Petung, Keindahan yang Terselubung

SUARAMERDEKA.COM (15/8/2017) | Iring-iringan delapan unit Angkutan Pegunungan Pariwisata (Anggun Paris) membelah kawasan hutan di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Sabtu (5/8). Pepohonan menjulang tinggi tampak di dua sisi jalan. Kadang dijumpai air terjun mini di salah satu sisi.

Sejenak, pepohonan menghilang, berganti pemandangan lahan hijau berundak yang menghampar luas. Sesekali Anggun Paris berhenti. Wisatawan yang terpukau dengan keindahan alam Petungkriyono, mengabadikannya dengan kamera. Bunyi rana lensa pun saling menyahut.

“Banyak yang instagramable (foto yang menarik diposting di instagram, red),” kata Erina Julia, blogger dari Semarang, saat memotret pemandangan di jembatan Sipingit.

Hari itu, ia bersama 80 blogger, pilot drone, fotografer dan wartawan dari berbagai daerah di Indonesia menjelajahi kawasan Petungkriyono pada acara Amazing National Petung Explore yang diselenggarakan Pemerintah Kabupatan (Pemkab) Pekalongan.

Jembatan Sipingit bukanlah titik akhir. Anggun Paris pun kembali membawa peserta menyusuri jalan yang berkelok-kelok dan tanjakan terjal. Di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), Anggun Paris berhenti. Peserta berhamburan lalu meniti jalanan menuju air terjun.

Setelah berjalan sekitar tujuh menit, air terjun menjulang tinggi tampak di depan mata. Wisatawan terus bergerak mendekati air terjun setinggi 70 meter yang dihiasi aliran air bertingkat dengan batu besar yang membentuk perosotan air. Sebelum sampai ke lokasi, sejumlah wisatawan tampak antre berfoto di tulisan “Curug Bajing” yang menjadi identitas air terjun tersebut.

Curug Bajing yang terletak di Dusun Kambangan, Desa Tlogopakis, hanya sebagian kecil dari wisata alam yang bisa disapa di Petungkriyono. Karena Petungkriyono menyimpan sejuta pesona dan keindahan. Dan, perjalanan hari itu telah menyingkap keindahan-keindahan di kawasan Petungkriyono yang terselubung hutan.

Ada Curug Sibedug yang terletak di Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring. Air terjun setinggi 20 meter ini memiliki dua aliran, bahkan bisa menjadi tiga pada musim hujan. Ada pula Curug Lawe. Selain air terjun, pengunjung juga bisa melihat keindahan alam dari atas gardu pandang. Sebelum pulang, pengunjung bisa berfoto di bawah payung berwarna-warni yang digantung di sela-sela pohon.

Jika belum puas, masih ada Curug Muncar dan Welo Asri. Dan jika masih belum puas, pengunjung bisa mencoba wisata lain yang lebih menantang. Seperti body rafting atau river tubing di Sungai Welo, atau mendaki Puncak Tugu di ketinggian 1930 mdpl untuk melihat matahari terbit.

Laboratorium Penelitian

Kecamatan Petungkriyono (Petung) yang menjadi paru-parunya Jawa Tengah, berada di ketinggian antara 600-2100 mdpl. Dari total luas wilayah Petungkriyono 7.358,523 hektare (ha), luas wilayah hutan mencapai 5.189,507 (ha).

Selain keindahan alamnya, potensi lain dari Petungkriyono adalah keberadaan hewan dan tanaman langka. Salah satu wisata alam di Petungkriyono, Hutan Sokokembang, memiliki keragaman flora dan fauna.

Lebih kurang 250 spesies telah teridentifikasi berhabitat di hutan tersebut, termasuk sejumlah satwa langka seperti Macan, Elang Jawa, Lutung Jawa (trachypithecus auratus), Monyet Ekor Panjang (macaca fascicularis) dan Owa Jawa (hylobates moloch).

“Hutan Sokokembang merupakan rumah terbesar kedua bagi Owa Jawa setelah Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Jawa Barat,” terang Pegiat Lingkungan Petungkriyono, Tasuri saat ditemui di Curug Lawe.

Menurut dia, saat ini populasi Owa Jawa di Hutan Sokokembang sekitar 40 keluarga. Setiap keluarga Owa Jawa terdiri atas 3 hingga 5 ekor. Lebih lanjut Tasuri mengatakan, di Hutan Sokokembang juga banyak ditemukan tanaman langka. Salah satunya Keruing (dipterocarpus), atau marga pepohonan penghasil kayu pertukangan.

“Karena banyak hewan dan tanaman langka, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi banyak yang melakukan penelitian di sini,” sambungnya.

Berdasarkan keterangan Wikipedia, beberapa spesies Keruing termasuk dalam daftar International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai tanaman terancam punah.

Hari itu, peserta Amazing National Petung Explore berkesempatan menyapa langsung sejumlah satwa yang berhabitat di Hutan Petungkriyono. Saat sebagian peserta tengah berfoto dengan latar tulisan “Petungkriyono National Nature Heritage”, seekor Elang Jawa muncul di angkasa. “Itu drone-nya Petung,” kata salah seorang peserta.

Sementara itu, saat rombongan hendak meninggalkan Welo Asri, tiga ekor Lutung Jawa bergelantungan di pohon. Sejumlah fotografer yang sudah berada di dalam Anggun Paris, meloncat keluar untuk mendapatkan foto terbaik dari ketiga Lutung tersebut.

Hal-hal itu membuktikan jika Hutan Petungkriyono tepat dijadikan sebagai laboratorium alam untuk konservasi dan penelitian. Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan alam di wilayah Petungkriyono sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK).

KHDTK adalah kawasan hutan yang ditetapkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan religi dan budaya setempat. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki 34 KHDTK yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan.

KHDTK tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan luas total sekitar 37.000 ha, yang mencakup berbagai tipe hutan dan kondisi sosial budaya. Hutan di Petungkriyono dinilai sebagai KHDTK yang lengkap untuk berbagai keperluan seperti penelitian, wisata maupun religi.

Kearifan Lokal

Masih ada potensi lain yang bisa digali dan dikembangkan dari Petungkriyono, yakni wisata budaya dan religi. Di Petungkriyono terdapat Situs Lingga Yoni dan Situs Gedong yang berada di Desa Tlogopakis. Selain itu, di Petungkriyono yang selama ini dikenal sebagai Negeri di Atas Awan, juga berpotensi dikembangkan pariwisata berbasis kearifan lokal seperti halnya ritual pemotongan rambut gimbal di Dieng.

Pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Curug Bajing Supriyadi menjelaskan, ada beberapa tradisi yang masih lestari di Petungkriyono hingga saat ini. Salah satunya kendetan.

Menurut Supriyadi, kendetan adalah tradisi masyarakat desa di Kecamatan Petungkriyono yang digelar setiap malam 1 suro untuk menolak bala. Tradisi ini berupa pemotongan kambing kendit atau kambing kecil yang tidak mau tumbuh besar, dan memiliki tanda khusus di lingkaran perut menyerupai sabuk.

“Setiap malam 1 suro, kambing kendit dipotong, kemudian kepalanya ditancapkan di perempatan desa. Sementara dagingnya dibagikan kepada mayarakat. Kemudian, pada pukul 12.00 malam, tokoh setempat, biasanya pak bau (kepala desa), keliling kampung dengan telanjang bulat. Dengan tidak berpakaian, kalau ada hal yang tidak bagus atau bahaya, akan terlihat tandanya,” paparnya.

Karena itu, kalangan masyarakat Petungkriyono mengeramatkan kambing kendit. Namun, lanjut dia, dari sembilan desa di Petungkriyono, hanya beberapa desa saja yang masih menjaga tradisi tersebut. Salah satunya Desa Tlogopakis. Tidak hanya kenditan, ada tradisi pemotongan kepala kerbau yang dilarung ke tengah Telaga Mangunan.

“Ceritanya, dulu ada ular yang minta tumbal seorang putri. Kemudian masyarakat berinisiatif menggantinya dengan kepala kerbau,” paparnya.

Tradisi tersebut masih dilaksanakan masyarakat Desa Tlogohendro. Warisan budaya dan kearifan lokal dapat terjaga dan diapresiasi apabila dapat dikembangkan sehingga menciptakan nilai tambah.

Wasri (57), salah seorang warga Desa Kasimpar mengaku senang dengan perkembangan Petungkriyono. “Desa ini sekarang ramai dikunjungi wisatawan. Dua anak saya, sekarang punya penghasilan tambahan dengan berjualan makanan di Curug Lawe,” terangnya.

Jaga Kelestarian

Bupati Pekalongan Asip Kholbihi mengatakan, Hutan Petungkriyono telah ditetapkan sebagai National Nature Heritage. Sebagai hutan alami satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa dan salah satu paru-paru dunia, kawasan tersebut harus dijaga kelestariannya. Untuk menjaga kelestarian Hutan Petungkriyono, salah satunya dengan menetapkan hutan di Petungkriyono sebagai zona larangan tebang.

“Kami sudah menetapkan kawasan hutan di Petungkriyono sebagai zona larangan tebang. Sehingga harapannya tidak terjadi ilegal logging,” tegasnya.

Beberapa waktu lalu, Pemkab Pekalongan menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang “Petungkriyono Cultural-Techno Forestry Park” dengan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Timur dan Yayasan Kehutanan Indonesia. Sejumlah program yang akan dilaksanakan di antaranya pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, edukasi wisata, laboratorium alam, bank genetika, bank bibit, teknologi hijau, energi hijau serta keuangan hijau (green financing).

Dalam pengelolaan program tersebut, pemberdayaan masyarakat dan kearifan lokal menjadi yang utama. Selain itu, juga diutamakan konsep keseimbangan alam sehingga tetap terjaga kelestariannya, termasuk fungsi ekologis. “Jika hutan lestari akan memberikan dampak dan keuntungan bagi masyarakat. Bisa dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat,” tambahnya.

Perjalanan sehari menjelajahi Hutan Petungkriyono memberikan kesan tersendiri bagi sejumlah peserta Amazing National Petung Explore. Sebagian peserta merasa takjub melihat keindahan alam Petungkriyono. “Luar biasa. Hutannya masih sangat alami. Serasa berada di Afrika,” kata Faishol Abrori (16), blogger dari Jember, peserta termuda yang mengikuti acara tersebut.

Senada disampaikan Dian Farida Ismyama (34), blogger dari Yogyakarta. “Sensasi petualangannya dapat, kesegaran udaranya dapat, dan pesona alamnya, bener-bener amazing,” ujarnya.

Namun, kerusakan infrastruktur menjadi catatan peserta yang menjelajahi Hutan Petungkriyono. “Jalannya rusak parah. Perut seperti dikocok-kocok,” sambung Dian.

Ia berharap, jalan segera diperbaiki agar wisatawan yang datang ke Negeri di Atas Awan semakin banyak.

Terkait hal ini, Bupati mengatakan Pemkab Pekalongan sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp 30 miliar untuk memperbaiki jalan di kawasan tersebut. “Tahun ini jalan diperbaiki,” terangnya.

Wakil Bupati Pekalongan Arini Harimurti menambahkan, perbaikan jalan di Petungkriyono akan dikerjakan hingga Yosorejo. “Nanti menjadi satu kesatuan dengan Pegunungan Dieng. Sehingga bisa ditempuh dari arah selatan maupun utara,” jelasnya.

Sumber : suaramerdeka.com

Tanggal : 15 Agustus 2017