Petani Tidak Tanggung Risiko

Kerja sama kemitraan antara Konsorsium BUMN dan petani padi dalam penguatan produksi pangan nasional akan banyak menguntungkan petani. Ini bisa terjadi karena petani tidak harus menanggung risiko kegagalan produksi, seperti yang selama ini mereka alami.
Pendapatan petani juga bakal bertambah seiring peningkatan produktivitas padi karena ada pendampingan dalam budidaya padi secara ketat. Selain itu, transfer teknologi pertanian juga terjadi dan petani bisa langsung belajar bagaimana berbudidaya padi yang baik agar bisa meningkatkan produktivitas di masa-masa mendatang.
Hal itu diungkapkan Direktur Produksi PT Sang Hyang Seri Maryadi, Minggu (15/5) di Jakarta. Maryadi diminta menjelaskan persiapan dan langkah apa yang sedang dan akan dilakukan perusahaannya terkait program penguatan produksi dan cadangan pangan nasional oleh Konsorsium BUMN.
Pemerintah membentuk konsorsium yang terdiri dari lima BUMN pangan, yakni PT Pertani, PT SHS, PT Pupuk Sriwidjaja (Holding), Perum Perhutani, dan Perum Bulog. Konsorsium BUMN bersinergi ini akan melakukan penguatan produksi dan cadangan pangan nasional.
Khusus untuk beras, mereka akan mengelola lahan 570.000 hektar dengan Bulog sebagai pembelinya. Konsorsium BUMN itu akan menyewa lahan petani untuk ditanami padi, memberi bantuan langsung sarana produksi, dan meminjamkan sarana produksi untuk dibayar gabah saat panen.
Menurut Maryadi, sekarang ini para staf mereka di daerah terus melakukan identifikasi dan pencarian lahan petani untuk diajak kerja sama. Sebagian lahan sudah dapat, di antaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pencarian lahan ini dilakukan bersama dengan Dinas Pertanian di daerah.
”Respons petani ada yang langsung tertarik, ada pula yang ragu-ragu,” katanya. Namun itu tidak menjadi soal, mengingat ini kerja sama yang pertama kali dilakukan melalui pendekatan korporasi. Nanti, kalau mereka sudah melihat, pasti tertarik.
Dalam seminggu ini, identifikasi lahan dan penentuan calon petani diharapkan selesai. Sasaran lahan yang akan dikerjasamakan adalah lahan yang tidak masuk program Sekolah Lapang dan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) yang dijalankan dengan dana negara. Juga lahan yang akan ditanami pada periode Mei-September 2011.
Untuk petani yang menyewakan lahannya, mereka akan mendapat uang sewa Rp 4 juta per hektar. Selanjutnya, semua biaya produksi—mulai dari pengolahan, pembelian benih, pupuk, dan obat-obatan serta biaya tenaga kerja—dari perusahaan. Setelah panen, sebanyak 5 ton gabah kering panen (GKP) akan diambil korporasi. ”Kelebihan produksinya diberikan petani,” katanya.
Semakin tinggi produktivitas yang didapat, semakin besar margin untuk petani. Bila produktivitas mencapai 6 ton GKP, petani akan mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp 2,5 juta per hektar. Bila 7 ton GKG, dapat tambahan Rp 5 juta. Belum lagi petani masih mendapatkan upah tenaga kerja.
”Karena pengelolaan dilakukan secara profesional dan mengadopsi sistem korporasi, semua yang terlibat dalam kegiatan usaha akan mendapatkan bayaran selayaknya di perusahaan,” katanya.
Model klaster
Model pengelolaan lahan yang dilakukan PT Sang Hyang nantinya mengadopsi sistem klaster, dengan lahan pengelolaan tiap-tiap klaster 3.000 hektar. Dalam satu klaster ada manajer lapangan. Dalam klaster-klaster itu terdiri dari wilayah dengan lahan pengelolaan 600 hektar dan dipimpin oleh koordinator wilayah.
Adapun unit pengelolaan terkecil adalah kelompok. Yang mengelola lahan 25 hektar sampai 50 hektar dan dipimpin oleh koordinator petani. ”Lahan wilayah dan klaster boleh tidak dalam satu hamparan, tetapi untuk kelompok harus hamparan. Kami tidak akan memaksa petani,” katanya.
Nama Media : KOMPAS
Tanggal        : Senin, Mei 16 2011 hal 18
Penulis         : Mas
TONE           : POSITIVE

Share:
[addtoany]