Setelah reformasi birokrasi dan penataan bisnis berhasil, Perum Perhutani bersiap jadi holding BUMN Kehutanan. Dalam kaitan itulah Direktur Utama Perhutani Bambang Sukmananto Maris menguraikan strateginya kepada wartawan Tabloid KONTAN Oginawa Ramadhan dan Murtadi, Rabu (10/9).
Saya menjabat sebagai Direktur Utama Perum Perhutani sejak bulan Juli 2011. Kala itu, tata kelola perusahaan jauh dari kata baik. Pasalnya, terdapat kekosongan kursi direktur utama selama tujuh bulan sebelum saya menduduki kursi tersebut. Akibat kekosongan kepemimpinan tersebut, masing-masing direksi seperti jalan sendiri-sendiri. Pegawai juga terpolarisasi sehingga membuat internal perusahaan kurang kondusif. Belum lagi, terdapat praktif feodalisme alias keadaan yang lebih mengagungkan jabatan, bukan prestasi kerja.
Masalah lain yang ada di perusahaan adalah banyaknya pemborosan operasional. Saya kaget saat meninjau ke lapangan ada 30 mobil iring-iringan yang mengantarkan saya. Alasannya itu merupakan kebiasaan perusahaan. Melihat hal itu, saya tegaskan kepada karyawan kalau hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi agar perusahaan dapat menekan pemborosan. Kalau ke lapangan, saya hanya meminta satu mobil dan seorang sopir. Dengan tidak didampingi banyak orang, saya lebih leluasa berkomunikasi dengan karyawan di lapangan. Belum lagi jamuan yang diberikan kepada tamu, atau kalau ada acara makan malam selalu ditawari hiburan karaoke. Tapi, saya mengubah kebiasaan tersebut dengan patroli ke hutan malam hari untuk sekedar bertemu dan berkomunikasi dengan karyawan yang menjaga hutan. Saya sering ke lapangan blusukan, sejak menjadi Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango selama periode 2007-2009.
Sebagai pimpinan, saya juga harus memberi contoh dari hal-hal kecil. Misalkan jika berpergian dinas jarak dekat dengan menggunakan pesawat maka menggunakan kursi kelas ekonomi dibandingkan kelas bisnis. Hal ini sempat diprotes direksi lain. Tapi, akhirnya mereka pun mengikuti karena merasa tidak enak jika dirutnya saja duduk di ekonomi, masa yang dibawahnya memakai kelas bisnis.
Perubahan yang saya lakukan pada awal kepemimpinan memang banyak yang mencibir dan tidak yakin. Tapi, setelah dilakukan secara konsisten, para karyawan dapat mengikutinya. Maklum, sebelumnya banyak karyawan perusahaan yang berada di zona nyaman lantaran bisnis yang dijalankan Perhutani tidak ada kompetitor bisnisnya.
Saya juga membangun nilai perusahaan yakni jujur, peduli dan profesional. Khusus peduli terdapat empat jenis, yakni peduli tanaman dan peduli sosial. Lalu, karyawan peduli terhadap perusahaan dan sebaliknya perusahaan juga peduli terhadap karyawan. Prinsip kepedulian perusahaan terhadap karyawan dan sebaliknya itu menciptakan efisiensi perusahaan. Setelah kami berhasil menekan pemborosan maka saya mulai menaikkan gaji para karyawan. Sebagai contoh, saat saya pertama kali masuk, gaji terendah karyawan Rp 1,3 juta. Tahun ini angka tersebut sudah naik menjadi Rp 2,9 juta. Setelah menaikkan gaji karyawan, saya juga menuntut kepada karyawan untuk bekerja keras dan turut peduli terhadap perusahaan.
Reformasi birokrasi di perum Perhutani terus dikembangkan. Saya sedang mengembangkan lelang jabatan terbuka untuk satu jabatan tertentu di Perhutani. Jadi, nanti ada fit and proper test terlebih dahulu. Dengan cara ini, misalnya ada pembukaan posisi manager unit bisnis pariwisata, maka yang mendaftar memang mempunyai keahlian dan passion di bidang wisata. Tidak seperti sekarang ini, penempatan jabatan berdasarkan senioritas semata. Bahkan, target ke depan, saya juga berencana dapat menarik karyawan dari luar agar pertumbuhan perusahaan dapat semakin cepat.
Asal tahu saja, Perhutani harus mengelola dua jenis hutan, yakni hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Jawa dan Madura. Total lahan yang dikelola seluas 2,4 juta hektare. Hutan produksi adalah hutan yang selama ini menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Sebagian keuntungannya diperuntukkan mengelola hutan lindung alias subsidi silang.
Menata Bisnis
Setelah reformasi birokrasi, saya juga mengubah pengelolaan bisnis perusahaan. Saya membagi bisnis perusahaan ke dalam dua jenis, yakni bisnis kayu dan non-kayu. Pembagiannya ada divisi komersial kayu, divisi industri kayu, divisi gondorukem, derivatif dan minyak kayu putih, divisi bisnis wisata dan agribisnis. Kemudian yang terakhir divisi pemanfaatan dan pengelolaan aset.
Sebelumnya, semua bisnis tersebut tercampur aduk. Alhasil, tidak dapat diketahui mana yang untung dan mana yang rugi, serta beberapa besar laba dan rugi dari masing-masing bisnis tersebut. Semuanya tertutupi dari pendapatan divisi komersial kayu, padahal divisi lain banyak yang merugi.
Sejauh ini baru divisi komersial kayu, divisi industri kayu dan divisi gondorukem, derivat, dan minyak kayu putih yang mendatangkan laba. Sedangkan yang lainnya belum mendatangkan profit. Pemanfaatan teknologi informasi (TI) juga diterapkan di Perhutani, seperti pemasaran kayu secara online.
Jadi, pembelian kayu Perhutani tidak lagi harus manual dengan cara membawa uang tunai. Pengadaan barang dan jasa juag dilakukan melalui komputerisasi alias e-procurement. Terobosan selanjutnya, saya sedang mengembangkan sistem agar dapat mengetahui dana perusahaan yang dikeluarkan dari hasil penanamannya. Misalnya, dengan dana Rp 100 juta untuk menanam pohon seluas 10 hektare, maka saya dapat melihat penampakan lokasi penanamannya hanya dengan mengklik komputer di kantor. Untuk program ini, kami bekerjasama dengan PT Telkom Indonesia. Targetnya sebelum 2016 sudah direalisasikan.
Saya juga membangun industri hilir hasil hutan kayu dan non-kayu seperti pabrik plywood sengon di kediri (Jawa Timur), pabrik derivat dan gumrosin di Pemalang (Jawa Tengah) dan pabrik sagu di Sorong Selatan (Papua Barat). Setelah reformasi birokrasi, organisasi dan perombakan pengelolaan bisnis, tidak lupa juga saya memberikan sentuhan pada sumberdaya manusia (SDM) perusahaan. Saya ingin menumbuhkan sense of business di kalangan karyawan. Bekerjasama dengan lembaga pendidikan Prasetiya Mulya, kami mengadakan pelatihan kepada karyawan yang kebanyakan adalah pengawas hutan (forester). Program ini dimulai sejak tahun lalu dan sampai sekarang sudah diikuti oleh hampir 100 karyawan, termasuk saya sebagai direktur utama. Kami juga bekerjasama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk memberi pemahaman pelayanan pariwisata ke karyawan.
Persiapan Holding
Perubahan yang saya bawa di Perhutani juga tercermin dari kinerja bisnis perusahaan ini yang terus tumbuh secara konsisten. Pendapatan perusahaan tahun 2011 sebesar Rp 3,14 triliun, lalu naik menjadi Rp 3,55 triliun pada tahun 2012. Tahun lalu pendapatan pendapatan kami Rp 3,86 triliun. Sedangkan hingga semester I/2014, kami berhasil mencetak laba Rp 958,6 miliar.
Perubahan yang dilakukan secara simultan ini bagian dari upaya kami menjadi holding (induk usaha) badan usaha milik negara (BUMN) di bidang kehutanan. Perhutani akan membawahi PT Inhutani I hingga Inhutani V yang selama ini mengelola area hak pengusahaan hutan (HPH) di luar jawa. Rencana pembentukan induk usaha kehutanan tersebut sudah sampai Kementerian Kehutanan untuk proses pengalihan saham pemerintah kepada Perhutani. Selain akan mendapat anak usaha baru yakni Inhutani, kami berencana akan mendirikan beberapa anak usaha baru hasil dari pengembangan unit bisnis yang ada. Contohnya, bisnis air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merek Perhutani.
Air minum kami terkenal karena kualitasnya yang baik dibandingkan dengan AMDK yang ada di pasaran saat ini. Buktinya kami pernah mengekspor air minum ke Jepang. Namun, karena permintan Jepang terlalu besar maka ekspor tersebut tidak berlanjut sampai sekarang. Saat ini kami fokus membenahi mesin produksi air mineral agar dapat mencapai produksi yang optimal.
Kami juga berencana membangun anak usaha di bidang properti, yang nantinya akan mengurus aset lahan perusahaan yang terbengkalai. Luasnya mencapai 1.100 hektare, ditambah dengan gedung dan bangunan seluas 50 hektare. Kami sedang mempersiapkan sertfikasi lahan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Untuk mengurus sertifikasi tersebut, kami mengalokasikan dana sekitar Rp 60 miliar. Lahan-lahan tersebut nantinya dapat diproyeksikan untuk bangun hotel, pom bensin dan area komersial lainnya.
Dalam bayangan saya, setelah Perhutani menjadi induk usaha BUMN Kehutanan, maka dapat menyamai Pertamina yang jadi superholding dengan memiliki deretan anak perusahaan. Kalau untuk di pertamina untuk mencari sumber minyak baru, sedangkan keuntungan kami mengelola hutan. Kami ingin jadi perusaahaan yang unggul dan terbesar dalam pengelolaan hutan lestari.
Sumber : Tabloid KONTAN, Hal. 28-29
Tanggal : 15 September – 20 September 2014