Pesanggem Sale Panen di Lahan Hutan 419 Hektare

SUARAMERDEKA.COM (28/02/2019) | Pesanggem (petani hutan) yang menggarap lahan hutan milik Perhutani KPH Kebonharjo, berhasil menggelar panen raya di lahan seluas 419 hektare. Awal panen raya secara simbolis dibuka pada Kamis (28/2) di Petak 64e RPH Tuder, BKPH Tuder, Wonokerto Sale.

Hadir langsung dalam panen raya perdana itu antara lain adalah Bupati Abdul Hafidz, Dandim 0720 Letkol Arh Andi Budi Sulistianto, Adm KHP Kebonharjo Erwin, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (Dintanpan) Rembang Suratmin, serta sejumlah pejabat lainnya.

Administrator Perhutani KPH Kebonharjo Erwin mengungkapkan, lahan seluas 419 hektare yang disediakan untuk pesanggem dialokasikan untuk berbagai jenis tanaman. Selain jagung, para pesanggem di wilayah hutan KPH Kebonharjo untuk menanam padi serta cabai.

Lokasi mereka tidak hanya berada dalam satu RPH saja, melainkan berbeda-beda sesuai dengan potensi lahan yang tersedia. Mereka meggarap lahan di bawah koordinasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

“Untuk tanaman jagung bisa menghasilkan panen 10 ton tiap hektare. Karena memang kami lihat kondisi tanaman sangat rapat. Tetapi di beberapa tempat hutan, hasil panen sekitar 4,8 ton per hektare,” terangnya.

Dalam panen raya tersebut, juga digunakan mesin perontok jagung yang langsung dilakukan oleh Bupati Hafidz. Selian itu, Bupati Hafidz juga mencoba mesin otomatis untuk memanen tanaman jagung.

Hafidz mengatakan, Perhutani telah membuka lebar bagi masyarakat yang masuk di LMDH untuk memanfaatkan lahan milik Perhutani. Upaya itu dilakukan untuk memberikan peluang bagi masyarakat agar mendapatkan penghasilan dari sektor pertanian, khususnya tanaman jagung.

Menurutnya, sesuai dengan regulasi dari Kementerian Pertanian, petani yang menggarap lahan Perhutani harus memberi kontribusi kepada negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB).

Meskipun demikian, nominal yang dibebankan kepada pesanggem sangat kecil sehingga hal tersebut dirasa tidak merugikan. Justru yang saat ini menjadi persoalan adalah Harga Pokok Produksi (HPP). Sebab, saat ini hasil produksi jagung tidak memiliki HPP sehingga harga jual tergantung pasar.

“Pemerintah memang tidak memiliki HPP jagung, sehingga harganya ini tergantung pasar. Pasar itu jika panen raya pasti turun harganya. Produksi banyak, tetapi kebutuhan tidak terlalu tinggi,” papar Hafudz.

Hafidz juga berpesan untuk para pesanggem dan LMDH agar tidak hanya menggarap lahan yang disediakan. Namun, mereka juga harus memiliki kepedulian tinggi untuk menjaga kelestarian hutan.

Sumber : suaramerdeka.com

Tanggal : 28 Februari 2019