sebuah tungku memang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Namun, karena tidak ada pekerjaan lain pertaruhan nyawa pun tetap mereka jalani.

Mudakir, salah seorang perajin, mengatakan pekerjaan itu sudah turun temurun dilakukan oleh warga di desanya. Ada kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat, lokasi yang biasa diambil batunya merupakan sumber kehidupan yang tidak akan habis. Mereka meyakini bebatuan akan tumbuh meski terus diambil.

‘’Setelah lubang yang digali dalam, perajin akan pindah mencari lokasi lain. Lubang tersebut ditutup dengan tanah. Setelah beberapa tahun kemudian, bekas lubang tersebut sudah dipenuhi dengan batu semua,’’ kata dia.

Selain itu, selama bukit digali hingga kini belum pernah ada kejadian tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa. Sebagai rasa syukur, setiap bulan Sura warga melakukan ritual selamatan ruwat bumi.

Keahlian Khusus

Lebih jauh ia menjelaskan, untuk membuat tungku jelas tidak mudah dan membutuhkan keahlian dan keberanian khusus. Setelah menggali bukit hingga mendapati batu yang bisa dibuat tungku, dibuat balokan-balokan sebelum dibentuk tungku.

Selanjutnya, tungku-tungku yang masih kasar kemudian diangkat untuk dihaluskan terlebih dulu sebelum dijual. Pada proses itu dibutuhkan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi agar tidak pecah.

Dalam satu gua, biasanya terdiri atas tiga hingga empat orang yang memiliki tugas masing-masing. Ada yang khusus membuat balokan, mencetak balokan menjadi tungku, dan menghaluskan.

Perjuangan perajin tungku ternyata belum berakhir sampai di proses itu. Mereka harus membawa tungku sampai ke pengepul dengan menempuh jalan setapak hingga tiga kilometer dengan naik turun bukit. Setiap tungku dijual dengan harga berkisar Rp 25.000-Rp 50.000.

Perajin lain, Kadirun, mengatakan di Desa Salamerta, terutama Dusun Kaligintung areal lahan yang diambil batunya merupakan lahan milik Perhutani seluas sekitar empat hektare. Jumlah perajin yang aktif mencapai 50 orang. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan belasan tahun lalu yang dapat mencapai tiga kali lipat.

Menurutnya, dalam sehari para perajin tungku dapat memproduksi sekitar 100 buah. Namun jumlah tersebut tergantung dengan cuaca dan kebutuhan.

Selain dijual ke pengepul, tungku yang sudah jadi tersebut juga dijual ke sejumlah warung atau toko yang ada di desa atau dijual langsung ke konsumen.(17,15)

Jurnalis : Bahar Ibnu H.
Suara Merdeka | 11 Desember 2013 | Hal. 26

Share:
[addtoany]